37. Suami Istri, Satu Putri

3.1K 371 68
                                    

💙 Mas Rezky

Aku, Rina, dan Elysia telah selesai menyantap bubur ayam kami bertiga. Jadi kini, kami bertiga sedang berjalan keluar kedai, dengan Elysia yang menggandeng tanganku dengan begitu eratnya.

Rina sedang berhenti di bagian kasir, "Totalnya, jadi berapa, Mba?" tanya Rina.

"Tadi, sudah dibayar semuanya sama suaminya, Mba," kata kasir tersebut sambil tersenyum ke arah Rina.

Rina langsung tertegun, begitu juga denganku.

"Maksudnya, Mba? Soalnya, saya belum bayar tagihannya," kata Rina dengan raut wajah bingungnya.

"Iya, Mba. Tapi tadi, tagihannya sudah dibayar semua sama suaminya Mba," jawab kasir tersebut sambil menunjuk ke arahku yang masih bergandengan tangan bersama Elysia.

Aku tahu kalau Rina pasti sedang bingung sekaligus terkejut sekarang. Dan aku juga tak tahu harus memberikan jawaban seperti apa, karena Mba kasir tersebut yang langsung menyebutku sebagai suaminya Rina.

Tapi tak apa si. Aku tetap bahagia sekali, karena aku jelas akan menerima panggilan seperti itu dengan sangat sepenuh hati.

Jadi, sebelum Rina bertanya lagi, aku langsung berkata seperti ini. "Tadi, udah kubayar, Rin. Jadi, sekarang, kita langsung pulang aja yuk," ajakku pada Rina, yang sampai saat ini masih saja memberikanku tatapan penuh tanda tanya.

Setelahnya, aku langsung menolehkan kepalaku ke arah Mba kasir yang masih setia menunggu kami bertiga. "Terimakasih ya, Mba."

Mba kasir tersebut tersenyum, lalu memberikan anggukan kepalanya padaku. "Iya, Mas. Sama-sama. Silakan datang kembali."

Aku pun segera menganggukkan kepalaku juga, "Siap, Mba."

Setelahnya, aku segera menunduk untuk melihat Elysia yang sejak tadi masih setia menggandeng tangan kananku dengan begitu eratnya. "Ayo, El. Kita pulang."

"Ayo," jawab Elysia dengan anggukan kepalanya.

Aku mengangkat kepalaku untuk bertemu tatap dengan Rina yang kini sedang menatap tajam ke arahku. Dan aku tahu, kalau Rina seperti itu, pasti karena dia sedang ingin protes kepadaku. Jadi aku hanya terkekeh melihat ekspresi Rina yang seperti itu.

"Ayo pulang, Rina," ajakku sambil berjalan bergandengan tangan bersama Elysia.

Kini, kami bertiga telah sampai di area parkir.

"Kok Mas Rezky yang bayarin?"

Tuh kan, benar. Rina memang sedang ingin protes sekarang.

Aku langsung tersenyum ke arah Rina, "Ya nggak papa, Rina. Kan tadi sekalian sama punyaku juga."

"Berarti, tadi, Mas Rezky alasan aja bilang mau nambah. Padahal, sebenarnya, Mas Rezky pergi ke depan karena mau bayarin punyaku sama El. Iya kan?"

Aku terkekeh pelan. Karena ternyata, kini, alibiku sudah langsung ketahuan.

Ya. Tadi, saat bubur ayam milikku sudah habis, aku beralasan pada Rina dengan mengatakan bahwa aku ingin pergi ke depan untuk memesan porsi kedua. Padahal sebenarnya, aku pergi karena ingin membayar tagihan kami bertiga. Karena kalau kubayar saat keluar kedai, maka pasti, Rina akan menolaknya. Atau malah justru Rina yang akan memaksa membayar tagihan makan kami bertiga.

"Udah, Rina. Nggak papa. Sekali-kali traktiran, mumpung kita bertiga lagi sarapan bareng kaya sekarang."

Rina malah mendengus padaku, "Ya udah. Berarti, lain kali, kalau kita ketemu lagi, giliran aku yang bayarin."

Aku langsung tertawa, "Astaga, Rina. Udah, nggak papa. Masa jadi dihitung-hitung kaya begitu si? Kalau pun nanti kita ketemu lagi, dan bisa makan bareng kaya pagi ini, maka tetap aku yang bakal bayarin makanan kita bertiga. Karena masa cowok yang dibayarin makan? Kan nggak lucu, Rina."

"Ya udah. Berarti, nanti, nggak usah makan bareng lagi. Kita bayar sendiri-sendiri aja."

Aku tertawa lagi, "Ya udah, berarti, nanti, aku paksa. Dan cari cara. Biar kita bertiga bisa makan bareng lagi kaya pagi ini. Ya nggak, El?" kataku sambil menundukkan kepalaku ke arah Elysia. Ingin mencari sekutu sekaligus dukungan dari putri cantiknya Rina.

"Apa, Om?" tanya Elysia bingung.

"Astaga. Anaknya Rina bikin aku gemas!" seruku dalam hati.

Dan lagi-lagi, aku tertawa. Tapi kini bukan karena Rina, melainkan karena putri cantiknya.

"El mau makan sama Om Eky lagi, nggak?" tanyaku.

Aku bahagia, karena ternyata, Elysia langsung memberikan anggukan kepalanya. "El mau, Om. Mau banget!"

Mendengar jawaban teramat semangat dari Elysia, aku langsung tersenyum puas ke arah Rina. "Tuh, Rin. El aja mau. Masa kamu nggak mau makan bareng lagi sama aku?"

Rina mendengus lagi padaku, "Pinter banget emang cari umpannya."

"Ya iya dong," jawabku sambil tertawa.

Rina mengulurkan tangan kanannya pada Elysia, "El, ayo, pulang. Jangan lupa pamit dulu sama Om Rezky ya, sayang."

Elysia melepaskan genggaman dariku, dan langsung beralih menggandeng tangan Rina yang sejak tadi telah berdiri di hadapanku.

"El pulang dulu ya, Om. Nanti, kapan-kapan, kita main sama-sama lagi ya?"

Aku tersenyum semakin bahagia, lalu mengusap puncak kepala Elysia. "Siap, El. Nanti, kapan-kapan, Om Eky jemput ya?"

Elysia menganggukkan kepalanya padaku, tapi Rina justru langsung berseru. "Apa-apaan nih? Kok jadi bilang mau jemput?"

Tawa bahagiaku kembali mengudara, "Ya nggak papa, Rina. Kan ke depannya, kita nggak bakal tahu apa yang akan terjadi sama kita."

Rina memberikan tatapan menyelidiknya padaku. Dan aku juga jadi makin terkekeh karena itu.

"Mobilmu mana, Rin?" tanyaku untuk mengalihkan pandangan Rina.

"Hari ini, aku lagi naik motor, Mas."

"Loh? Tumben. Aku juga hari ini lagi naik motor. Rumahmu deket sini, Rin?"

Aku berharap sekali kalau jawabannya adalah iya. Tapi ternyata, Rina menggelengkan kepalanya. "Nggak, Mas. Tadi, habis dari pasar, sama sekalian cari kue basah sama El. Terus, mampir ke sini dulu sebelum pulang. Kalau rumah Mas Rezky, dekat sini?"

"Iya, Rin. Rumahku, dekat banget dari sini. Mau mampir?"

"Mungkin, lain kali ya, Mas."

"Iya loh. Beneran ya? Lain kalinya, beneran aku tunggu nih."

Rina terkekeh, lalu memberikan anggukan kepalanya lagi padaku. "Iya, Mas. InsyaAllah. Kalau ada kesempatan ya."

"Iya. Semoga secepatnya ya."

Dan Rina hanya tersenyum tanpa mau menimpali harapan yang tadi kuucapkan kepadanya.

"Ayo, El. Salim dulu sama Om Rezky. Sama bilang terimakasih Om tadi udah dibayarin," pesan Rina pada Elysia.

Elysia melepas genggaman dari Rina, lalu meraih tanganku dan mencium punggung tanganku dengan begitu lembutnya. "Terimakasih, Om Eky. Terimakasih, karena tadi, udah bayarin bubur ayamnya El sama Mama."

"Sama-sama, sayang," jawabku sambil memberikan usapan lembutku di pipi gembil Elysia.

"El pulang dulu ya, Om."

"Iya, El. Hati-hati ya. Dan sampai ketemu lagi."

"Pamit dulu ya, Mas. Assalamu'alaikum," kata Rina kemudian.

"Wa'alaikumsalam."

Rina dan Elysia berjalan bergandengan tangan sampai tiba di dekat motor matic berwarna merah muda. Dan pandanganku dengan sangat setia terus mengikuti bagaimana gerak-gerik mereka berdua. Mulai dari Rina yang memakaikan helm untuk Elysia, lalu kemudian untuk dirinya. Sampai akhirnya, Rina mulai menjalankan sepeda motornya untuk keluar dari kedai bubur ayam ini, dan meninggalkan aku yang sejak tadi selalu memperhatikannya.

"Calon istri dan anak masa depan," gumamku sambil terkekeh karena teringat lagi tentang ucapan Mba kasir yang tadi menyebutku sebagai suami Rina.

Bahagia sekali sarapan pagi ini.

Dan aku mau lagi!

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang