94. I'll Always Love You

563 39 4
                                    

EP. 94. I'll Always Love You

********

Satu tahun berlalu sudah. Sedikit, ada yang terlihat berdeda dari kamar bercat dinding warna merah muda itu.

Aroma farfum yang sangat feminim menyambut indra penciuman Shien begitu dia membuka lebar-lebar pintu kamar Shanna. Masih menyengat seperti biasa, wangi khas Shanna.

Netra jernih seperti biji kacang almondnya menggerayangi setiap sudut kamar, berusaha menemukan sosok yang sedang bermalas-malasan di tempat tidur sambil terbahak-bahak atau terkadang menangis tidak jelas karena drama Korea yang sedang ditontonnya.

Tapi Shien tidak menemukannya. Shien hanya menemukan beberapa poster boy group K-Pop yang tertempel pada dinding kamar Shanna serta ratusan foto polaroid dari member boy group tersebut.

Ini masih seperti mimpi bagi Shien. Mimpi paling buruk dari yang terburuk yang pernah dia alami.

Tidak pernah sekali pun Shien berpikir akan kehilangan sosok bersuara cempreng yang terkadang membuat telinganya sakit, sosok yang sering menjahilinya sampai membuat Shien kesal, sosok yang selalu membuat kamarnya yang rapi menjadi berantakan, dan. . . .,

Shien tidak pernah melihat kamar Shanna serapi ini. Sebuah ruangan yang sering Shien sebut kandang domba itu sekarang. . . .

"I miss you. . . ." Bisik Shien lemah seraya mendudukkan dirinya di tepi ranjang milik Shanna.

Dia lantas meraih bingkai foto yang tergeletak rapi di atas nakas, foto kebersamaannya dengan Shanna dan juga Nathan saat piknik di taman rumah sakit waktu itu.

Posisi Shanna di tengah, dan dia yang tersenyum paling cerah. Senyum yang selalu membawa kebahagiaan bagi setiap orang yang ada di sekitarnya, dan itu hanya milik Shanna.

Kakaknya adalah bunga musim semi yang selalu membawa keceriaan, bahkan pada saat-saat terakhirnya.

Air mata Shien tahu-tahu sudah jatuh. Dia tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ternyata satu tahun di Amerika tidak benar-benar membuatnya bisa berdamai dengan kenyataan. Itu hanya membuatnya terhindar dari kesedihannya sementara.

"Shi. . . ."

Panggilan dari suara lembut seseorang membuat Shien buru-buru menyeka air mata yang membasahi pipinya.

Shien mendapati Mama bergerak menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya dan mengusap pundaknya lembut. Seulas senyum hangat terlukis di wajahnya. Wanita itu selalu terlihat jauh lebih tegar daripada Shien. Tapi, tidak tahu bagaimana di dalam hatinya. Mungkin saja wanita itu hanya berpura-pura kuat.

"Ayo, Shi. Nathan udah nunggu di bawah." Ujar Mama, masih dengan suara lembutnya.

Shien mengangguk pelan, lalu beranjak dari duduknya. Shien menatap seluruh ruang kamar itu sekali lagi, membayangkan semua kenangan indah yang pernah dia habiskan bersama Shanna, kemudian menutup pintu kamar itu.

Shien tidak akan melupakan apapun. Shien akan terus membawa kenangannya bersama Shanna.

Dan Shanna akan selalu menjadi bagian dari diri Shien, untuk selamanya.

********

Hari ini tepat satu tahun kepergian Shanna kurang dua hari. Shien baru saja kembali dari Amerika tadi siang, dan dia sudah berjanji untuk datang berziarah bersama Nathan yang juga baru kembali dari Pakistan.

"Hai, Sha. Kami kembali. . . ." Sapa Nathan dengan seulas senyum menghiasi wajahnya.

Sedikit banyak, ada yang berubah dari pusara Shanna. Gundukan tanah merah itu kini ditumbuhi rumput hijau yang sengaja dirawat. Nathan meletakkan setangkai bunga tulip merah di sana.

"Gara-gara adik kamu dandannya lama sampai bikin aku telat datang." Nathan melirik Shien sekilas, sehingga membuat gadis itu melempar dengusan sebal padanya.

"Enak aja. Kak Nate, nih, yang nyetirnya lelet. Jadinya kami kesorean, deh, Kak." Sanggah Shien seolah sedang mengadu pada Shanna, dia lantas ikut berjongkok di sebelah Nathan dan meletakkan satu tangkai bunga tullip miliknya, persis di sebelah bunga milik Nathan.

"Ihh, nuduh. Kamu, tuh, yang bikin kita telat. Kalau gak dandan kelamaan, kita gak bakalan kejebak macet. Terus kalau gak kejebak macet, aku gak mungkin nyetirnya lelet." Nathan mendumel tak terima.

Rasanya sekarang jauh lebih lega. Setelah menghabiskan waktu satu tahun untuk sama-sama bangkit dan meraih dunia mereka kembali, dan tentu saja dengan susah payah karena Nathan dan Shien harus melalui penderitaan sebelum mereka kembali mendapatkan tawanya. Kini mereka bisa mengajak Shanna becanda lagi.

Dari Shanna, Shiem belajar banyak hal. Terutama mengenai keihklasan, hingga akhirnya dia bisa menerima kepergian Shanna. Shien juga menyadari bahwa dalam hidup itu selalu diiringi perjumpaan dan perpisahan.

People come and go. . . .

Shien bahkan meminta Nathan untuk kembali meraih cintanya yang baru. Tapi Nathan malah marah. Bukan marah, sih. Lebih tepatnya menegur Shien karena mengira gadis itu memintanya untuk melupakan Shanna.

Tapi bukan seperti itu maksud Shien.

Shien tidak meminta Nathan untuk melupakan Shanna. Shien bahkan mengancam akan memukul Nathan menggunakan strap heelsnya kalau sampai Nathan berani melakukan itu.

Tapi karena Nathan masih hidup.

Nathan masih harus melanjutkan hidup dan masa depannya masih panjang.

"Pulang, yuk, Kak." Shien bangkit berdiri, disusul Nathan setelahnya.

Keduanya menoleh ke arah pusara Shanna untuk kesekian kalinya, membiarkan semua kenangan indah bersama Shanna kembali berputar di kepala masing-masing. Termasuk kenangan masa kecil mereka yang begitu indah.

"I'll always love you."

"I'll always love you."

Bisik mereka bersamaan, lalu kembali berbalik dan bergerak keluar dari area pemakaman.

"Shi, ayo lari sampai ke parkiran. Yang kalah traktir makan sepuasnya." Ajak Nathan menantang.

"Call." Sahut Shien berani.

Shien sudah lebih sehat sekarang, meski masih harus mengkonsumsi obat imunosupresan untuk pemulihan jangka panjangnya.

Berkat Shanna, Shien bisa melakukan semua hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan. Empat bulan ke belakang bahkan Shien sudah melakukan tour keliling dunia bersama Mama dan Papa. Dengan kata lain, Shanna sudah mewujudkan hampir semua mimpi-mimpi Shien.

"Siap, ya?" Nathan memberi aba-aba. Shien mengangguk.

"Satu. . . , lari."

"Ihh, curaaang." Teriak Shien kesal karena Nathan berlari mendahuluinya. Padahal, hitungan laki-laki itu belum sampai di angka tiga.

Shien menghentakkan kakinya kesal. Namun sejurus kemudian, gadis itu ikut berlari menyusul Nathan yang sudah beberapa langkah lebih jauh darinya.

********

To be continued. . . .

SO IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang