158. Nostalgia Masa Remaja

525 38 0
                                    

💙 Mas Rezky

Aku terkekeh semakin bahagia karena mengingat kembali kenangan teramat manis perasaan jatuh cintaku, "Jelas ingat dong. Nana tahu? Itu, pertama kalinya Mas nyapa anak baru."

"Masa?"

"Iya," jawabku yakin tanpa ragu.

"Pantes aja. Dulu, banyak banget yang kaget waktu Nana dapat hadiah karena berhasil punya tanda tangan dari Mas. Katanya, Mas itu kakak kelas yang susah banget buat diajak ngobrol."

Aku tertawa, "Memang. Cuma Nana yang dulu Mas kasih tanda tangan waktu MOS. Gimana ya jelasinnya? Sebenarnya, Mas itu bukan tipe laki-laki yang akan mudah untuk berbaur dengan wanita. Kecuali, kalau kita memang sudah kenal cukup lama. Tapi kalau itu orang baru, maka Mas punya batasan sendiri, dan Mas nggak akan mungkin mudah untuk menyapa atau ngajak ngobrol terlalu lama."

"Tapi waktu itu, Mas dulu yang nyapa Nana."

Senyum bahagia semakin kutunjukan untuk istriku tercinta, "Kalau soal itu, Mas juga nggak tahu kenapa akhirnya Mas berani nyapa dan ngajak ngobrol Nana terlebih dahulu. Padahal, dulu, kalau diingat-ingat lagi, waktu itu, pagi itu, itu beneran pertama kalinya kita papasan dan ketemu kan, Na?"

Rina langsung mengangguk semangat sekali, "Iya, Mas."

Dan aku juga jadi tersenyum semakin bahagia, "Mungkin, karena memang sudah jodohnya. Sudah ada tanda-tandanya. Makanya waktu itu, Mas jadi berani untuk nyapa Nana terlebih dahulu."

Rina ikut tersenyum, tapi setelah itu, ekspresi istri cantikku jadi berubah sedikit masam. "Tapi, dulu, waktu SMA, Nana juga lihat, kalau Mas itu akrab banget sama semua anggota OSIS. Makanya dulu, Nana jadi menilai, kalau Mas adalah tipe orang yang ramah dan mudah sekali untuk bergaul."

"Memang. Itu juga benar. Di OSIS kan kita satu organisasi, nggak mungkin dong kalau Mas nggak dekat. Apalagi, Mas ketuanya. Jadi tentu saja, Mas harus dekat dengan semua anggotanya Mas. Tapi di luar itu, apalagi untuk masalah interaksi dengan perempuan, Mas nggak akan semudah itu, Na."

Rina tiba-tiba jadi mendelik padaku, "Tapi dulu, Mas kelihatan deket banget sama Mba Diandra."

Aku tertawa.

Astaga.

Sepertinya, istri cantikku sedang cemburu lagi tentang kenangan masa remaja kami berdua.

Lucu sekali.

"Ya ampun. Nana masih cemburu sama Diandra?"

Rina mendengus tanpa mau menjawab pertanyaanku.

Jadi aku langsung menarik tubuh ramping Rina untuk mendekat lagi padaku, "Coba, cerita. Sebenarnya, dulu, Nana lihat Mas ngapain aja sama Diandra sampai Nana jadi cemburu kaya gini? Hm? Apa?"

Rina malah jadi kesal sekali sampai kembali memukul pelan bagian dadaku, "Nggak tahu lah. Bodo. Nggak usah tanya-tanya."

Aku tertawa, lalu mencium pipi Rina yang kini jadi menggembung dengan sangat lucu di kedua bagiannya. "Mas suka kalau Nana cemburu kaya gini. Itu tandanya, Nana memang benar-benar cinta sama Mas."

Rina makin menunjukan ekspresi cemberutnya, "Kalau Nana nggak cinta, kalau Nana nggak sayang, nggak mungkin Nana mau jadi istrinya Mas."

Aku tertawa, lalu kembali mengeratkan pelukanku pada Rina. "Iya. Iya, sayang. Terimakasih, istriku tercinta."

Rina menganggukkan kepalanya, lalu membalas pelukanku dengan sama eratnya.

Aku mengelus rambut panjang Rina, "Na, Mas mau bilang lagi, kalau Mas nggak pernah jatuh cinta sama Diandra. Sungguh. Kita berdua hanya berteman. Nggak lebih. Karena dulu, Diandra suka sama Bipa. Sedangkan Mas, sukanya sama Nana."

"Bohong."

"Beneran, sayang. Mas nggak bohong. Bukti nyatanya, Mas nggak pernah punya hubungan spesial dengan perempuan lain, sampai akhirnya Mas ketemu lagi sama Nana."

Rina mengangkat pandangan matanya, dan bertemu tatap denganku yang masih begitu setia menunjukan senyum kelewat bahagia.

"Mas cintanya, cuma sama Nana. Entah Nana percaya atau nggak, tapi sampai selama ini, perempuan yang berhasil buat Mas jadi sayang sampai susah banget untuk lupa, itu beneran cuma Nana. Memang, Mas pernah suka atau tertarik dengan perempuan lain sebelumnya, tapi hanya sebatas suka aja. Nggak pernah berlanjut atau berkembang lagi jadi perasaan sayang dan cinta, seperti perasaan jatuh cintanya Mas sama Nana."

Rina menatap lekat padaku. Jadi aku kembali mengungkapkan isi hatiku.

"Selama 8 sampai hampir 9 tahun ini, sungguhan cuma Nana, perempuan yang berhasil masuk sampai ke dalam hatinya Mas. Cuma Nana, perempuan yang paling Mas inginkan untuk jadi istrinya Mas. Dan insyaAllah, sampai tutup usia nanti Mas diberikan umur oleh Allah, cuma Nana, perempuan yang akan Mas cintai sebagai istrinya Mas."

Rina tersenyum manis sekali.

"Maaf ya, Mas. Maaf, karena dulu, Nana nggak sabar, Nana jadi nggak tahu kalau ternyata Mas juga punya perasaan yang sama seperti Nana. Maaf, karena Nana nggak berhasil menjaga cinta Nana hanya untuk Mas. Maaf, karena sebelumnya, Nana sudah pernah punya laki-laki lain di sisi Nana."

Aku mengusap lembut pipi merona milik Rina, "Nggak papa, sayang. Yang penting, Nana selalu jadi yang pertama untuk Mas. Nana itu cinta pertama, ciuman pertama, istri pertama dan insyaAllah untuk selamanya."

Rina mengusap bagian dadaku dengan begitu lembutnya, "Maaf, karena Mas bukan suami pertama untuk Nana. Maaf, karena Nana bukan lagi seorang gadis yang memberikan pertamanya untuk Mas. Dan maaf, karena sekarang, Nana bukan lagi Nana sendiri, tapi Nana juga harus membawa serta Elysia."

Aku tersenyum teduh untuk istriku, "Apa Mas pernah bilang kalau Mas kecewa dengan semua itu?"

Rina menggelengkan kepalanya. Dengan ekspresi sendu yang tiba-tiba jadi ada.

Aku menarik lembut dagu Rina supaya mau menatap tepat ke arahku, "Na, kalau pun Mas harus menanti selama 8 tahun lagi. Melewati sakit dan patah hati lagi karena Nana. Semua akan tetap baik-baik saja. Semua akan tetap sama, jika Allah memang memberikan takdir untuk kita bisa bersama. Semua akan tetap sama, Na. Tidak akan ada yang berubah, dan memang tidak ada yang ingin Mas rubah. Walau pun tak mudah, walau pun banyak sakit dan waktu panjang yang harus Mas lewati, semua akan tetap sama, Na. Sama, karena seorang Nana, Elsa Azarina Safira, akan tetap menjadi cinta pertama dan terakhir untuk Mas."

Rina tak mengalihkan pandangannya dariku.

"Dan tak ada yang harus disesali, apalagi alasan untuk bersedih berulang kali. Karena semuanya, sungguhan akan tetap selalu sama, Na. Walau Mas diberi kesempatan untuk merubah satu atau dua hal, tapi Mas akan tetap memilih untuk melewati jalan yang sama, untuk bisa sampai ke sini. Untuk bisa bersama Nana. Dengan Nana sendiri, atau dengan Nana bersama Elysia, semua akan tetap sama, sayang. Nana tetap akan jadi cinta pertama dan terakhir untuk Mas. Seorang perempuan yang akan selalu Mas pinta di dalam setiap doa, untuk jadi istri, dan pendamping setia untuk Mas. Dan Elysia, akan tetap jadi putri pertama yang paling Mas sayangi, walau Papa yang pertama Elysia sebut adalah Mas Rama. Semua akan tetap sama, Na. Nana dan Elysia, akan tetap jadi dua perempuan kesayangan Rezky Pramurindra."

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang