69. Berani Mengakui

2.4K 119 12
                                    

❤️ Rina

Selesai sholat magrib, aku dan Mas Rezky sudah berusaha berulang kali untuk membangunkan Elysia. Tapi Elysia tetap saja terlelap dalam tidurnya. Jadi baru setelah selesai sholat isya, Elysia bangun, dan mau untuk mengisi perutnya. Itu pun harus tetap disuapi dan ditunggui oleh Mas Rezky supaya Elysia mau untuk menghabiskan makanannya.

Entahlah.

Kebingunganku sungguhan tak ada habis-habisnya hari ini, karena melihat Elysia yang berubah jadi manja sekali. Karena biasanya Elysia memang tidak pernah seperti ini.

Kalau Elysia sakit, putri kecilku tak akan pernah sampai menangis dan merengek terlalu lama. Tapi hari ini, Elysia benar-benar sulit sekali untuk ditenangkan dan dihentikan tangisannya. Kecuali saat Mas Rezky sudah datang dan berada di sisinya, baru Elysia mau tenang dan menghentikan semua tangisan dan sesenggukannya.

"El minum obatnya ya," kata Mas Rezky setelah Elysia selesai makan dan meminum air mineralnya.

Tapi Elysia malah menggelengkan kepalanya, "Nggak mau. Soalnya, obatnya pahit."

"Kan El belum coba," Mas Rezky masih berusaha untuk membujuk Elysia.

Tapi Elysia tetap menggelengkan kepalanya, "Nggak mau, Ayah."

Shinta mencoba untuk mendekat pada Elysia yang masih setia duduk di pangkuan Mas Rezky sejak tadi. "El, minum obatnya sama Tante Shinta ya, yuk."

"Nggak mau. El mau sama Ayah aja," kata Elysia yang langsung merapatkan tubuhnya untuk memeluk erat Mas Rezky di bagian lehernya.

Shinta melongo, "Hah? Ayah?"

Pasti, Shinta sedang kebingungan sekarang. Karena aku memang belum bercerita padanya tentang Elyisa yang memanggil Mas Rezky dengan sebutan 'Ayah'.

Aku ingin melarang Elysia. Tapi melihat keadaan Elysia yang sepertinya belum stabil, aku jadi tak tega untuk langsung melakukannya.

Ibu menarik tangan Shinta untuk segera kembali duduk di sampingnya, "El maunya sama Mas Rezky, Dek."

Walau Shinta masih terlihat sangat bingung, tapi akhirnya, Shinta mau menurut dan segera duduk tenang di sebelah Ibu.

"El mau cepat sembuh nggak?" tanya Mas Rezky.

"Mau."

"Kalau gitu, El minum obat dulu. Ya? Biar bisa cepat sembuh. Dan nggak sakit lagi."

Elysia kembali menggelengkan kepalanya, "El nggak mau, Ayah. Obatnya pahit."

"Kan El belum coba. Jadi El belum tahu pasti gimana rasanya. Kalau rasanya memang pahit, ya nggak papa. Ditahan dulu sebentar, biar El bisa cepat sembuh. Biar El bisa sekolah lagi. Nanti, obatnya, juga ada sirup yang manis kok. Ya? Jadi nggak papa. Diminum dulu ya obatnya," Mas Rezky berujar lembut sekali, berharap bahwa Elysia bisa langsung mengerti.

Elysia memandang lekat pada wajah Mas Rezky. Jadi Mas Rezky langsung tersenyum, dan berkata lagi. "Mau ya minum obatnya? Nanti, Om Eky bantu."

"Ayah," ucap Elysia dengan ketusnya.

Aku tersentak.

Astaga.

Siapa yang mengajari Elysia jadi bisa bersikap seperti itu pada orang yang lebih tua?

Mas Rezky langsung menganggukkan kepalanya, setelah melihat ekspresi cemberut yang ditunjukan oleh Elysia. "Iya. Sama Ayah. Jadi, El minum obat dulu ya? Nanti, kalau udah minum obat, El bisa tidur lagi. Oke?"

Akhirnya, Elysia mau memberikan anggukan kepalanya.

Alhamdulillah.

Aku bisa bernapas lega sekarang.

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang