150. Bentuk Keyakinan

324 39 0
                                    

💙 Mas Rezky

Aku menyandarkan tubuhku di kursi mobilku, setelah selesai memarkirkan kendaraan roda empatku di halaman besar rumah Rina. Menarik napas perlahan, lalu menoleh ke arah kiriku, di mana calon istriku sedang tertunduk memandangi putri cantikku yang sejak tadi sudah tertidur lelap di dalam pelukan hangatnya.

Tiba-tiba, hatiku langsung mencelos saat melihat Rina sedang mengatupkan bibirnya kuat-kuat bahkan ia sampai menggigitnya.

Aku melepas sabuk pengamanku dengan gerakan yang cepat sekali, lalu segera mendekati Rina dan meletakkan satu lenganku di belakang kursi yang sejak tadi Rina tempati.

"Nana sedih?"

Rina diam saja. Tapi Rina semakin mengeratkan pelukannya pada Elysia.

"Nana mau nangis?"

Dan benar saja. Karena setelah aku menyelesaikan pertanyaanku, tangis Rina langsung pecah tanpa bisa ditahan lagi. Aku tahu kalau Rina adalah tipe perempuan yang sangat lembut. Rina mudah menangis. Apalagi saat Rina telah sangat disakiti seperti tadi.

"Nggak papa. Nggak papa, kalau Nana memang mau nangis sekarang. Nana bisa nangis. Supaya setelah ini, Nana bisa lebih lega lagi."

Rina benar-benar menangis. Rina tergugu. Kedua bahunya bergetar hebat. Walau isaknya tak terlalu keras, karena aku sadar kalau Rina pasti menahannya supaya tak sampai membangunkan tidur Elysia.

Tanganku terkepal kuat di belakang kepala kursi yang Rina duduki. Ingin sekali aku memeluk Rina, menenangkannya, atau minimal memberikan dadaku sebagai tempat untuk Rina bersandar, tapi aku masih ingat batasan yang tak boleh aku lewati saat ini.

Rina masih menangis tersedu-sedu. Dan aku langsung mengangkat wajahku, untuk mencoba menahan air mata yang juga sudah sangat ingin merangsek keluar dari kedua sudut mataku. Karena Rina yang menangis benar-benar menjadi kelemahan terbesarku, setelah Ibu.

Setelah hampir 30 menit berlalu, akhirnya tangis Rina mulai mereda. Walau masih terlihat sangat jelas jejak-jejak air mata di kedua pelupuk matanya. Juga warna merah sembab yang kentara sekali di wajah cantiknya. Tapi aku bisa bernapas sedikit lega, karena setidaknya, Rina sudah berhasil mengeluarkan sesak yang ada di dalam hatinya.

Aku mengulurkan satu kotak tisu ke arah Rina, yang langsung ditanggapi dengan sangat baik oleh calon istriku tercinta. "Terimakasih, Mas," ucap Rina pelan sekali masih dengan sisa isak tangis dari bilah bibirnya.

Aku masih memiringkan tubuhku di kursi kemudi supaya bisa melihat wajah Rina.

"Maafin Mas ya, Na. Maaf, karena Mas nggak bisa jaga Nana, sampai akhirnya Nana jadi dengar kata-kata yang sangat menyakitkan seperti tadi."

Rina menundukkan wajahnya.

"Maafin teman-teman kuliah Mas ya, Na? Maaf, karena lagi-lagi, tadi, Mas nggak bisa jaga Nana di sana," ucapku sungguh-sungguh. Aku benar-benar sangat menyesal karena telah membuat Rina mendengar kata-kata yang begitu tega seperti tadi. Apalagi teman-temanku sendiri yang telah mengatakan itu semua. Jadi aku sungguhan sangat menyesal dan merasa sakit hati atas semua itu.

Rina menolehkan wajahnya padaku.

Dan hatiku semakin sakit seperti teriris, karena kini aku bisa melihat dengan sangat jelas bagaimana sembab dan bengkaknya wajah Rina karena menangis.

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang