EP. 98. D-Day
********
Sore itu, Shien pulang ke rumah dengan wajah lelah. Hari pernikahannya tinggal dua hari lagi. Entahlah, perasaannya mendadak tak karuan.
Terkadang sangat senang dan menantikan hari itu tiba, terkadang khawatir berlebihan karena memikirkan bagaimana kehidupannya nanti setelah menikah, terkadang guring-uringan tidak jelas, dan yang paling parah Shien pernah menangis malam-malam tanpa alasan.
Ahh pokoknya perasaannya benar-benar gelisah tidak karuan, Shien bahkan sampai kesulitan tidur akhir-akhir ini.
"Kamu dari mana, Shi? Kok sore banget pulangnya?" Tanya Mama yang saat itu sedang bersantai di gazebo bersama Papa.
"Aku habis ziarah dulu ke makamnya Tante Rosa, terus habis itu lihat rumah yang dikasih Om Wijaya." Jawab Shien sambil menjatuhkan dirinya tepat di tengah tengah antara Mama dan Papa.
"Mama, Papa . . ." Koreksi Mama menegur. "Kamu biasain, dong, Shi."
"Hmm." Sahut Shien singkat, lalu meminum teh dari gelas milik Mama.
"Lusa kalian udah mau nikah, harusnya kamu sama Langit diam di rumah, jangan bepergian terus." Ujar Papa mengingatkan.
"Bener, tuh, Shi. Kata orang tua zaman dulu, itu kurang baik buat calon pengantin." Mama ikut menambahkan. Dia lantas menyelipkan anak rambut Shien yang sedikit berantakan ke belakang telinga.
"Iya, Ma. Mulai besok aku gak ke mana-mana lagi, kok." Jawab Shien seraya mengambil sepotong roti bakar dengan isian cokelat dan mulai memakannya.
"Ya bagus kalau gitu. Kebetulan salon teman Mama terima jasa home service, jadi besok kita bareng-bareng perawatan di rumah biar kamu fresh, gak lusuh gini." Ucap Mama sedikit meledek sambil mencubit gemas salah satu pipi Shien.
"Ohh iya, kamu udah ngambil cuti belum, Shi? Berapa lama?" Tanya Mama saat teringat akan hal itu. "Mama harap, sih, agak lamaan biar bulan madu kalian gak keburu-buru. Mama gak sabar pengin punya soalnya." Tambahnya, membuat Shien langsung memutar bola matanya malas seiring kunyahan roti di dalam mulutnya. Benar-benar. Menikah saja belum, sudah menuntut cucu saja.
"Papa juga kali, Ma. Kalau bisa, bikin kayak keluarga Petir itu, lho, Shi, yang anaknya sebelas. Gak masalah kalau semisal nanti kamu sama Langit kerepotan atau males ngurusin anak-anak, biar mereka Mama sama Papa aja yang urus." Timpal Papa berucap sangat enteng hingga membuat Shien nyaris tersedak roti yang masih dalam kunyahannya.
"Program pemerintah aja bilangnya dua anak lebih baik, Pa." Sanggah Shien penuh penekanan, lalu meminum teh milik Mama untuk mendorong masuk roti yang mendadak sulit ditelan. Ini pasti gara-gara ucapan Papa yang nyeleneh.
"Ngomong-ngomong, aku udah mundur dari posisi Wakil Direktur." Shien lantas buru-buru mengalihkan pembicaraan. Tapi apa yang baru saja dikatakannya cukup membuat Mama dan Papa senang.
"Yang bener, Shi?" Tanya Papa memastikan, sorot matanya tampak berbinar.
"Sesuai saran Papa." Sahut Shien, mengingat dua minggu yang lalu Papa memberinya saran untuk melepaskan jabatannya di perusahaan dan cukup menjadi Penulis saja.
Bukan tanpa alasan, Papa berharap anaknya itu bisa fokus dalam membina rumah tangga. Lagipula karir Shien sebagai Penulis sudah lebih dari bagus. Jadi menurut Papa, Shien tidak perlu lagi bekerja merangkap seperti itu karena ada hal lain yang harus diperhatikan setelah menikah nanti. Shien tidak bisa terlalu sibuk dengan pekerjaan seperti saat masih lajang.
Walaupun ini cukup berat bagi Shien untuk melepaskannya, tapi setelah dia mempertimbangkannya selama satu minggu, saran Papa ada benarnya. Terlebih saat ini Shien belum bisa melakukan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SO IN LOVE [END]
RomanceHi, Readers. Kisah ini adalah Spin Off dari STILL IN LOVE. Yang suka baca jangan dilewat satu part pun, yes. Aku lebih suka orang yang baca ceritaku daripada sekedar vote. Thanks, all. ******** "Dia adalah gadis pertama yang tidak mau menerima ulur...