50. Kucing Garong dan Tikus Mesum

503 31 3
                                    

EP. 50. Kucing Garong dan Tikus Mesum

********

Setelah menikmati acara obrolan sore bersama di ruang tamu dan malam tiba, Biru mengajak mereka untuk pindah lokasi ngobrol di halaman bagian belakang rumah sekalian makan malam.

Biru dan Langit menyiapkan menu shabu-shabu di gazebo untuk makan malam mereka, sementara Jingga mengajak Shien duduk di ayunan yang tidak jauh dari sana karena masih tidak tahan dengan aroma daging mentah.

Jingga masih menjadi orang yang paling banyak bicara. Dia seperti si pendongeng dan Shien adalah penontonnya.

Banyak hal yang Jingga bicarakan di sana sembari menunggu shabu-shabunya matang, dan Shien hanya menanggapinya dengan kata ahh, ohh, iya, tidak, hmm, atau bahkan hanya anggukkan atau gelengan kepala.

Tapi Jingga tidak kesal sama sekali, karena dia sudah tahu dari cerita Langit jika gadis yang sedang duduk di sampingnya itu pendiam dan tidak mudah bergaul. Maka dari itu, Jinggalah yang harus lebih banyak bicara untuk mendekatkan diri dan menghilangkan kecanggungan.

Jingga juga menceritakan awal mula pertemuannya dengan Langit, hingga segala hal yang pernah mereka berdua lalui bersama selama persahabatan itu terjalin.

Shien mendengarkannya dengan seksama. Walaupun yang Jingga ceritakan kurang lebih sama dengan yang pernah Langit ceritakan padanya dulu, tapi Jingga menceritakannya dengan gaya yang berbeda, sehingga membuat Shien tidak bosan meski dia harus mendengarnya dua kali.

"Langit itu gak pernah sial. Pernah, nih, ya. Waktu kami kelas dua belas. Langit coba-coba ngerokok dan ketahuan sama aku. Terus, aku ambil rokoknya dan masukin ke tas. Ehh, tiba-tiba di sekolah ada pemeriksaan. Aku kena hukuman, dong, gara-gara guru BK nemuin rokok di tas aku. Ayah sampai dipanggil ke sekolah, dan selanjutnya aku gak dikasih uang jajan selama sebulan full."

Jingga menggerutu tak jelas kala mengingat kejadian itu. Berusaha melindungi Langit, ehh malah dirinya sendiri yang tertimpa sial. Beruntung dirinya anak pintar dan katanya itu adalah kesalahan pertama, sehingga pihak sekolah saat itu tidak memberikannya hukuman berat, hanya membersihkan toilet selama satu minggu.

Shien diam-diam tersenyum geli mendengar cerita Jingga. Pantas saja persahabatan Jingga dan Langit terjalin dengan sangat baik, mereka begitu saling melindungi dan tidak menjerumuskan.

Hening sejenak mengambil alih. Barulah setelah Jingga menyelesaikan gerutuan tak jelasnya, gadis itu kembali bercerita.

"Ehh, iya. Kamu mau tahu, gak? Kalau Langit itu. . . ." Jingga menggerakkan tangannya, mengisntruksi Shien agar mendekatkan telinga padanya. Shien merengut bingung, tapi dia tetap menurutinya.

"Orang mesum." Bisik Jingga. Shien tidak terkejut, dia tahu jelas satu hal ini. Itulah kenapa dia menjuluki laki-laki itu dokter cabul.

"Dia udah nonton blue film sebelum tujuh belas tahun." Sambung Jingga seraya menarik diri, bibirnya terlipat ke dalam menahan tawa saat ingatannya melayang jauh pada kejadian sepuluh tahun lalu. Tepatnya, saat dia dan Langit masih berusia enam belas tahun.

Shien terperangah mendengar penuturan Jingga barusan. Benar-benar gila, pantas saja isi otak Langit hal kotor semua.

"Dari mana kamu tahu?" Dan ini adalah kali pertamanya Shien mengajukan pertanyaan pada Jingga karena cukup penasaran.

"Waktu itu kami mau belajar bareng di rumah Langit, dan kami biasa belajar di kamarnya. Nah, pas aku mau masuk kamar, ehh kamarnya dikunci dan itu bukan kebiasaan Langit, terus aku ngiranya Langit mau bunuh diri karena stress akibat tuntutan tugas sekolah." Cerita Jingga terhenti sejenak saat tiba-tiba Shien menyelanya.

SO IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang