31. Never Too Late

552 44 3
                                    

EP. 31. Never Too Late

********

Minggu pagi, semua orang sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Shanna yang biasanya bangun siang di hari libur dan masih malas-malasan, juga sudah terlihat rapi dan wangi.

Shanna mengamati Shien yang entah sudah berapa kali terus menghela napas gusar dengan pandangan kosong ke sembarang arah. Shanna merasa jika sang adik tengah memikirkan sesuatu, tapi entah apa.

Terhitung sudah satu minggu setelah keberangkatan Langit ke Spanyol dan laki-laki itu tidak pernah mengabari Shien sama sekali.

Sebenarnya apa yang dilakukan Langit di sana sampai-sampai menguras sebagian waktunya hingga tak bisa menyempatkan diri untuk memberi Shien kabar?

Shien tak bisa menyangkalnya lagi jika dia memang merasakan rindu yang teramat dalam, namun Shien juga tak bisa menuntut apapun atau menghubunginya lebih dulu karena dia dan Langit tidak dalam hubungan apa-apa untuk bisa saling menuntut saat ini.

Tck, benar-benar gila. Kita, manusia tidak pernah bisa memilih untuk jatuh cinta kepada siapa. Mungkin memang sudah terlambat untuk Shien mencegah perasaannya pada Langit yang sudah terlanjur dalam.

Shien tak ingin berbohong pada hatinya lagi, karena hatinya sudah lelah menghadapi dirinya yang terus menyimpan suaranya, padahal hatinya sudah berontak sangat ingin mendengar Shien menyampaikan kalimat cintanya pada Langit.

Tapi walaupun begitu, Shien masih belum memiliki keberanian untuk mengambil langkah. Terlebih dahulu, Shien harus menyingkirkan beberapa hal yang mengganjal di hati dan pikirannya.

Bolehkah? Bolehkah Shien mengambil resiko untuk kebahagiaannya sendiri? Tanpa memikirkan penyakitnya yang pasti akan memberi pengaruh pada kehidupan Langit, dan juga. . . . Shanna.

"Shien."

Shien menghela napasnya panjang. Mungkin sekitar tiga atau empat hari lagi Langit kembali ke Indonesia, tapi Shien belum menyiapkan jawaban.

Ahh, Shien seperti sedang dikejar rentenir yang akan menagih hutang padanya dan dia belum memiliki uang untuk membayar.

"Hallaw, Shien." Shanna menjentikan jarinya di hadapan wajah Shien, namun gadis itu tetap bergeming.

Haruskah Shien meminta sedikit perpanjangan waktu? Tapi, sampai kapan? Shien tidak bisa menggantungkan perasaan Langit lebih lama.

Beruntung jika Langit bersedia menunggu. Tapi jika dia menyerah dan mencari gadis lain, Shien tidak rela juga. Sangat tidak rela.

"Shien. Ya ampun, ini anak pagi-pagi udah bengong kayak kuda mau dijual." Oceh Shanna yang heran sendiri dengan tingkah Shien pagi ini. Tampak Papa dan Mama juga sama herannya dengan Shanna.

"S.H.I.E.N. Shieeeen." Shanna mengeja nama Shien dan berteriak sambil memukul-mukul sendoknya pada piring hingga menimbulkan suara dentingan riuh bak tukang bubur.

Mendengar suara ribut, Shien seketika tersentak dan langsung membuyarkan lamunannya. "Ehh, iya, apa kabar?"

Shanna mengerjap takjub dengan mulut menganga serta kening yang terlipat dalam, aneh sekali dengan Shien yang sudah kehilangan konsentrasi padahal hari masih pagi. Begitu pula Papa dan Mama yang malah tersenyum geli melihat tingkah gadis bungsunya itu.

"Kabar baik. Kamu minum dulu, deh." Shanna yang duduk di sebelah Shien lantas menggeser gelas berisi air putih pada adik kembarnya itu. "Kamu ngelamunin apaan, sih? Aku panggil gak nyahut-nyahut." Gerutunya kemudian.

Shien mengerjap-erjap, matanya menatap lurus gelas berisi air di hadapannya. Ekspresinya seperti orang linglung untuk sejenak, kemudian dia tersadar setelah beberapa saat.

SO IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang