38. Rintik Hujan

3.2K 377 135
                                    

❤ Rina

Siang ini, aku baru saja keluar dari warung bebek H. Slamet bersama Lia, asistenku di butik.

"Hujannya lumayan ya, Mba. Semoga aja nggak makin gede ya nantinya," kata Lia sambil membuka payung yang ia bawa.

"Iya. Tapi alhamdulillah, tadi, paketan udah selesai kirim semuanya ya. Jadi nggak ribet ngangkutnya," kataku merasa lega.

Ya. Siang ini, Semarang sedang turun hujan yang lumayan deras. Dan kini, aku dan Lia, yang baru saja keluar untuk mencari makan siang, harus berjalan secara perlahan supaya bawaan makanan dan payung yang kami bawa tidak jatuh berserakan.

Sampai di depan kedai kopi, aku langsung menghentikan langkah kakiku karena melihat Mas Rezky yang kini sedang berdiri di sana dan berusaha untuk melindungi dirinya dari hujan deras yang masih turun sampai saat ini.

"Mas Rezky," sapaku.

Mendengar panggilan dariku, Mas Rezky yang tadinya sedang menepuk-nepuk bajunya yang basah karena terkena air hujan langsung menoleh ke arahku.

"Rina? Kok kamu ada di sini?"

"Iya, Mas. Mas Rezky lagi ada acara apa di sini?"

"Tadi, aku habis ketemu sama orang di dekat sini, Rin. Terus, sambil nunggu Satrio, aku beli kopi di sini. Eh, malah hujan. Jadi ya udah, sekalian aja neduh sampai Satrio datang jemput aku di sini."

Aku memperhatikan bagaimana baju Mas Rezky yang kini sudah cukup basah karena terkena air hujan. Dan kalau terlalu lama dibiarkan, bisa-bisa, Mas Rezky jadi kedinginan.

"Nunggu jemputannya, mampir ke toko aja, Mas. Sekalian neduh di sana."

"Nggak usah, Rina. Aku di sini aja, nggak papa. Lagian, tadi, aku udah telepon Satrio, bilang, kalau aku nunggunya di depan kedai kopi."

"Ya nanti, Mas Rezky telepon Satrio lagi aja. Bilang, kalau jadinya, Mas Rezky nunggu jemputannya di toko baju. Gitu, Mas."

"Nggak usah, Rina. Aku di sini aja. Lagian, bajuku juga udah sedikit basah. Nggak enak nanti kalau malah jadi buat kotor."

"Justru, karena baju Mas Rezky yang memang sudah basah, jadi lebih baik, Mas Rezky nunggunya di toko aja biar nggak makin kebasahan."

Mas Rezky belum sempat menjawab ucapanku, tapi aku sudah langsung beralih menatap Lia yang sejak tadi setia berdiri di sisiku. "Lia, payungmu kasihkan ke Mas Rezky ya. Nanti, kamu bareng aku."

Lia yang tanggap, langsung mengerti dengan keadaan. Jadi Lia segera menempel padaku, dan mengulurkan payung yang tadi ia bawa kepada Mas Rezky.

"Ini, Mas. Payungnya," kata Lia.

"Ayo, Mas. Dipegang payungnya. Habis ini, Mas Rezky mampir ke toko. Ya? Deket banget kok dari sini," ajakku.

Walau terlihat ragu, akhirnya Mas Rezky mau menerima payung yang diberikan oleh Lia. "Makasih ya," katanya.

"Nggih, Mas. Sami-sami," jawab Lia.

(Iya, Mas. Sama-sama)

"Ayo, Mas," ajakku lagi.

Aku dan Lia mulai berjalan untuk kembali ke toko dengan Mas Rezky yang mengikuti di belakang kami.

Sampai di toko, kami bertiga masuk melalui pintu samping dekat garasi.

Selesai meletakkan payung basah di garasi, aku langsung menoleh ke arah Lia yang sepertinya sedang menungguku di sini. "Lia, nitip ini buat dibawa ke dapur dulu ya," kataku sambil memberikan bungkusan makanan yang tadi telah kami beli.

"Iya, Mba. Kalau butuh apa-apa, Mba Rina langsung telepon aja. Nanti, semua keperluannya, langsung aku antar ke ruangan Mba Rina."

Aku mengangguk senang. Karena Lia memang benar-benar seseorang yang sangat peka dan paham sekali dengan keadaan.

Aku berbalik menatap Mas Rezky yang masih berdiri di dekat pintu masuk garasi, "Ayo, Mas. Silakan masuk. Jangan di situ terus. Nanti dingin."

Mas Rezky menganggukkan kepalanya padaku, "Iya, Rin."

Setelah Mas Rezky sampai di dekatku, aku langsung mengantarkan dirinya untuk masuk ke dalam ruang kerjaku.

"Monggo, Mas." (Silakan, Mas)

Kini, Mas Rezky sudah duduk di atas sofa yang ada di tengah ruang kerjaku. "Maaf ya, Rin. Sofanya jadi basah," kata Mas Rezky yang kini terlihat duduk tegap sekali. Mungkin, Mas Rezky takut kalau sofanya akan kotor karena terkena bajunya yang basah. Padahal, walau Mas Rezky bersandar, sebenarnya, juga tak apa. Aku tak akan pernah mempermasalahkannya.

Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepalaku. "Nggak papa, Mas. Mas Rezky santai aja."

Setelahnya, aku lekas berjalan ke arah ruang ganti yang ada di dalam ruanganku untuk mengambil handuk baru. Dan setelah mendapatkannya, aku langsung kembali ke ruang tengah untuk menemui Mas Rezky yang mungkin saja sedang menunggu.

"Ini, Mas. Buat ngeringin, biar Mas Rezky nggak tambah kedinginan," ucapku sambil mengulurkan handuk yang tadi kuambil ke arahnya.

Dan Mas Rezky lekas menerimanya, "Terimakasih ya, Rina."

"Iya, Mas. Sama-sama. Oh iya, Mas Rezky biasa pakai baju ukuran apa?"

"Hah?" Mas Rezky malah terlihat terkejut dengan pertanyaanku.

"Mas Rezky, biasa pakai baju ukuran apa?" tanyaku lagi mengulang pertanyaanku sebelumnya.

"Oh. Kalau kaos, aku pakai ukuran L. Tapi kalau kemeja, aku pakai ukuran M. Kenapa, Rin?"

"Mas Rezky mau ganti pakai kaos atau kemeja?"

"Hah?"

Aku langsung terkekeh karena melihat ekspresi bingung yang sedang ditunjukan oleh Mas Rezky saat ini.

"Baju Mas Rezky, sekarang, udah kelihatan banget basah. Jadi, lebih baik, Mas Rezky ganti dulu biar nggak masuk angin. Di sini, ada baju cowok juga kok. Nanti, aku ambilkan."

"Oh, boleh, Rin. Tapi bajuku basah. Nggak enak kalau ke depan."

"Mas Rezky bisa milih dari sini kok," kataku sambil menyerahkan ipad yang biasa kugunakan untuk cek stok butik, pada Mas Rezky.

"Mas Rezky bisa lihat koleksi yang ready, di situ. Kalau ada yang suka, tinggal klik aja yang Mas Rezky mau. Nanti, Lia yang akan langsung antar bajunya ke sini."

Mas Rezky sudah menerima ipad yang tadi kuulurkan padanya. "Wah, ini canggih banget ya, Rin," katanya.

Aku terkekeh lagi, "Mas Rezky keringin dulu aja rambut sama bajunya, sambil pilih-pilih. Aku tinggal keluar sebentar ya, Mas."

"Iya, Rina. Terimakasih ya. Dan maaf karena aku malah jadi buat kamu repot siang ini."

"Nggak ngerepotin, Mas. Tenang aja."

Setelah melihat Mas Rezky menganggukkan kepalanya, aku langsung keluar dari ruang kerjaku untuk pergi ke dapur dan juga memanggil Elysia yang saat ini sedang bermain di ruangan yang ada di lantai dua.

Karena siapa yang menyangka, jika siang ini aku akan menerima tamu yang sangat tak terduga.

Keberadaan Mas Rezky di ruang kerjaku, sungguhan membuatku terkejut luar biasa. Tapi untuk putri kecilku tercinta, Elysia, adanya Om Eky pasti akan membuatnya sangat bahagia.

Jadi bagaimana?

Ini memang bentuk kejutan?

Atau sesuatu yang memang harus kuterima dengan hati yang senang?

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang