30. Masa Lalu

2.7K 379 76
                                    

💙 Mas Rezky

Beberapa anak anggota OSIS sudah mulai berdatangan di restoku.

Ada Jelita, Sofia, Vivi, Mareta, Iqbal, Lutfan, Bagus, Topan dan juga Sigit. Ditambah aku dan Ardi, yang memang sudah di sini sejak pagi.

"Sing arep meng ngene, jere, sapa maning?" tanya Bagus.

(Yang mau datang ke sini, katanya, siapa lagi?)

Sigit yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba, jadi langsung mengangkat wajahnya. "Damar dela maning tekan." (Damar sebentar lagi sampai)

"Loh? Damar juga nang Semarang? Deneng ora mangkat bareng ko sisan?" tanya Iqbal.

(Loh? Damar juga di Semarang? Kenapa nggak berangkat bareng kamu sekalian?)

"Mau wis tak ajak bareng. Tapi jere jam kantore urung bisa metu. Ya wis, bocahe tak tinggal." terang Sigit.

(Tadi udah kuajak buat berangkat bareng. Tapi katanya jam kantornya belum bisa untuk keluar. Jadi ya sudah, anaknya kutinggal)

Iqbal mengangguk mantap sekali, "Sing wadon, ora ana tambahan maning?" tanyanya lagi.

(Yang perempuan, nggak ada tambahan lagi?)

"Rina sama Gita, ikut kok. Tadi kutelepon sebelum aku berangkat ke sini. Katanya, Rina mau jemput Gita dulu," jelas Jelita.

Mendengar nama Rina disebutkan, hatiku tiba-tiba jadi berdesir tak karuan. Memang ya, ternyata, efek kejut dari seorang Rina memang masih sangat luar biasa besar untuk kondisi jantungku setiap kali berhadapan tentangnya.

"Awet banget ya mereka berdua. Masih bisa terus bareng sampai sekarang," kata Sofia.

"Iya, Mba. Rina sama Gita memang masih sahabatan sampai sekarang." kata Jelita lagi.

Tiba-tiba, Damar datang dan langsung menepuk bahu Sigit.

"Woy, cuy. Akhire tekan," kata Sigit balas menepuk lengan Damar.

(Woy, Cuy. Akhirnya sampai juga)

Damar tersenyum, lalu menyalami kami semua yang sudah ada di sini. Setelahnya, Damar langsung mendudukkan dirinya di sebelah Sigit. Karena mereka berdua memang terhitung cukup dekat semasa mereka SMA dulu.

Memang ya, pertemanan semasa SMA adalah salah satu lingkup yang bisa bertahan lama.

Dengan kedatangan Damar, aku jadi merasa semakin berkecil hati. Karena di sini, memang hanya aku satu-satunya orang yang tak mengetahui bahwa suami Rina telah tiada.

"Cie, nanti, ada yang bakal ketemu sama mantan terindah nih. Kira-kira, bakal balikan lagi nggak ya?" kata Vivi dengan kekehan bahagianya.

"Jangan ngawur, Vi. Udah lama banget itu. Lagian, aku nggak berani," ucap Damar menimpali.

"Ngapa ora wani?" tanya Lutfan.

(Kenapa nggak berani?)

"Almarhum suaminya Rina, itu bapak kapolres. Jadi jelas kalau aku kalah telak. Rina udah kelas ibu pejabat sekarang, pasti nggak bakal mau balik lagi sama aku yang gajinya aja baru masuk kelas lebih banyak dikit dari UMR," ucap Damar lemas.

Jawaban Damar sangat berhasil membuat hatiku jadi langsung tercubit.

Mas Rama, memang membuat nyali pria yang ingin mendekati Rina jadi ciut seketika. Walau Mas Rama telah tiada, tapi pengaruhnya, wibawanya sebagai suami Rina masih terkenang sampai sekarang, bahkan untuk orang-orang yang baru saja mengenalnya.

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang