22. Ketahuan

2.7K 352 66
                                    

💙 Mas Rezky

Saat ini, aku sedang berada di resto seafood milikku, Sari Laut. Tepatnya, di dalam ruang kerjaku. Mengecek laporan kegiatan TK Nuansa di Taman Pintar Jogja yang diadakan dua hari yang lalu.

Alhamdulillah, semua berkas laporannya sudah lengkap. Dan siap untuk kukirimkan pada Bu Wulan.

Baru saja aku ingin menghubungi Bu Wulan, tapi pintu ruang kerjaku sudah diketuk oleh seseorang.

"Mas Rezky, ini Satrio."

"Iya, Yo. Masuk aja."

Setelah kuberi izin, Satrio langsung masuk ke dalam ruanganku. Dan dari sini, aku bisa melihat Satrio masuk dengan membawa beberapa map di tangannya, lalu segera mendudukkan dirinya di hadapanku.

"Mas, ini, foto-foto Nuansa waktu kegiatan di Jogja kemarin," tunjuk Satrio pada satu map mika berwarna biru yang cukup tebal.

Aku langsung mengangguk tanda mengerti, "Oke."

"Kalau yang ini, proposal yang mau kita kirim ke dinas pertanian. Coba Mas Rezky cek dulu. Barang kali, ada yang kurang, jadi bisa cepat aku revisi lagi," tunjuk Satrio pada satu map merah yang ia ulurkan tepat di hadapanku saat ini.

"Pak Widi, udah hubungi kamu lagi?"

Satrio langsung mengangguk ke arahku, "Udah, Mas. Beliau bilang, kalau katanya, proposalnya, langsung dikirim aja. Terus, masih kata Pak Widi, tim kita cuma handle masalah transportasi sama makan buat di sana aja. Kalau kegiatan dan teknis acara selama di sana, katanya, nanti, mereka sendiri yang bakal urus untuk pelaksanaannya."

"Oke kalau gitu. Nanti, langsung aku cek."

Aku langsung membuka map merah yang tadi Satrio bawa. Proposal yang akan dikirim ke Dinas Pertanian. Karena mereka memang memesan bus dari biro perjalananku untuk kegiatan piknik akhir tahun. Tujuannya kali ini, mereka memilih kota Malang.

Sebenarnya, Pak Widi sudah beberapa kali menjadi pelangganku sejak dulu beliau masih bekerja di DLLAJ, sampai sekarang beliau pindah tugas di Dinas Pertanian. Alhamdulillah, silaturahmi dan kerjasama baik di antara kami bisa terus berlanjut sampai saat ini.

Memang ya, menjaga komunikasi dan memberikan fasilitas sebaik mungkin adalah kunci utama hubungan antara pemilik usaha dan pelanggan bisa terus bertahan lama. Dan semoga, ke depannya nanti, akan ada Pak Widi dan Bu Wulan lainnya yang puas dan berlangganan menggunakan biro perjalananku.

Aamiin.

Aku langsung mengangkat wajahku, saat menyadari bahwa ternyata Satrio masih betah duduk di hadapanku.

"Loh? Kenapa kamu masih ada di sini, Yo?"

Satrio menggaruk tengkuknya salah tingkah, "Iya, Mas."

"Kenapa? Ada yang mau kamu tanyain sama aku?" tembakku. Karena kalau gelagatnya sudah terlihat seperti ini, maka berarti, Satrio sedang kepo dengan sesuatu.

"Ketahuan ya, Mas?"

Aku langsung memberikan anggukan kepalaku. "Banget. Jadi? Kamu mau tanya apa?"

"Ehm. Aku mau tanya. Tapi Mas Rezky jangan marah ya?"

"Oke. Marah, urusan belakangan. Paling, kalau pertanyaanmu emang nyebelin, ya gampang hukumannya, uang makanmu langsung kupotong nanti. Beres, kan?"

Satrio langsung mendelik kepadaku. "Kok gitu?"

Aku tertawa melihat gelagat Satrio yang sepertinya tak terima dengan ancaman hukuman yang mungkin saja akan kuberikan padanya.

"Apa? Emangnya, kamu mau tanya apa si? Repot banget harus negosiasi dulu kaya gini."

"Tapi uang makanku jangan dipotong ya, Mas. Nanti aku nggak bisa ajak jalan Silvi lagi dong kalau uangnya pas-pasan."

"Nggak modal banget ih. Masa, ajak cewek jalan, harus nunggu uang makan?"

"Aku masih babu, Mas. Belum jadi bos kaya Mas Rezky. Kalau aku udah jadi bos, baru deh, nanti, aku nggak usah pusingin uang mana yang mau buat bayar kos, buat kirim ke Ibu, dan mana yang buat pacaran."

"Makanya, fokus aja buat membahagiakan Ibumu dulu, Yo. Nggak usah kegatelan pengin pacarin cewek sana-sini."

"Eh, gini-gini, aku setia ya, Mas. Pacarku cuma satu."

"Iya, satu. Tapi kalau putus, gantinya, bisa langsung cepet banget."

Tawaku meledek Satrio.

Sedangkan Satrio jelas kembali memberikan delikan matanya padaku. "Ini aku yang mau tanya-tanya, kok malah jadi Mas Rezky yang ngeledekin aku?"

Aku menghentikan tawaku, "Oke, oke. Ndang cepet, kamu pengin tanya apa sebenarnya?"

Satrio terlihat menarik napasnya secara perlahan. "Tapi janji ya, Mas. Mas Rezky jangan marah sama aku."

Aku menganggukkan kepalaku, meski sebenarnya aku tak mau. "Iya deh. Sak bahagiamu."

Setelah memastikan bahwa aku benar-benar akan setuju, akhirnya Satrio mengajukan pertanyaan seriusnya padaku.

"Mas Rezky masih patah hati?"

Aku menatap Satrio dengan pandangan bingung, "Kok kamu jadi tanya kaya gitu?"

"Tinggal jawab dulu aja, Mas. Baru nanti, kasih penjelasan lengkapnya kaya gimana. Mas Rezky masih patah hati, nggak?"

Aku menghela napas cukup panjang, sebelum akhirnya mau menjawab pertanyaan yang sedang Satrio ajukan. "Masih."

"Mas Rezky suka sama Bu Rina ya? Mamanya Elysia?"

Mendengar penuturan Satrio yang sangat tiba-tiba, aku langsung tersentak kaget karenanya. Bahkan mungkin, sekarang, mataku yang sebenarnya tak terlalu besar, bisa berubah jadi belo karena keduanya telah membulat dengan begitu sempurna.

"Lihat reaksi Mas Rezky yang kaya gini, berarti, dugaanku memang benar. Kalau Mas Rezky, memang suka sama Mamanya El," ucap Satrio lagi, sambil menyenderkan tubuhnya di punggung kursi yang ia tempati.

Aku langsung berusaha sekuat tenaga untuk mengatur ekspresi wajahku supaya bisa tenang kembali. Tapi sepertinya, tak berhasil. Sia-sia. Karena sekarang ini, jantungku justru jadi berdetak cepat sekali.

"Mas Rezky nggak mau kasih sanggahan?"

Aku diam saja. Sampai Satrio yang kembali melanjutkan tuntutan pertanyaannya.

"Berarti, memang benar tebakan aku, kalau Mas Rezky suka sama Bu Rina. Iya, kan?"

Aku menghela napas untuk yang ke sekian kalinya. Bahkan sekarang, benar-benar jadi lebih panjang dari sebelumnya.

Karena apa saat ini aku harus menjelaskan perasaan besar yang sedang kurasakan?

Tapi kenapa Satrio yang pertama kali mengetahuinya?

Satrio yang terlalu cerdik?

Atau memang aku yang teramat bodoh sampai tak bisa menyembunyikan patah hati?

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang