19. CLBK

3K 359 58
                                    

💙 Mas Rezky

"Dek, tangi." (Dek, bangun)

"Tangi, Dek. Mataharine wis dhuwur iki loh, cepet tangi." (Bangun, Dek. Mataharinya sudah tinggi ini loh, cepet bangun)

Aku mengeluarkan eranganku, karena Ibu yang terus-menerus memukuli bagian punggungku.

"Tangi, Dek. Tangi. Arep tangi jam pira? Wis meh awan iki loh." (Bangun, Dek. Bangun. Mau bangun jam berapa? Ini udah hampir siang loh)

Ibu masih saja terus memukuli punggungku, jadi aku makin beringsut untuk memeluk gulingku. "Bentar lagi, Bu."

"Bentar lagi, bentar lagi. Cepet bangun. Dari tadi, Ibu udah teriak-teriak, jawabnya bentar lagi, bentar lagi terus. Udah, cepet bangun. Terus, mandi," dengan semena-mena, Ibu langsung menarik selimutku tanpa peduli bahwa saat ini aku sedang mengerang karenanya.

Kini, aku langsung merubah posisi tidurku jadi terlentang. "Ibu tega banget si. Kan Rezky masih pengin tidur, Bu."

"Kamu ini, sebenarnya niat pulang apa nggak si, Dek?"

Aku masih menutup rapat kedua mataku, enggan sekali untuk membukanya. Karena aku benar-benar masih ingin tidur dan tak mau mendengar Ibu dengan segala bentuk omelannya.

"Buka matanya, Dek. Orangtua lagi ngomong, malah merem terus kaya begitu."

Dari punggung, sekarang, Ibu beralih memukul dadaku.

Mau tak mau, aku jadi membuka paksa kedua mataku, "Iya, Bu. Iya. Ini, Rezky udah bangun."

"Kamu niat pulang apa nggak?"

"Ya niat, Bu. Buktinya, sekarang ini, Rezky udah di rumah sama Ibu."

"Kalau niat, ya bangun. Jangan molor terus kaya gitu. Seminggu di Purwokerto, kerjaanmu cuma tidur, nonton TV, makan, ke kamar mandi, terus tidur lagi. Gitu aja terus. Ibu yang lihat sampai sebel tahu nggak?"

"Lah kok malah sebel si, Bu? Anak lanang pulang, harusnya, Ibu seneng dong. Bukan sebel," jawabku sambil mendudukkan diriku.

Ibu ikut mendudukkan dirinya di atas tempat tidurku, "Lah kamu, pulang malah kaya nggak ada gairah hidup kaya gini. Hawanya lemes, suram, kaya nggak ada harapan."

Aku diam saja. Belum mau menanggapi omelan Ibu yang sepertinya akan lumayan panjang seperti sebelumnya.

"Kamu kenapa, Dek? Nggak biasanya kamu luntang-luntung kaya orang bingung gini. Apa-apa jadi males. Kenapa? Lagi patah hati?"

Aku langsung menganggukkan kepalaku dengan sangat lesu. "Iya, Bu."

"Kamu beneran lagi patah hati?"

Aku mengangguk lagi. "Nggih, Bu. Rezky lagi patah hati."

"Emangnya, kamu punya pacar?"

Masih dengan gerakan yang sangat lesu, aku memberikan gelengan kepalaku pada Ibu.

"Lah wong ora duwe pacar ka ngomonge patah hati. Mesti lagi nglindur," (Orang nggak punya pacar kok ngomongnya patah hati. Pasti lagi ngelindur)

"Rezky beneran lagi patah hati, Bu."

"Jangan mengkhayal kamu, Dek. Kamu jomblo, terus kenapa bisa patah hati?"

Ibu Sri memang keji sekali pada anaknya sendiri. Anak lagi patah hati, bukannya dihibur malah dicaci.

Ibu menepuk pahaku dengan begitu teganya. "Ibu tanya, mbok dijawab, Dek. Kamu kenapa bisa patah hati?"

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang