20. Dokter Cabul

845 43 1
                                    

EP. 20. Dokter Cabul

********

"La-Langit. . . ." Seluruh bulu kuduk Shien seperti bangkit bersamaan, hingga bagian tengkuknya seperti ditiup angin saat Langit kini menghisapi jari-jemarinya. Tubuhnya seketika gemetar kecil saat jarinya bergesekkan dengan gigi Langit. Rasanya sangat aneh dan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Shi, aku boleh cium kamu, gak?" Tanya Langit sesaat setelah dirinya selesai membersihkan jari-jemari tangan Shien yang membutuhkan waktu cukup lama itu.

Shien mengerjap, dia mendapatkan kesadarannya kembali begitu Langit melayangkan pertanyaan yang terdengar sangat bodoh itu.

Sebelumnya Langit sudah mencuri ciuman pertama Shien tanpa izin, dan sekarang dia meminta izin untuk menciumnya seolah dia adalah laki-laki yang sangat sopan? Cih, apa laki-laki ini masih waras?

"Ci-cium?" Shien berpura-pura gugup. Sementara Langit mengangguk malu-malu.

"Langit. . . ." Kedua tangan Shien lantas merayapi lengan kekar Langit dan berhenti di pundak, lalu meremasnya hingga membuat Langit tertegun akan sikap aneh Shien yang tiba-tiba.

Mendapat perlakuan seperti itu dari Shien, sontak saja membuat seluruh tubuhnya merinding.

"Shi. . . ,Shien. . . ." Langit menahan napasnya saat rasa geli muncul dari elusan tangan Shien di lehernya.

Langit memejamkan mata seiring dengan tubuhnya yang memanas saat Shien mendekatkan wajahnya, namun sedetik kemudian laki-laki itu memekik keras tatkala dia merasakan ngilu yang luar biasa pada hidungnya.

"Jangan mimpi." Sungut Shien sesaat setelah dirinya membenturkan kepalanya ke hidung Langit hingga berdarah.

"Shien, kamu gila." Langit refleks berteriak kesakitan dan memarahi Shien.

Tulang hidungnya terasa sangat sakit dan berkedut-kedut, hingga Langit merasa hidungnya mungkin patah. Ohh, tidak. Wajahnya tampannya cacat sekarang.

"Kamu yang gila, dasar dokter cabul." Balas Shien tak kalah berteriak.

"Cabul?" Delik Langut tak terima.

"Iya, kamu cabul. Udah, sana. Jauh-jauh, deh." Shien mendorong tubuh Langit hingga menjauh darinya, lalu menghembuskan napas dengan kesal.

"Hiish." Langit kemali mendelik sebal, kemudian meringis ngilu saat dia mengusap darah yang sedikit mengucur dari hidungnya.

Sambil bersedekap dan menatap lurus ke depan, Shien melirik Langit dengan ekor matanya. Laki-laki itu terlihat sibuk membersihkan darah di sekitar lubang hidungnya mengggunakan tisu sambil berkaca pada kaa spion.

Ada sedikit kekhawatiran menyelinap di hati Shien saat menlihat Langit meringis kesakitan. Apa dia sudah keterlaluan? Bagaimana kalau hidungnya patah? Tapi buru-buru Shien menggelengkan kepalanya untuk mengusir rasa khawatir itu.

Masa bodoh patah atau tidak. Siapa suruh dia mengajukan pertanyaan bodoh dan menjilati tangannya sembarangan?

"Sini. . . ." Dan terkadang impuls saraf tidak bisa diarahkan sesuai keinginan. Baru saja beberapa saat yang lalu Shien berpikir untuk tidak peduli dan khawatir, tapi ada saja sel-sel saraf di otaknya yang membandel hingga mengontrol keseluruhan saraf lainnya untuk bertindak di luar dugaan.

Seperti sekarang, Shien malah mengulurkan tangannya untuk meminta tisu dari tangan Langit dan berniat membantu laki-laki itu untuk membersihkan darah di hidungnya karena dia melihat Langit tampak kesusahan.

Memang gila.

Langit terdiam seraya mengernyitkan keningnya tak mengerti. Raut wajahnya masih memperlihatkan kekesalan pada Shien.

SO IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang