98. Ungkapan Kepedihan

416 55 2
                                    

❤ Rina

Aku memasuki kamarku dan langsung menidurkan Elysia di tempat tidur.

Kupandangi wajah putri kecilku yang masih terlelap dalam tidurnya. Kuusap pelan pipinya, dan seketika ingatanku kembali pada waktu siang tadi saat Elysia menangis keras karena ingin bertemu dengan Mas Rezky Pramurindra.

"Maafin Mama ya, El."

Aku merasa sangat bersalah pada putriku.

Sungguh.

Aku teramat menyesal karena telah membuat Elysia jadi menangis sampai seperti itu.

Tapi ini semua di luar kuasaku.

Aku juga merindukan Mas Rezky, sungguh.

Aku juga sangat ingin bertemu dengannya. Tapi sayangnya, kenyataan saat ini tak memperbolehkan aku untuk melakukannya.

Aku sama dengan Elysia, karena aku juga sangat ingin bisa bertemu dengan Mas Rezky Pramurindra. Tapi aku takut melakukannya. Aku khawatir luar biasa, kalau aku memaksakan keinginanku untuk bertemu dengan Mas Rezky dan menerima lamarannya, aku cemas jika nanti aku akan berubah menjadi wanita egois yang berani melupakan kenyataan bahwa Ibunya Mas Rezky tak setuju dengan keberadaanku jika aku tetap bersama putra bungsunya. Ibunya Mas Rezky tak setuju jika putranya menikahi seorang janda yang sudah mempunyai anak satu sepertiku, karena aku memang telah memiliki seorang putri bernama Elysia.

Aku menumpukan wajahku di lengan kecil Elysia. Karena ingatanku yang seketika kembali teringat dengan bagaimana ekspresi gelisah dan kacau yang tadi diperlihatkan oleh Mas Rezky Pramurindra.

Menahan rasa nyeri teramat hebat yang sedang menjalar dengan sangat cepat di dalam dadaku saat ini, aku jadi bergumam di dalam hati. "Mas, asal kamu tahu, aku juga sama kacaunya dengan kamu sekarang. Karena aku juga kangen kamu, Mas."

"Dan sekali lagi, aku menyerah, Mas. Karena mungkin, memang tak ada bagian kisah untuk kita berdua," gumamku, sambil menahan isak tangis yang sudah sangat ingin untuk menyembul keluar dari dadaku.

Dan ya, sekali lagi aku menyerah dengan perasaan besar yang kupunya.

Aku menyerah pada waktu yang rasanya memang terasa sangat sulit dan tak bisa dipaksa.

Aku menyerah pada rasa yang sepertinya memang tak akan mendapatkan kesempatan untuk bisa mendekat dan bersama.

Aku menyerah pada hati dan pilihanku.

Aku menyerah, karena nyatanya, aku memang tak sekuat itu untuk tetap bisa bertahan jika memaksakan perasaanku.

Aku menyerah, karena walau sepertinya telah ada kesempatan, tapi kenyataan kembali menyadarkan diriku, bahwa keadaan kami saat ini memang tak mudah, lebih tak mungkin, dan lebih sulit untuk diterima walau mungkin kami berdua sama-sama ingin bersama.

Aku menyerah sekali lagi.

Dan itu masih dengan orang yang sama, Rezky Pramurindra.

Dulu, aku menyerah, karena terlalu takut untuk bertanya. Dulu, aku menyerah, karena hatiku tak sabar lagi menanti dia merasakan hal yang sama. Dulu, aku menyerah, karena kupikir tak mungkin dia menatap ke arahku yang hanya seorang gadis dari keluarga biasa. Dulu, aku menyerah, karena aku tak bisa lagi menahan sakit melihatnya tertawa ketika bukan aku yang sedang bersama dengannya. Dulu, aku menyerah, karena tak bisa lagi menahan rindu, dan menahan tanganku untuk menyapa ketika sedang berada sangat dekat dengannya. Dulu, aku menyerah, karena aku kira, aku telah jatuh cinta sendirian saja.

Dulu, aku menyerah, karena aku pikir, aku memang harus berhenti untuk berharap.

Dulu, aku menyerah, karena aku kira, hatinya juga telah memilih pada yang lainnya.

Walau dulu, aku tak tahu apakah yang kupikir dan kurasa itu benar atau tidak.

Yang jelas, dulu, aku memang telah menyerah.

Dan kini, aku kembali menyerah disertai patah hati, lagi.

Bukan karena tak ada kesempatan di antara kami berdua. Tapi karena keadaan yang memaksaku untuk menolaknya. Karena keadaan yang tak memperbolehkan aku untuk menggenggam tangannya. Karena keadaan yang memerintahkan aku untuk bungkam dan pergi secara diam-diam supaya segera menjauh darinya.

Karena keadaan yang kembali menyadarkan aku, bahwa seorang Rina memang tak lagi bisa memilih dan menjawab sesuka hati seperti dulu. Karena keadaan yang kembali mengingatkan aku, bahwa walau pertanyaan itu telah datang padaku, tapi nyatanya jawaban iya yang telah ada di ujung lidahku, tetap tak bisa kukatakan padanya yang telah menunggu.

Karena keadaan yang kembali membuka kedua mataku, bahwa kini aku memang bukan lagi gadis 17 tahun yang baru mengenal cinta. Tapi kini, aku adalah Rina, seorang wanita 25 tahun yang telah menjadi seorang janda.

"Aku juga kangen kamu, Mas."

Dan aku semakin menangis dengan suara teramat terbata, ketika ada satu tangan kecil yang kini ikut mengusap ujung mataku yang telah basah karena air mata.

"Mama jangan nangis."

Aku memeluk tubuh Elysia tanpa mau untuk mengangkat wajahku. Karena aku tak mau kalau putri kecilku sampai melihat keadaanku yang rapuh dan lemah seperti ini sebab rasa pedih yang sedang kurasakan di dalam hatiku.

"Maafin Mama ya, El. Maafin Mama ya, sayang."

Hanya kalimat tersebut yang bisa kukatakan berulang kali. Karena saat ini, rasa bersalah memang sedang menyerangku sampai bertubi-tubi.

Elysia membalas pelukanku. Bahkan kini, putri kecilku juga kembali menangis bersamaku.

"Mama jangan nangis."

Elysia.

Putri tercintanya Mama.

Mama minta maaf karena telah menjauhkanmu dari seseorang yang sudah sangat kamu harapkan untuk bisa menjadi Ayahmu. Maaf karena Mama menghancurkan harapan besarmu. Karena ternyata, kondisi Mama saat ini membuat Mama tak bisa lagi bebas memilih dan menentukan seperti dulu.

Aku semakin mengeratkan pelukanku pada Elysia. Dan saling mengungkapkan rasa sedih dan kecewa kami berdua.

Aku kembali berucap beruntun di dalam hatiku.

"Mas, apa pun yang terjadi ke depannya, aku harap, kamu tetap dan akan selalu bahagia dengan apa pun pilihanmu."

"Aku menyerah, Mas."

"Bukan karena aku tak memilihmu, tapi karena keadaan yang memaksaku untuk tak menerima pinangan darimu."

"Mas, jika ada kesempatan untuk bisa mengatakannya secara langsung padamu, aku hanya ingin bilang, kalau aku dan putriku, sungguh sangat menyayangimu."

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang