61. Keseharian

1.7K 165 67
                                    

❤ Rina

Pagi ini, aku sudah sampai di toko, menunggu Damar selesai menjemput kaos seragam yang ia pesan untuk acara di kantornya.

"Mba Rina, bajunya beres, udah masuk semua ke mobil Mas Damar," kata Faiz, salah satu pegawai laki-laki dari bagian konveksi.

"Oke, Iz. Makasih ya."

Faiz menganggukkan kepalanya, "Iya, Mba. Sama-sama. Kalau gitu, aku balik ke sablonan lagi ya, Mba. Mau ngerjain pesanan untuk sponsor acara."

"Iya. Nanti siang atau sore, aku main ke sana ya."

Faiz mengangkat ibu jarinya, "Siap, Bos. Udah banyak yang jadi juga, Mba. Jadi nanti, Mba Rina bisa cek langsung kalau ke sana."

Aku tersenyum, "Siap. Nanti, kalau ada sesuatu yang diperlukan lagi, langsung minta aja ya lewat Lia."

"Iya, Mba Rina. Siap. Kalau gitu, pamit ke belakang lagi ya, Mba. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Faiz sudah berlalu untuk kembali ke tempat berkreasinya.

"Wah memang Bos yang rendah hati banget ya. Pegawainya aja bisa santai gitu ngomongnya pakai aku, bukan saya."

Aku langsung mendelik ke arah Damar yang kini sudah terkekeh di depanku, "Apa si, Dam?"

Bukannya takut dengan delikanku, Damar malah sok mengikuti gaya bicaraku. "Apa si, Rin?"

Wah, apa-apaan itu???

Aku benar-benar jadi bergidik ngeri melihat tingkah Damar yang seperti itu.

"Inget ya, Dam. Kamu bukan lagi anak SMA. Jangan lupa sama umur."

Damar malah semakin cengengesan, "Tapi kalau lagi sama kamu, bawaannya, aku emang masih kaya remaja terus, Rin."

Aku jelas langsung mencibir, "Pret."

Dan Damar tertawa semakin bahagia.

Elysia datang dengan digandeng tangannya oleh Lia.

"Mba Rina, jadi mau aku pesenin taksi?" tanya Lia.

Aku belum memberikan jawaban pada Lia, tapi ternyata, Damar sudah ikut bertanya. "Taksi buat apa, Rin?"

Aku menghela napas pasrah, "Damar, kebiasaan banget deh dari dulu. Kalau ada orang yang lagi tanya sama aku, kenapa kamu yang langsung nyamber kaya gitu?"

"Maaf, Rin. Reflek," jawab Damar dengan kekehan renyahnya.

Aku kembali memberikan dengusanku. Tapi Damar justru kembali tertawa di hadapanku.

"Udah, cepetan jawab. Kamu pesan taksi, mau buat apa?" tanya Damar lagi.

"Buat nganter aku sama El ke tempat renang, Dam. Soalnya, mobilku, hari ini, lagi di bengkel, jadwalnya servis. Itu makanya, tadi, aku ke sini diantar sama Shinta," jelasku sedikit bercerita.

"Kalau gitu, nggak usah pesan taksi. Aku aja yang antar kalian ke sana."

"Apa si, Dam? Kok malah jadi kamu yang nganterin?"

"Ya kan ada aku yang bisa nganterin kamu sama El. Jadi ngapain harus pesan taksi segala?"

Aku diam saja, lalu memberikan tatapan lekatku ke arah Damar yang saat ini sedang tersenyum sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Aku tak akan goyah dengan ekspresi jenaka yang sedang Damar punya. Karena aku ingin menunjukan pada Damar, bahwa saat ini, aku sedang kurang setuju dengan gagasan darinya.

"Nggak usah pasang ekspresi sok galak kaya gitu, Rina. Udah nggak mempan. Aku nggak akan takut lagi," kata Damar mengejekku. "Pokoknya, nggak usah pesan taksi. Soalnya, aku yang akan antar kamu sama El sampai ke sana."

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang