120. Wanita Dewasa

361 35 5
                                    

💙 Mas Rezky

Aku masih memberikan tatapan lekatku, seiring dengan degup jantung yang terus bertalu, karena menanti jawaban seperti apa yang akan Rina sampaikan padaku.

"Bukan nggak suka, Mas. Tapi gimana ya jelasinnya?"

Aku tetap diam.

Sabar menanti sampai Rina benar-benar selesai dengan semua ungkapan perasaannya.

Tak akan kupotong.

Sungguhan akan kudengarkan semuanya. Supaya aku bisa mengetahui dengan pasti bagaimana isi hati dan kemauan Rina.

"Aku bukannya sebel. Bukan nggak suka juga. Tapi hal-hal seperti itu, kaya udah nggak sesuai sama usia dan keadaanku sekarang, Mas. Dulu, mungkin, aku memang akan happy dan kegirangan waktu digodain sama pacar. Karena dulu, aku hanya gadis SMA yang belum ngerti apa-apa. Belum tahu beratnya dunia itu kaya apa. Sedangkan sekarang, mungkin pengalamanku belum terlalu banyak, tapi aku sudah bukan lagi gadis yang akan tergila-gila dengan pujian atau godaan seperti itu, Mas. Sedikit banyak, aku sudah tahu, kalau di dunia ini, bukan hanya ada senang sama tawa, tapi juga ada sedih dan tangisnya juga. Aku bukan lagi anak sekolah yang cuma mikirin kapan aku ulangan atau harus setor tugas. Tapi aku sudah jadi wanita dewasa yang menyandang status sebagai seorang istri dan juga Ibu untuk satu orang putri. Makanya aku merasa, kalau pandanganku soal hubungan dan gombalan laki-laki, juga jadi berubah, Mas. Kalau dulu, aku akan langsung berbunga-bunga. Tapi kalau sekarang, aku malah jadi merasa ada sesuatu yang gerak-gerak gelitikin perutku tiap kali ada orang dekatku yang mau coba goda aku. Geli gitu, Mas. Jadi bukan aku nggak suka. Hanya saja, mungkin, reaksi balasanku aja yang jadi berbeda."

Aku terpana untuk sesaat karena mendengar penjelasan panjang dari Rina.

Untuk sesaat, aku jadi teringat lagi pada Rina yang masih remaja. Seorang gadis SMA yang telah sangat berhasil membuatku jadi jatuh cinta karena keberanian orasinya.

Untuk sesaat, aku jadi teringat lagi, bahwa aku memang menyukai Rina karena pikiran luas, cerdas dan terbukanya.

Untuk sesaat, aku jadi teringat lagi, bahwa ketika bicara dengan Rina, aku memang tak boleh hanya siap dengan satu pikiran saja. Karena dengan Rina, jejak pendapat akan berlangsung lama dengan banyaknya argumen darinya.

Dan untuk sesaat, aku juga jadi tersadar, bahwa salah satu alasan aku bisa jatuh cinta dengan Rina, memang adalah karena ucapan jujur dan juga kepintarannya dalam menjelaskan apa keinginan dan pendapatnya.

Elsa Azarina Safira, selamat. Saat ini, kamu berhasil membuatku jatuh cinta lagi dengan ucapanmu yang walau pun terasa menyebalkan, tapi buat aku jadi makin sayang.

Sungguh.

Rina kembali menarik atensiku untuk memperhatikannya.

"Jadi, Mas. Aku mau bilang, aku bukannya nggak suka, sebel, atau risih setiap kali Mas coba godain aku. Hanya saja, mungkin, karena waktu kita bertemu sekarang berbeda saat aku ketemu Damar atau Mas Rama dulu. Makanya balasan dan reaksiku sama godaan Mas juga berbeda sama balasan yang aku kasih saat aku masih remaja dulu. Tapi aku cuma mau bilang, walau pun aku nggak pernah balas balik godaan Mas, Mas jelas tahu bagaimana perasaanku. Karena kalau aku nggak sayang sama Mas, nggak mungkin sekarang aku mau untuk jadi calon istrinya Mas."

Aku langsung tersenyum sumringah sekali, "Akhirnya, kamu bilang sayang juga sama Mas."

Rina langsung mendelik padaku, "Wah, kayaknya, aku dijebak nih."

Aku terkekeh pelan, "Nggak kok. Kamu nggak dijebak. Serius. Tadi, Mas memang sempat marah, sempat kecewa juga, karena kamu yang selalu terlihat sinis setiap kali nanggepin godaan dari Mas. Bahkan, kamu seperti nggak suka dan risih dengan perlakuan Mas. Tapi, setelah dengar penjelasan kamu tadi, sekarang, Mas paham dan jadi bisa lebih mengerti, kalau usia seseorang juga berpengaruh besar pada sikapnya dalam menjalani suatu hubungan. Mas jadi tahu sekarang. Jadi, Mas minta maaf ya. Maaf, kalau Mas jadi seperti memaksakan bagaimana bayangan pacaran pertama yang ada di pikiran Mas sama kamu. Maaf ya?"

Rina tersenyum lembut sekali, "Aku juga minta maaf ya, Mas. Maaf, kalau aku nggak bisa memenuhi bayangan manisnya Mas tentang pacar pertama. Maaf, kalau aku jadi menghancurkan semua ekspektasi indah Mas tentang hubungan kita."

Aku langsung menggelengkan kepalaku, "Kamu nggak menghancurkan apa pun, Rina. Justru, kamu bantu Mas untuk bisa bangun hubungan kita jadi lebih baik lagi. Kemarin, Mas sendiri yang bilang, kalau kamu nggak boleh ambil kesimpulan sendiri. Tapi sekarang, justru Mas juga yang bikin hati Mas jadi nggak enak karena kesimpulan sepihak dari Mas tanpa tanya dulu sama kamu. Jadi, maaf ya? Maafin Mas. Karena tadi, sempat berburuk sangka sama kamu, karena pikiran kalut Mas sendiri."

Rina mengangguk ke arahku. Manis sekali sampai langsung menghangatkan hatiku.

"Sama-sama, Mas. Aku juga minta maaf ya. Maaf, kalau kemarin aku sempat pergi dan jadi buat hati Mas sakit."

Aku tersenyum lega, lalu memberikan anggukan kepalaku untuk Rina.

Rina balas tersenyum lagi padaku, "Sekarang, kita jadi tahu ya, Mas. Kalau ngobrol berdua memang hal yang paling pas untuk menyelesaikan masalah di antara kita. Daripada menerka-nerka yang akhirnya malah bikin kita jadi salah paham kaya kemarin. Lebih baik, langsung tanya, supaya kita bisa jadi tahu apa titik pokok masalahnya. Biar kita bisa sama-sama paham dengan apa yang kita mau, dan apa yang sebenarnya kita pikirkan. Iya, kan?"

Aku langsung mengangguk tanda setuju dengan ucapan Rina.

Karena calon istriku memang benar-benar bisa untuk diajak bekerjasama.

Tak salah jika aku teguh sekali mempertahankan Rina jadi wanita pilihanku. Karena nyatanya, Rina memang sangat bisa untuk mengimbangi pikiran dan harapanku.

Rina membuatku berpikir realistis, bahwa suatu hubungan memang tak hanya sekedar tawa dan kata penuh cinta. Tapi hubungan juga bisa bertahan jika dua-duanya mau saling terbuka dan jujur menyampaikan apa pendapatnya. Dan bersama Rina, aku jadi tahu, kalau obrolan ringan seperti ini saja juga bisa membuat cinta bertumbuh semakin besar di antara kami berdua.

Rina, Mas sayang kamu!

Aku tersenyum menatap Rina, "Jadi, kita belajar sama-sama ya?"

Rina menganggukkan kepalanya, dengan senyum teduh yang masih terpatri indah di wajah cantiknya. "Iya, Mas."

"Masih tetap mau kan jadi istrinya Mas?"

Rina mengangguk lagi, "Tentu saja, Mas."

Aku tersenyum semakin lebar, "Terimakasih, Rina."

"Sama-sama, Mas Rezky."

Aku dan Rina sama-sama memundurkan tubuh kami untuk bersandar pada punggung sofa. Kami sama-sama terkekeh, mungkin merasa lucu, karena kami berdua seperti sedang kelelahan setelah selesai lomba lari estafet sebelumnya.

"Rina."

"Dalem, Mas."

"Dulu, kamu panggil mantan-mantanmu, apa?"

"Apa lagi nih? Kok jadi tanya-tanya soal mantan? Nanti Mas ngambek lagi kaya tadi?"

Astaga.

Aku yang sedang terlalu sensitif?

Atau memang Rina yang memang pandai sekali melemparkan tombak pertanyaan baliknya padaku?

Kenapa setiap obrolan hari ini jadi bisa selalu diisi dengan berbagi macam bentuk negosiasi?

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang