4. Cacingan?

917 54 2
                                    

EP. 4. Cacingan?

********

Siang ini, Langit sedang kerepotan menangani pasien anak berusia tiga tahun yang mengeluh sakit perut. Selalu seperti ini, ruang praktik Langit tidak pernah sepi setiap harinya. Suara tangisan anak-anak sudah seperti musik jazz untuknya yang biasa dia dengar setiap hari.

"Wahh, Jasson hari ini datang sama baby shark?" Ucap Langit seramah mungkin pada anak laki-laki bernama Jasson itu dengan boneka baby shark di dekapannya.

"Ayo kita lihat, apa di dalam mulut kamu ada baby sharknya, aaaa. . . ." Langit membuka mulutnya sendiri untuk menginstruksi agar Jasson mengikutinya. Namun, bukannya mengikuti, Jasson malah menangis kencang karena ketakutan.

"Oh my God." Langit sedikit tersentak dan otomatis menjauhkan tubuhnya.

"Sayang, jangan nangis. Dokternya cuma mau periksa, biar sakit perutnya hilang." Sang ibu yang memangku Jasson berusaha menenangkan sambil mengusap-usap perut anak itu.

"Uh . .uh, udah sayang, jangan nangis."

Langit yang melihat itu hanya memasang raut wajah biingung sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia cukup bingung menghadapi anak kecil yang menangis meraung-raung seperti ini.

Mendesis, sejenak si ibu berpikir untuk membujuk anaknya agar tidak menangis lagi. "Kalau kamu terus nangis, nanti dokternya ngasih kamu suntikan besar sambil bilang kamu anak nakal, lho. Ya kan, Dokter?"

Langit mengangguk, mengikuti sandiwara yang dibuat ibu Jasson.

"Anak nakal! Suntikan yang besar ada di mana, ya?" Langit lantas mengerlingkan matanya jahil.

"Suster, suntikan yang besar buat Jasson ada dimana?" Asisten perawat yang selalu mendampingi Langit hanya bisa menahan tawanya saat dia dilibatkan dalam sandiwara kekanak-kanakkan ini.

Memicingkan matanya pada Jasson, Langit lalu berbalik dan mengambil suntikan mainan yang cukup besar.

"Jasson, shuut. Lihat, dokternya bawa suntikan." Dan tangis Jasson seketika terhenti saat melihat Langit berbalik dengan suntikan mainan besar di tangannya. Begitupula wajah Langit yang dibuat sedikit menyeramkan, namun tetap menggemaskan.

"Huwaaaaa . . ., hiks . . . hiks . . .."

Baru saja Langit dan semua orang yang ada di sana hendak bernapas lega, tapi Jasson malah menangis semakin kencang.

"Eung . . ., sebentar. Saya punya banyak snack untuk Jasson di sini." Langit jadi salah tingkah karena malah menakuti anak orang. Kemudian dengan gelagapan dia mencari snack yang sengaja dia siapkan untuk menghadapi situasi seperti ini dari dalam lacinya.

"Uh . .uh, sayang. Kamu gak nakal, kok. Dokternya yang nakal." Si Ibu kembali menenangkan anaknya. Langit yang mendengar itu hanya mendengus. Dasar ibu-ibu tidak konsisten.

"Dokternya nakal banget, masa anak ganteng Mama jadi ketakutan sampai nangis kayak gini." Lanjut Ibu Jasson.

"Shuuut, jangan nagis lagi. Biar Mama pukul dokternya." Gerakan tangan Langit yang tengah mencari snack yang cocok seketika terhenti saat mendengar itu.

"Ini Mama pukul, ihh, dokternya nakal." Ibu Jasson dengan keras memukul lengan bahu Langit. Perawat yang melihatnya hanya menahan tawa sambil menekap mulutnya.

"Nah, Mama udah hukum dokter nakalnya." Dan Jasson mulai berhenti menangis saat itu juga.

"Dokter, kenapa kamu nakutin Jasson? Jasson, kan, anak baik." Langit tak menyahuti, dia hanya menatap si ibu dengan pandangan melongo sambil mengusap-usap lengannya yang terkena pukulan tadi.

SO IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang