37. Pelarian

527 42 1
                                    

EP. 37. Pelarian

********

"Kok gak dibuka?" Tanya Shien seraya berjalan menghampiri Langit yang masih berdiri mematung menatap layar intercom, alih-alih langsung membuka pintu. Padahal, bel terus berbunyi.

Shien yang melihatnya dibuat penasaran dan memilih untuk menghampiri Langit, sekalian melihat siapa yang datang sampai-sampai membuat Langit terus bergeming seperti itu. Sepertinya bukan petugas laundry yang Langit kira tadi.

"Lang. . . ."

"Ehh?" Langit tersentak saat merasakan Shien menyentuh lengannya.

"Kenapa gak dibuka?" Tanya Shien sekali lagi. Pandangannya lantas beralih pada layar LCD yang menampilkan wanita paruh baya dengan menenteng dua goodie bag berukuran besar di kedua tangannya. Wanita itu terlihat anggun dan bersahaja, Shien bisa menilai itu.

Alis Shien terangkat sebelah dengan pikiran penuh tanya. Siapa wanita paruh baya itu hingga membuat Langit terlihat ragu untuk membuka pintunya?

Sebersit pikiran konyol kemudian muncul di kepalanya. Lantas dia melirik Langit dan menatapnya ragu. Mungkinkah Langit jadi simpanan tante-tante?

Tapi buru-buru Shien menepis pikiran anehnya itu dengan menggelengkan kepala. Langit banyak uang, untuk apa jadi simpanan? Tapi wanita paruh baya itu siapa? Karena sengetahuan Shien, Mama Langit sudah meninggal dan dia juga tidak memiliki ibu tiri.

"Kamu mikirin apaan?" Langit mengusap penuh wajah Shien, membuat gadis itu mengerjap dan tersadar.

"Gak ada mikirin apa-apa." Sahut Shien, lalu mengedikkan dagunya pada layar. "Siapa?"

Langit menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu dengan ragu dia menjawab. "Itu. . . , Bunda."

"Hah?" Shien dibuat bingung. Raut wajahnya seperti membutuhkan penjelasan. Tapi baru saja Langit hendak menjawab, ponsel milik Langit di saku celananya berdering hingga perhatiannya teralihkan pada benda pipih yang kini menampilkan nama Bunda di layarnya.

Lantas Langit menjawab sambungan teleponnya sambil bergerak-gerak gelisah. Shien yang melihat tingkah aneh Langit hanya bisa mengernyitkan keningnya.

"Iya, Bunda?"

Dan ternyata yang menelepon adalah Bunda Mona, ibu Jingga yang sudah seperti ibunya sendiri.

"Ada."

"Iya sebentar, Bun. Aku baru bangun tidur. Aku buka pintunya sekarang."

Kening Shien semakin terlipat dalam begitu mendengar penuturan bohong Langit. Ekspresi laki-laki itu campur aduk, antara bingung dan panik menjadi satu.

"Shi, kamu keberatan, gak, kalau nunggu dulu di kamar aku dulu?" Tanya Langit, guratan rasa bersalah terlihat jelas di wajahnya.

Bukannya Langit tidak ingin mengenalkan Shien pada Bunda, hanya saja waktunya tidak tepat.

Apa yang akan dipikirkan wanita itu nanti jika beliau mendapati dia dan Shien berdua di sini?

"Nanti aku jelasin." Lanjut Langit sambil tersenyum kaku, sorot matanya nampak penuh permohonan.

Shien menyetujuinya dengan anggukkan kepala. Kemudian, buru-buru Langit bergerak cepat mengambil tas Shien yang tergeletak di bawah sofa, lalu membimbing gadis itu menuju kamarnya.

"Gak lama, kok." Langit mengusap puncak kepala Shien sebelum gadis itu benar-benar masuk ke kamarnya.

Setelah melihat Shien menghilang di balik kamarnya, lantas Langit bergegas untuk membuka pintu.

SO IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang