88. Where Should I Go?

615 42 3
                                    

EP. 88. Where Should I Go?

********

"Aku cuma berharap Shien bisa hidup lama. Baik dia berakhir bersama aku atau tidak, aku cuma mau dia berumur panjang." Ujar Langit dalam hati setelah melempar koinnya ke dalam kolam air mancur.

Selama ini dia tidak pernah percaya mitos yang dibuat-buat tentang kolam air mancur di taman rumah sakit itu. Tapi mungkin karena dia sedang putus asa, sehingga dengan iseng ikut-ikutan semua orang melempar koin ke sana dan mengucapkan harapannya saat dia sedang berjalan-jalan di taman dan tak sengaja melewati kolam air mancur tersebut.

Menyeka air matanya yang tahu-tahu menetes, Langit lantas merogoh ponsel di saku jas dokternya saat mendengar benda pipih itu berbunyi, ternyata Om Sendy.

Rasa takut langsung menyeruak di hatinya setiap kali Om Sendy atau Tante Risa menghubunginya. Langit takut jika mereka menyampaikan kabar buruk. Tapi ketakutannya langsung melebur begitu mendegar sesuatu yang sangat ingin dia dengar selama tiga bulan terakhir ini.

Om Sendy mengatakan jika Shien sudah siuman. Dengan perasaan haru yang membuncah di dada, Langit segera berlari memasuki rumah sakit. Antara percaya dan tidak percaya. Langit ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri jika Shien sudah benar-benar bangun.

Dilihatnya Om Sendy dan Tante Risa berdiri di depan pintu ruang ICU dengan haru yang menyelimuti wajah keduanya. Mereka tersenyum mendapati kedatangan Langit dan mengatakan Shien sedang dalam pemeriksaan dokter.

Setelah memberi ucapan selamat kepada mereka, Langit lantas meminta izin untuk masuk ke ruang ICU di mana Shien dirawat.

Matanya berkaca-kaca lagi saat pandangannya menangkap sosok Shien benar-benar sudah sadar. Langit juga bisa mendengar tim dokter yang sedang memeriksa Shien sedang mencoba berkomunikasi dengannya.

Hembusan napas lega terdengar dari bibir Langit yang kemudian disusul dengan lelehan air mata penuh haru dan rasa syukurnya.

Namun, detik berikutnya Langit mengambil langkah mundur, berpikir bahwa dia tidak berhak mendekati Shien meskipun sangat ingin berhambur memeluknya dan mengucapkan ribuan terima kasih karena gadis itu sudah kembali.

Pada akhirnya, Langit memilih bersembunyi di balik tirai partisi yang digunakan sebagai penyekat setiap ruangan di ruang ICU tersebut dan memperhatikan Shien tanpa sepengetahuan siapapun.

Termasuk saat Shien di bawa ke luar ruang ICU dan masuk ke ruangan lain untuk menjalani pemeriksaan selanjutnya, Langit hanya berani mengawasi gadisnya itu dari kejauhan.

Dan saat Shien sudah dipindahkan ke ruang rawat pun, Langit masih tidak berani menemuinya. Langit hanya berdiri di depan pintu sambil menyaksikan Shien dari celah kaca ruang rawat dengan tatapan sedih.

Berulang kali tangannya terangkat untuk meraih handle pintu, dan sebanyak itu pula Langit menurunkannya lagi.

Langit harus menahan mati-matian keinginannya untuk menemui Shien. Karena setiap kali dia menguatkan hati untuk mencoba masuk dan menemui gadis itu, ingatan bagaimana dia menyakiti Shien berkelebat cepat di kepalanya hingga membuat Langit kembali merasa sangat buruk untuk menghampiri gadisnya.

Langit tersenyum kecut sambil menyandarkan punggungnya pada dinding. Tck, gadisnya? Langit tidak yakin jika Shien masih mengharapkan sampah tak berharga semacam dirinya.

Dan itu terbukti saat tidak sengaja dia mendengar percakapan Shanna dan Shien di dalam sana karena pintu ruang rawat Shien tidak tertutup sempurna.

"Cause I'll let him go . . . ."

Langit sudah menduga jika Shien tidak mungkin masih menginginkannya setelah apa yang terjadi. Tapi mendengar Shien mengatakan ingin melepaskannya, rasanya Langit tetap tidak rela. Hatinya sakit dan dia ingin berpura-pura tidak pernah mendengar itu.

SO IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang