8. Tidak Diinginkan

869 53 6
                                    

EP. 8. Tidak Diinginkan

********

Bau desinfektan khas rumah sakit menyeruak masuk di indra penciuman Shien begitu gadis itu mendapatkan kembali kesadarannya. Dengan gerakan perlahan, Shien membuka matanya, dia mengerjap kecil untuk menyesuaikan cahaya terang yang menembus netranya.

Setelah netra beningnya mampu menyesuaikan cahaya, Shien lantas mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan serba putih itu, kemudian terhenti pada pergelangan tangan kirinya yang terasa sedikit ngilu karena jarum infus yang menancap di sana.

Dengan napas yang masih terasa berat, dia lalu menggerakkan kepalanya ke kanan. Dia melenguh pelan saat merasakan sakit di kepalanya.

Raut wajahnya berubah sendu tatkala matanya menangkap sosok yang tengah tertidur dengan kepala jatuh di sisi ranjangnya. Bukan Tante Hilda ataupun Fina, tapi ibunya.

Shien mengerjapkan matanya, lalu dia bisa melihat Tante Hilda yang sedang duduk di sofa, wanita paruh baya itu sedang fokus mengamati layar pada benda pipih di genggamannya, sesekali jarinya yang lentik sibuk menggulir layar dari tablet yang digenggamnya itu.

Tante Hilda yang tidak sengaja melirik dan mendapati keponakannya sudah siuman, dia langsung beranjak dari duduknya untuk kemudian berjalan mendekati ranjang Shien.

"Kamu udah bangin, Shi?" Tante Hilda menyunggingkan senyum lembutnya diiringi dengan langkah mendekat menghampiri Shien.

Mama yang terganggu dengan suara Tante Hilda lantas bergerak bangun, lalu menatap Shien dengan tatapan pilu.

Tangannya nyaris terangkat untuk mengelus kepala putri bungsunya itu, namun terurungkan tatkala Shien malah memalingkan wajahnya ke arah Tante Hilda.

"Tante panggil Dokter Nathan dulu, ya." Tante Hilda berujar seraya bergerak pergi keluar dari ruang rawat Shien.

"Kamu udah pingsan semalaman, Shi." Ucap Mama sambil menahan tangisnya. "Mama khawatir banget sama kamu."

Shien bergeming. Otaknya dipenuhi pikiran mengharukan bahwa sang ibu kini ada di sampingnya. Entah Shien bermimpi atau bukan, yang jelas dia melihat wajah ibunya seperti sedang mengkhawatirkannya.

Mama menemaninya saat dia pingsan? Tck, bukan hal bisa diharapkan Shien. Dia sudah membuang harapan itu jauh-jauh sejak dulu.

Dulu, mungkin Shien akan senang melihat Mama berada di sisinya seperti ini, tapi tidak sekarang. Shien sudah terbiasa tanpa kehadirannya.

Dulu Shien sering berharap Mama akan datang menemaninya setiap kali dia dilarikan ke rumah sakit seperti ini, terlebih saat dia akan akan masuk ke ruang operasi yang begitu dingin dan menyeramkan.

Shien selalu berharap wanita yang telah melahirkannya itu setidaknya memberikan kata "Semangat, Mama nunggu kamu di sini."

Tapi nihil, wanita itu tidak pernah ada, meskipun dia memanggil kata Mama sebanyak seribu kali.

"Aku bisa sendiri." Shien menepis tangan Mama yang hendak membantu menopang punggungnya saat dia akan bangun. Mama yang melihat penolakan Shien hanya menatapnya dengan tatapan terluka.

"Kamu butuh sesuatu? Mau minum? Mama ambilin, ya?" Tanya Mama terdengar sedikit canggung.

Shien terdiam. Kehadiran sang ibu yang tiba-tiba benar-benar membuat perasaannya campur aduk antara rindu, terharu, sedih, dan kecewa datang sekaligus.

Entah Shien harus bersikap seperti apa di hadapan ibunya sekarang. Yang jelas, kekecewaan dalam hatinya terhadap wanita itu membuat Shien enggan bahkan untuk melirik ke arahnya.

SO IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang