103. Ngidam

923 41 1
                                    

EP. 103. Ngidam

********

Langit memarkirkan mobilnya di halaman rumah berukuran luas yang tampak asri karena pepohonan khas pekarangan rumah yang tumbuh di sana. Rumah Biru dan Jingga.

Ini bukan kali pertamanya mereka datang ke rumah baru itu, keduanya cukup sering berkunjung menghabiskan waktu bersama setelah Biru dan Jingga pindah ke sana.

Lokasi rumah Biru masih satu kompleks dengan rumah milik Langit yang masih dalam proses renovasi, begitu pun dengan rumah Senja. Sengaja orang tua mereka menempatkan rumah anak-anaknya berdekatan agar lebih mudah saat berkunjung. Tidak hanya itu, dengan lokasi rumah yang berada dalam satu kompleks akan semakin mendekatkan tali persaudaraan mereka.

Shien sedikit menyayangkan karena keinginannya untuk pergi menggunakan motor harus batal karena cuaca yang mendung. Padahal, dia sangat ingin jalan-jalan naik motor. Itu mengingatkannya saat masa-masa mereka pacaran dulu. Romantis dan bisa mesra-mesraan secara tidak langsung. Duhh, hanya dengan membayangkannya saja Shien sudah berbunga-bunga.

"Ayo!" Seru Langit yang tahu-tahu sudah membukakan pintu untuknya.

"Hampersnya?" Tanya Shien mengingatkan tentang hadiah untuk anak kedua Biru dan Jingga yang disimpan di bagasi mobil.

"Udah aku ambil." Langit mengacungkan goodie bag berukuran besar berisi hampers bayi.

Shien tersenyum tipis, kemudian turun dari mobil dan berjalan beriringan bersama Langit untuk masuk ke rumah berkonsep tropis modern itu.

"Lho, Bunda?" Shien sedikit terkejut dan senang sekaligus kala melihat Bunda berdiri di hadapan mereka. Wanita paruh baya itu pula yang membukakan pintu rumah.

"Iya, Bunda di sini nemenin Jingga untuk sementara. Ada Ayah juga di dalam."

Masih di ambang pintu, Shien dan Bunda lantas saling berpelukan dan bertukar kabar. Bunda yang paling heboh karena sudah cukup lama tidak bertemu Shien setelah dia tidak lagi datang ke rumahnya untuk belajar memasak.

"Ya udah, ayo masuk, Biru sama Jingga udah nunggu kalian dari tadi. Katanya mau datang pagi, tapi siang banget." Ajak Bunda merangkul lengan Shien untuk membawanya masuk ke rumah. Sementara Langit sedikit mendengus karena Bunda seperti menganggap dirinya tidak ada.

"Tadi nunggu hujan reda, Bun." Jawab Shien memberi alasan. Memang benar mereka menunggu hujan reda, tapi sembari melakukan sesuatu yang menggairahkan hingga lupa waktu.

Bunda hanya mengangguk-angguk tak mempermasalahkan. Cuaca hari ini memang sangat berawan walaupun hujan sudah reda sejak beberapa jam yang lalu.

"Ohh iya, Bun. Winter sama siapa?" Tanya Langit begitu mereka menaiki tangga menuju kamar Biru dan Jingga yang berada di lantai dua. Mengingat Winter yang masih sangat kecil, anak itu bahkan baru belajar berjalan dan sudah memiliki seorang adik. Biru dan Jingga pasti akan sangat kerepotan di awal-awal.

"Sama kakek-neneknya yang satu lagi. Biru sama Jingga masih harus beradaptasi, jadi Winter dititipin dulu." Jelas Bunda.

"Nanti kalau kalian punya anak, jaraknya jangan terlalu deket kayak mereka. Repot sendiri kalian nantinya." Ujar Bunda.

Wanita itu menghembuskan napas berat, antara capek menaiki anak tangga dan memikirkan nasib anak serta menantunya yang akan sedikit kesulitan mengurus anak mereka yang masih kecil-kecil, ditambah kesibukan mereka yang sama-sama bekerja sebagai dokter.

"Padahal aku niatnya mau produksi setahun satu, Bun." Celetuk Langit asal hingga membuat Shien menyikut perutnya dan melayangkan tatapan kesal.

"Produksi-produksi, kamu pikir pabrik?" Cibir Bunda, sementara Langit hanya nyengir lebar.

SO IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang