64. To be Honest

451 29 1
                                    

EP. 64. To be Honest

********

"Harus banget, ya, beliin bunga buat si bocil? Kamu aja gak pernah, lho, beliin bunga buat aku." Protes Langit memasang wajah memberengut. Dia mengekori Shien yang tengah memilih rangkaian bunga yang sesuai dengan warna toga almamater Reno.

Hari ini mereka berencana untuk menghadiri wisuda Reno di kampusnya siang nanti. Maka dari itu, Shien mengajak Langit pergi ke toko bunga terlebih dahulu.

Bunga Anggrek Dendrobium warna biru menjadi pilihan Shien. Tak menghiraukan Langit yang terus mendumel kesal, sambil sesekali menghentakkan kakinya ke lantai seperti anak kecil, Shien lebih memilih berbicara dengan penjaga toko untuk merangkai bunga sesuai keinginannya.

"Shienna kamu denger aku, gak, sih?" Langit gemas sendiri karena Shien mengabaikannya. Pasalnya, sudah dari sepanjang perjalanan ke toko dia terus menggerutu dan meminta Shien agar tidak perlu memberi hadiah apapun untuk Reno.

Mengetahui Shien akan datang ke wisudanya saja dia sudah sangat kesal karena cemburu. Padahal, ini adalah hari libur yang seharusnya digunakan untuk menghabiskan waktu berdua seharian. Huuh.

"Aku cuma ngikutin tradisi." Sahut Shien akhirnya yang memang tidak ada niatan tersembunyi.

Shien membeli bunga untuk Reno karena sudah tradisi dari zaman dahulu yang memberikan buket bunga sebagai tanda ucapan selamat atas keberhasilan seseorang yang sudah menyelesaikan pendidikannya di bangku kuliah.

Terlebih sekarang adalah zaman milenial, zamannya media sosial di mana selfie atau wefie adalah hal yang maha penting. Jadi, jika berswafoto tanpa memeluk seonggok bunga yang dibalut flower wrap itu akan sangat tidak asyik bagi para pemegang gelar sarjana baru.

"Ya tapi aku gak suka." Langit mendelik sebal. Penjaga toko yang melihat tingkah Langit yang merajuk itu tersenyum geli. Langit benar-benar sensi layaknya perempuan yang sedang mengalami Pramenstrual Syndrome.

"Kan bunganya bukan buat kamu." Ujar Shien tidak peka, atau memang sengaja berpura-pura tidak peka untuk mengerjai Langit.

"Maksud aku bukan gitu lho, Shi." Langit mendengus kesal. "Aku, tuh, gak suka kamu beli bunga buat cowok lain." Imbuhnya, persis seperti anak kecil yang cemburu pada ibunya yang lebih memperhatikan anak orang lain.

Menghembuskan napas kasar seraya memutar bola matanya jengah, Shien lantas mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan dari dompetnya, lalu menyodorkan uang tersebut pada kasir setelah beberapa saat yang lalu rangkaian bunganya sudah selesai.

Namun, dengan cepat Langit menahan tangan Shien, kemudian tanpa bicara dia mengeluarkan uang dari dompet miliknya dan membayar buket bunga yang dibeli gadis itu.

"Makasih." Ucap Langit datar seraya menerima struk pembayaran dari kasir, lalu menarik tangan Shien untuk pergi meninggalkan toko rangkaian bunga tersebut.

Shien memperhatikan Langit yang masih menekuk masam wajahnya. Laki-laki itu bahkan tak kunjung melajukan mobilnya di saat mereka sudah duduk di sana selama hampir lima menit setelah keluar dari toko bunga.

Shien berdecak kecil. Dia tahu, Langit sedang merajuk padanya. Sikap kolokan dan over jealous Langit benar-benar tidak ada tandingannya.

"Reno cuma anak kecil yang udah aku anggap kayak adik sendiri." Sebelah tangan Shien terulur untuk mengelus lembut pipi Langit, bermaksud untuk membujuknya. Namun, laki-laki itu tidak bereaksi.

Langit hanya mengedikkan bahunya dengan wajah yang semakin terlipat kesal. Mau dianggap adik, kakak, atau teman, serta muda atau tua, jika mereka laki-laki, Langit tetap tidak suka jika Shien memberi perhatian mereka selain dirinya.

SO IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang