148. Bahan Pembicaraan

312 37 4
                                    

💙 Mas Rezky

Setelah memastikan bahwa Rina dan Elysia sudah masuk ke kamar Siska dan bayinya, aku langsung menarik napas sebanyak-banyaknya. Sedang mengumpulkan kekuatan dan kesabaran, bahwa semoga saja setelah ini aku bisa menyelesaikan masalah yang ada tanpa menimbulkan keributan.

Aku memutar tubuhku, dan segera melangkahkan kedua kakiku dengan sangat mantap menuju orang-orang yang tadi telah tega menyakiti hati calon istriku.

Aku telah sampai di hadapan mereka.

Orang-orang yang saat ini jadi terlihat sangat menyebalkan di mataku, yang sayangnya mereka adalah teman seangkatanku, bahkan satu kelas denganku saat aku masih kuliah dulu.

Mereka yang tadinya sedang berbisik-bisik, langsung menegakan tubuh mereka dan tersenyum padaku. Senyum yang bukan membuatku jadi merasa senang, tapi justru membuatku jadi menahan amarah yang sebenarnya sudah sangat ingin untuk kukeluarkan dari dalam dadaku.

"Hai, Ky."

"Hai, Jef," jawabku pada Jefri, orang yang sangat kukenal suaranya. Dan dia adalah orang yang tadi paling banyak berbicara dan menghina tentang Rina.

"Baru sampai?" tanya Linda, salah satu teman kuliahku juga.

Aku mendecih dengan sangat sengaja. Karena kentara sekali kalau saat ini mereka sedang berpura-pura. Padahal mereka jelas-jelas sudah pasti tahu kalau aku bahkan sudah lebih dulu tiba di sini daripada mereka.

"Aku udah dari tadi ada di sini. Dan kukira, kalian pasti nggak mungkin pangling sama aku sampai nggak sadar kalau sejak tadi aku udah ada di dekat kalian."

Mereka semua langsung gelagapan. Empat orang yang sejak tadi telah berbicara buruk tentang calon istri yang paling kusayang, kini tiba-tiba jadi berubah pucat pasi setelah menyadari bahwa nada bicaraku terdengar sangat tidak menyenangkan.

Aku menatap lekat pada Jefri yang saat ini sedang meminum segelas jus di tangan kanannya.

"Jef, gimana persiapan pernikahanmu? Lancar?"

Jefri tersenyum senang, walau kutahu kalau senyum itu terlihat sangat dipaksakan. "Lancar, Ky. Tunggu aja. Nanti, aku pasti kirim undangannya buat kamu."

Aku terkekeh sinis, "Selamat kalau begitu. Tapi sepertinya, setelah ini, kamu harus cari tempat lain untuk acara kenaikan jabatanmu."

Jefri terlihat langsung terkejut dengan ucapanku, "Apa maksudmu, Ky?"

"Kamu harus cari tempat lain. Karena aku jelas tak akan mau untuk memberikan tempat pada orang yang telah berani menghina calon istriku."

Jefri langsung meletakkan gelas yang tadi ia pegang di atas meja dengan gerakan cepat sekali, "Sepertinya, di sini, kamu lagi salah paham, Ky."

Aku mendecih lagi, "Oh, jelas nggak. Jangan berani mendikte apalagi coba membenarkan ketika kalian memang sudah melakukan kesalahan. Aku nggak lagi salah paham, Jef. Karena sejak tadi, aku memang jelas-jelas dengar obrolan kalian yang sudah sangat berani menghina calon istriku."

Empat orang itu langsung saling pandang dalam diam.

"Jadi, Jef. Silakan cari tempat lain. Karena restoku bukan tempat untuk orang yang gampang sekali mendikte seperti kamu."

Jefri langsung bergerak cepat untuk mendekatiku, "Tapi aku udah bayar, Ky. Jadi kamu nggak bisa dong seenaknya batalin pesananku."

"Nggak ada perjanjian di antara kita, yang isinya nggak bolehin aku buat batalin. Jadi silakan, kamu cari tempat yang lain."

"Tapi nanti, kamu pasti bakalan rugi, kalau kamu beneran mau batalin acaraku, Ky. Karena aku pesan banyak loh di restomu."

Aku terkekeh sinis menatap Jefri.

Jefri sedang tersenyum puas, karena mungkin dia mengira kalau aku yang akan kalah. Tapi kujamin, kalau setelah ini, aku yang akan membuat Jefri langsung bungkam dan jadi menghela napas dengan sangat pasrah. Dan segera bisa sadar kalau Jefri yang telah berbuat salah.

"Bukan aku yang bakalan rugi, Jef. Tapi kamu. Aku nggak mungkin bakal rugi kalau cuma batalin satu acara kecil dari kamu, karena aku jelas masih punya banyak pelanggan lain yang lebih baik dari kamu."

Jefri masih tersenyum pongah ke arahku, "Oh ya? Tapi aku nggak yakin kalau mereka bisa pesan lebih banyak dari aku."

Kupasang senyum paling sinis untuk Jefri, "Tentu saja, sangat bisa. Bahkan, kalau kamu mau tahu, aku bisa tunjukin ke kamu kalau mereka jelas sangat bisa pesan jauh lebih banyak dari kamu. Dan yang pasti, mereka nggak pernah maksa minta diskon kaya kamu, Jef. Dan aku juga bisa bilang, kalau pelangganku yang lain, selalu bayar kontan di muka. Langsung lunas. Bukan nyicil dua kali pembayaran kaya kamu. Bahkan nota dari kamu, juga belum lunas sampai sekarang."

Berhasil.

Jefri yang tadi dengan begitu sombongnya berani mengangkat dagu di hadapanku, kini langsung berubah pasi dan tak berani menatapku.

"Jadi, bukan aku yang akan rugi, Jef. Tapi kamu. Kamu yang jelas bakalan rugi. Karena kujamin, kalau kamu nggak akan mungkin bisa menemukan restoran lain yang bisa kasih harga semurah itu untuk banyaknya pesanan yang kamu minta."

Jefri terlihat gelisah sekali. Dan bisa kutebak, kalau sekarang, Jefri pasti sedang menahan malu setelah semua keangkuhannya tadi.

"Kamu yang jelas akan sangat rugi, Jef. Awalnya, aku bisa kasih diskon sebanyak itu buat kamu, karena kukira, kita memang teman baik semasa kuliah. Tapi ternyata, aku salah besar. Kamu bukan teman, tapi kamu hanya seorang penjilat yang menjual ludah supaya bisa dapat keuntungan."

Jefri makin terlihat ciut karena peringatan keras yang kusampaikan.

"Jadi, silakan, kamu cari tempat lain untuk acaramu. Bukannya kamu bilang, kalau acara itu untuk syukuran kenaikan jabatanmu, Jef? Jadi kukira, kamu pasti nggak akan pusing untuk cari kekurangan biayanya."

Jefri mendekatiku lagi, dengan ekspresi penuh kepura-puraan yang membuatku ingin sekali melayangkan tinjuan teramat keras di bagian wajah menjengkelkannya ini.

"Kita bisa obrolin baik-baik soal ini, Ky. Dan kuyakin, kalau hal ini cuma salah paham aja. Ya?"

"Harusnya, itu yang kamu bilang sama diri kamu sendiri, Jef. Pikirkan baik-baik, sebelum tadi, kamu berani untuk menghina orang lain."

Jefri langsung gelagapan, "Tapi aku udah bayar lunas, Ky. Jadi aku nggak akan pernah mau batalin acaraku di tempatmu."

Aku langsung tertawa pelan, "Sepertinya, kamu salah besar, Jef. Kamu sedang amnesia? Berlagak lupa ingatan? Atau sekarang, kamu memang sedang mencoba untuk tetap bisa menjaga gengsimu di depan teman-teman kamu? Iya?"

Aku menatap tiga orang yang sejak tadi hanya diam tanpa berani menimpali obrolanku dan Jefri.

Aku menatap tajam pada Jefri, "Kamu belum bayar lunas, Jef. Bahkan, setelah aku udah kasih banyak sekali diskon buat kamu. Kamu minta pembayarannya dicicil sampai sebanyak 2 kali, dan sudah aku perbolehkan. Tapi kamu baru bayar sekali. Dan kalau kamu lupa, aku jelas udah kasih kwitansi pembayarannya sama kamu. Aku juga masih simpan bukti transfer dari kamu, dan itu memang belum lunas. Jadi, sekarang, kamu nggak perlu mengelak lagi, Jef. Karena aku tetap nggak akan mau untuk menyediakan tempat buat orang yang sudah berani menghina calon istriku. Dan kamu tenang aja, Jef. Uang kecil yang udah kamu transfer, akan langsung aku kirim balik ke rekening kamu. Karena isi saldoku, jelas sudah sangat lebih banyak dari itu."

Aku langsung beralih menatap Linda tanpa mau menunggu jawaban apa yang akan Jefri berikan.

Kini, Linda sedang meremat kuat kedua tangannya. Mungkin Linda mulai ketakutan, karena dia pasti sudah sadar kalau aku tahu dirinya juga salah satu orang yang sejak tadi lantang sekali untuk ikut menghina Rina.

"Linda," panggilku pelan padanya.

Dan panggilanku langsung membuat Linda gemetar luar biasa.

Tapi aku tak peduli.

Entah itu perempuan atau laki-laki, tapi siapa saja yang telah berani dan lancang sekali menyakiti calon istri yang sangat kucintai, maka mereka harus bersiap untuk mendapatkan balasan setimpal yang akan kuberikan tanpa ada belas kasihan lagi.

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang