EP. 9. Licik
********
Akibat kejadian itu, Shien mengalami trauma psikologis hingga dia kesulitan bicara (aphasia), gadis kecil itu terus berkutat dengan rasa sedihnya dan menyalahkan diri sendiri.
Terkadang Shien pingsan saat ingatan buruk tentang kematdian Shawn dan segala ucapan orang tuanya muncul. Namun, keadaan Shien yang seperti ini tak membuat orang tuanya memperhatikannya.
Jangankan memberi dukungan, melihat keadaan Shien di rumah sakit saja tidak. Mereka masih sibuk menangisi kepergdian putra satu-satunya yang telah pergi, seolah lupa bahwa Shien juga putri mereka yang masih membutuhkan perhatian.
Melihat keadaan Shien yang kian memburuk dan tanpa adanya perhatian orang tua, sang nenek, ibu dari ayah Shien yang merasa prihatin akhirnya memutuskan untuk membawa Shien tinggal bersamanya di Amerika. Setidaknya, sementara sampai keadaan di rumah orang tua Shien lebih tenang.
Nenek berpikir kalau saat itu keadaan anak dan menantunya masih terguncang karena kehilangan anak pertamanya, sehingga mengabaikan Shien seperti itu. Mereka bahkan diam saja saat Nenek mengatakan akan membawa Shien bersamanya.
Pada akhirnya, Shien dirawat oleh Nenek beserta Tante Hilda di Amerika.
Enam bulan pertama adalah waktu paling berat untuk Shien, selama enam bulan itu dia harus menjalani beberapa terapi untuk pemulihan trauma psikologis yang dialaminya, sehingga dia bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri dan kembali berbicara, serta mampu melakukan aktivitas seperti biasanya.
Pada awalnya Shien selalu bertanya akan keberadaan orang tuanya, kenapa tidak pernah meneleponnya, kenapa tidak menjemputnya dan malah ditinggalkan bersama nenek serta Tante, kenapa dia harus tinggal di Amerika sementara orang tua dan kakaknya di Indonesia.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memenuhi benaknya setiap hari. Walaupun Mama dan Papa telah menyakiti hatinya melalui kata-kata mereka, tapi Shien tetap merindukannya.
Shien berpikir positif, berusaha menepis bahwa apa yang dikatakan orang tuanya hanya karena mereka sedang sedih. Mereka tidak sungguh-sungguh, seperti apa yang pernah dikatakan bibi pengasuh padanya.
"Mama sama Papa akan jemput Shien sebentar lagi. Shien sama Tante dulu, ya?" Kalimat penenang yang selalu diucapkan Tante Hilda untuknya saat Shien bertanya mengenai orang tuanya.
Sebentar lagi, dua kata itu mampu membuat Shien optimis menunggu kedua orang tuanya, berharap mereka menjemputya sebentar lagi. Tapi hingga beberapa bulan berlalu, orang tuanya tidak pernah datang.
Sampai akhirnya, Shien menyadari jika apa yang dikatakan Tante Hilda adalah bohong. Orang tuanya tidak akan pernah atau bahkan berniat menjemputnya.
Hal itu diperkuat saat dia bertemu di pemakaman nenek yang tak lama meninggal setelah itu. Mama dan Papa tidak melihatnya sama sekali, bahkan saat Shien mencoba meraih tangan Mama, wanita itu hanya menatap dengan dingin dan menghempaskan tangannya begitu saja.
Benar, Shien adalah anak yang tidak diinginkan. Itulah yang dipikirkan Shien.
Dan sejak saat itu, Shien langsung menghapus segala harapan di hatinya akan kasih sayang orang tua. Shien berhenti berharap dan tak akan berharap apapun lagi, bahkan pada siapapun.
Meskipun kecewa dan marah pada orang tua sendiri, tapi kehidupan ini bukan untuk dibenci. Daripada meratapi keadaan, Shien memilih untuk menjalani hidupnya sebaik mungkin.
Tidak apa-apa orang tuanya tidak menyayanginya, dia bisa menyayangi dirinya sendiri lebih dari mereka.
Selanjutnya, Shien tumbuh menjadi anak yang menutup diri, anti sosial, begitu dingin, dan tak berperasaan. Shien hanya peduli dengan dirinya sendiri dan tidak mau berteman dengan orang lain meski Tante Hilda memasukannya ke sekolah biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SO IN LOVE [END]
RomanceHi, Readers. Kisah ini adalah Spin Off dari STILL IN LOVE. Yang suka baca jangan dilewat satu part pun, yes. Aku lebih suka orang yang baca ceritaku daripada sekedar vote. Thanks, all. ******** "Dia adalah gadis pertama yang tidak mau menerima ulur...