EP. 3. Big Love
********
Beberapa minggu berlalu, Langit benar-benar menerima kenyataan bahwa Jingga si cinta pertamanya sudah menjadi milik orang lain sepenuhnya.
Tidak ada yang berubah setelah gadis itu menikah, dia tetap berteman dengan akrab seperti biasanya.
Mengobrol bersama di waktu luang, makan siang bersama, dan melakukan hal-hal menyenangkan lainnya bersama gadis itu. Tidak ada yang berubah sama sekali.
Ahh, mungkin yang sedikit berubah adalah suami Jingga yang terkadang hadir di tengah-tengah mereka. Dan kalau sudah ada Biru, bisa dipastikan dia akan menjadi kambing congek. Dan itu sedikit . . . ., menyebalkan.
Pagi itu, Langit berjalan di koridor rumah sakit menuju ruang NICU. Langit tak berhenti tersenyum, entah kenapa pagi ini dia merasa lebih bersemangat dan hatinya sangat senang. Ahh, mungkin karena tadi malam dia mendapatkan jam tangan branded incarannya.
Langit berjalan sambil melempar-tangkap koin perak Australia berlambang koala.
Kemarin seorang pasien anak laki-laki memberikannya sebagai imbalan karena Langit sudah berhasil mengoperasi lambungnya. Katanya, itu koin adalah keberuntungan, padahal itu koin perak biasa. Langit tersenyum geli sambil geleng-geleng kepala mengingatnya.
"Mana ada koin keberuntungan, dasar bocah." Gumamnya seraya berdecak geli.
Benar saja, alih-alih keberuntungan, justru kesialan yang menghampirinya pagi ini. Langit yang sedang berjalan dengan santai tiba-tiba jatuh tersungkur saat seseorang menabrak punggungnya dengan keras.
Sialan, ingin sekali Langit mengumpat pada orang yang sudah merusak pagi indahnya. Apa orang itu tidak punya mata sampai dirinya ditabrak seperti ini?
"Koin gue. . . ." Langit memekik begitu koin keberuntungannya terlepas dari genggamannya dan menggelinding begitu saja.
"Langit."
Mendengar seseorang meneriakan namanya, Langit lalu menoleh. Didapatinya Jingga yang memasang wajah terkejut dan lega sekaligus, ekspresi yang aneh. Dia tebak, pasti gadis itu sedang terburu-buru hingga menabraknya seperti ini.
"Ji, kamu punya mata, tapi kok gak dipake?" Dan Langit langsung saja mengomeli Jingga dengan penuh kekesalan. Sudah sejak tadi dia ingin menegur orang yang menabraknya.
"Duhh, Lang. Aku lagi buru-buru, nih. kamu bisa bangun sendiri, kan?" Gadis itu berujar tanpa merasa bersalah sedikitpun. Jingga malah sibuk melihat jam di pergelangan tangannya, lalu pergi begitu saja tanpa berniat membantunya untuk beranjak.
"Ji, bantuin aku dulu." Langit kembali berteriak kesal. Sudah ditabrak, ehh yang nabrak tidak bertanggung jawab pula.
"Aku minta maaf." Sahut Jingga ikut berteriak, namun tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.
"Sialan." Umpat Langit benar-benar merasa kesal, gadis itu sudah merusak semangat paginya. Sial sekali, dia juga kehilangan koinnya. Di mana koin pembawa sial itu?
Sementara itu tepat di seberang Langit terjatuh, Shien yang hendak keluar dari gedung rumah sakit setelah beberapa saat lalu menemui dokternya untuk mengambil obatnya yang tertinggal seketika menghentikan langkahnya saat sebuah koin menggelinding dan berhenti tepat di kakinya.
Pandangan Shien mengikuti arah kedatangan koin tersebut. Dia sedikit meringis saat melihat seseorang yang tentunya itu Langit tersungkur dengan cara aesthetic, itu pasti sakit sekali. Beruntung gadis yang menabrak tidak menimpanya.
Namun, Shien dibuat heran. Alih-alih merasa sakit karena terjatuh, laki-laki itu malah mengkhawatirkan koinnya.
"Lumayan, sih. Kalau dijual bisa dapat dua juta." Gumam Shien saat dia menyelisik logam mulia silver koin koala Australia itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SO IN LOVE [END]
RomanceHi, Readers. Kisah ini adalah Spin Off dari STILL IN LOVE. Yang suka baca jangan dilewat satu part pun, yes. Aku lebih suka orang yang baca ceritaku daripada sekedar vote. Thanks, all. ******** "Dia adalah gadis pertama yang tidak mau menerima ulur...