90. Yang Terkasih

375 54 6
                                    

✨ Bu Widya

Melihat Bu Yanti yang masih terus memusatkan perhatiannya padaku, aku jelas tahu, kalau dirinya pasti sedang menunggu cerita lengkap dariku. Jadi menarik dan menghembuskan napasku terlebih dahulu, akhirnya aku mulai menceritakan kisah para kesayanganku.

"Dulu, Rina menikah dengan Rama, anak laki-laki saya, saat Rina baru lulus SMA. Masih muda sekali kan, Jeng? Usia 18 tahun, tapi Rina sudah berani untuk menjadi seorang istri."

Pikiranku langsung melayang pada masa ketika aku mengantarkan Rama untuk melamar Rina pada keluarganya.

Seketika aku tersenyum karena membayangkan hal itu, "Tapi Jeng Yanti tahu? Walau Rina masih semuda itu, tapi Rina bisa menjadi seorang istri yang sangat siap untuk mendampingi Rama. Entah untuk memenuhi kebutuhan Rama di rumah, atau mendampingi Rama dalam setiap tugas kedinasannya. Saya menyaksikan sendiri, kalau Rina memang bisa melakukan kedua hal itu dengan sangat baik."

Aku menoleh lagi pada Bu Yanti yang juga sedang menatapku dengan serius dan juga tatapan lekatnya. Sepertinya, Bu Yanti benar-benar sedang mendengarkan ceritaku tentang Rina dengan sangat seksama.

"Rina itu wanita baik dan sangat sederhana. Rina bisa menyesuaikan dirinya dalam kondisi apa saja. Jujur ya, Jeng. Semasa anak saya masih hidup, sebelum Rama meninggal, Rama memang sudah diangkat jadi seorang Kapolres selama tiga tahun. Tapi sebelum itu, saat anak saya melamar Rina, Rama masih seorang Polisi biasa. Rama masih merintis karirnya, dan Rina dengan setia mendampingi Rama, sampai akhirnya Rama diangkat menjadi seorang kepala. Semasa awal pernikahan mereka, saya tahu kalau mereka juga pasti pernah merasa kekurangan. Tapi mereka tak pernah mengeluh, Jeng. Sama sekali tak pernah. Di depan kami, mereka selalu terlihat bahagia dan baik-baik saja. Dan yang selalu saya syukuri, Rama dan Rina memang selalu menjaga hubungan rumah tangga mereka dengan sangat baik. Mereka bisa saling menjaga kepercayaan mereka masing-masing, mereka setia, dan saling mencintai sampai akhirnya Rama pergi untuk selama-lamanya."

Bu Yanti mengusap-usap punggung tanganku.

"Bagi saya, Rina itu sudah menjadi kesayangan saya. Saya benar-benar sangat menyayangi Rina. Apalagi setelah Rama tiada, setelah anak saya meninggal, saya benar-benar semakin bersyukur karena mempunyai menantu perempuan seperti Rina. Jeng Yanti tahu, apa yang dulu saya takutkan saat Rama meninggal?"

"Apa, Jeng?"

"Saya takut, kalau menantu perempuan saya akan meninggalkan saya dan menganggap saya sebagai orang lain. Sebagai orang asing yang tak lagi mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Itu yang dulu paling saya takutkan. Saya takut, kalau Rina akan meninggalkan saya. Saya takut, Rina akan pergi dengan membawa Elysia bersamanya."

Aku menoleh pada Bu Yanti, lalu tersenyum lagi. "Tapi ternyata, itu semua hanya ketakutan saya sendiri, Jeng. Bersyukur sekali, alhamdulillah, hal itu tak pernah menjadi kenyataan. Bahkan, setelah Rama tiada, justru Rina menjadi seseorang yang paling bisa untuk saya andalkan. Juga untuk adiknya, anak ragil saya, Shinta. Rina itu menjadi sosok kakak yang sangat berarti untuk Shinta."

"Memang apa yang terjadi, Jeng?"

"Setelah Rama tiada, Rina seperti berubah menjadi seorang kepala keluarga yang bertanggungjawab untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Padahal saya tahu, bahwa Rina adalah seseorang yang justru paling merasa kehilangan setelah meninggalnya Rama. Rina kehilangan suami dan harus mengurus putrinya seorang diri di usianya yang masih sangat muda. Tapi Rina justru menjadi penopang untuk kami bertiga, Jeng. Untuk saya, Shinta, dan juga Elysia. Rina selalu menguatkan kami di saat dia sendiri juga harus menguatkan hatinya. Saya tahu kalau dulu, setiap malam, Rina pasti akan selalu menangis sambil memandangi foto Rama. Tapi setelah pagi menjelang, saya akan melihat Rina sudah sibuk memasak di dapur untuk kami bertiga. Rina selalu menyembunyikan kesedihannya sendirian. Rina selalu berusaha untuk menyembunyikan luka dan rasa pedihnya. Rina berbuat seperti itu, supaya kami bertiga tak khawatir dan tetap baik-baik saja. Rina benar-benar telah berusaha sekuat itu, Jeng."

Aku mengusap kedua sudut mataku yang ternyata sudah mengeluarkan muatannya. Karena walau waktu sudah berlalu selama 3 tahun, tapi setiap bercerita tentang seberapa besar usaha dan perjuangan Rina, tentang seberapa kuat Rina setelah Rama tiada, maka itu akan langsung berhasil untuk membuat hatiku terenyuh dan seketika mengeluarkan air mata.

Bu Yanti kembali memberikan usapan lembutnya di punggung tanganku, "Beruntung sekali bisa mempunyai seorang menantu yang sangat berbakti seperti Mba Rina ya, Jeng."

Aku jelas langsung menganggukkan kepalaku, "Iya, Jeng. Saya selalu sangat bersyukur. Di setiap doa saya, saya tak pernah lupa untuk mengucapkan rasa syukur saya. Ucapan terimakasih, bahwa Allah telah memberikan saya seorang menantu seperti Rina. Rina memang tetap wanita biasa yang mempunyai salah dan kekurangannya. Tapi bagi saya, di balik semua itu, Rina tetap seorang anak yang sangat berbakti dan sangat patut untuk disayangi. Oleh karena itu, saya selalu berharap, bahwa setelah ini, Allah akan memberikan kebahagiaan besar lagi untuk Rina. Kebahagiaan bagi seorang perempuan yang telah ditinggal mati oleh suaminya."

"Maksud njenengan apa, Jeng?"

Aku menoleh pada Bu Yanti dan tersenyum padanya, "Saya ingin Rina bisa menikah lagi, Jeng. Saya ingin Rina bisa bertemu lagi dengan jodohnya."

Keinginan besarku membuat Bu Yanti langsung membulatkan kedua matanya dengan begitu sempurna. Reaksi yang selama ini memang selalu dan sudah sangat sering kuterima, ketika aku bercerita, bahwa aku ingin Rina kembali bertemu dengan jodohnya.

Dan tak apa. Sebab semua orang memang berhak menyampaikan pendapatnya. Tapi aku juga punya harapan besar yang selama ini selalu kujaga.

Jadi, keinginanku tak salah, kan?

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang