LAST MEET

1K 59 0
                                        

Velicia membuka matanya ketika alarm berbunyi. Kepalanya sedikit pening. Mungkin terlalu banyak menangis. Ia meraih beker di nakas dan mematikannya.

Ya. Ia selalu bangun pagi hari. Kebiasaan sedari kecil yang diajarkan orang tuanya. Seorang perempuan harus bangun sebelum matahari terbit. Itu kata ibunya.

Ia menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Sambil mengguyur tubuhnya di bawah shower ia teringat peristiwa semalam antara dirinya dan Pirentz.

Tiba-tiba dia meraih bathrobe dan keluar menuju walk in closet.
Ia baru ingat Pirentz akan pulang ke Boston hari ini.

Ia segera meraih kunci mobil dan berlari menuju lift. Tiba di basement dia langsung mengendarai mobil.

Dalam perjalanan Edgard meneleponnya.

"Morning Vel"sapa Edgard.

"Hai Ed".

"Bagaimana keadaanmu?".

"Aku baik-baik saja Ed. Maaf bisakah kau menelpon nanti aku sedang menyetir".

"Kau menyetir sepagi ini?".

"Ya, hari ini Pirentz pulang ke Boston. Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal".

"Baiklah. Hati-hati di jalan Vel".

Edgard memutuskan telponnya dan berpikir.

Apa Velicia berubah pikiran?Semalam ia terlihat sangat sedih. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?

Edgard segera  meraih kunci mobilnya dan menyusul Velicia ke bandara.

Velicia tiba di bandara dan segera berlari kecil menuju hanggar khusus untuk pesawat pribadi.

Ia tahu betul Pirentz tak pernah menggunakan pesawat komersial. Ia selalu bepergian dengan jet pribadinya untuk menghemat waktu dan tentu saja ia menginginkan privasi.

Ia sangat berharap bisa melihat Pirentz untuk terakhir kalinya sebelum mereka benar-benar berpisah.

Walaupun nanti ada kerjasama bisnis tapi semua tak akan lagi sama. Mereka akan menjadi orang asing satu sama lain.

Ia tiba di pintu akses menuju parkiran pesawat. Seorang sekuriti menghampirinya.

"Ada yang bisa saya bantu Miss?".

"Ya. Aku ingin tahu apakah Mr. Pirentz Ronalds telah ...".

"Vel?".

Sebuah suara memanggilnya.

Velicia menoleh dan mendapati Pirentz dan sekertarisnya menatapnya heran.

"Oh..hai Rentz".

"Apa yang kau lakukan disini ?"tanya Pirentz.

"Aku...aku hanya ingin melihatmu untuk terakhir kalinya".

Velicia menundukan kepalanya. Perasaan sedih menyeruak di hatinya.

"Bolehkah kalian meninggalkan kami sebentar?".

Ucap Pirentz pada Davina dan sekuriti.

"Ayo duduklah di sana".

Tunjuk Pirentz pada bangku panjang yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Thanks Vel sudah menemuiku di sini".

Velicia menggigit bibirnya kuat. Ia meremas kedua tangannya.

Pirentz meraih telapak tangannya dan menggenggamnya hangat.

"Hiduplah dengan bahagia mulai sekarang. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Kau tetap Velicia yang kuat yang pernah aku kenal".

Velicia hanya mengangguk berulang kali. Ia tak bisa menahan air matanya lagi. Buliran bening itu berhamburan di wajahnya.

Pirentz mendesah dan menariknya dalam pelukannya.

"Jangan seperti ini Vel. Tolong jangan seperti ini".

Ia mengelus punggung kurus milik perempuan yang pernah dipujanya.

"Temukan kebahagiaanmu. Aku menyesal pernah memberimu luka. Tak ada satupun janji manisku yang aku tepati. Aku sungguh menjadi seorang pria egois. Maafkan aku. Jangan lagi ada airmata".

Pirentz menahan kepedihan hatinya. Bagaimanapun juga ia harus terlihat tegar dan dewasa di hadapan Velicia. Padahal jauh di dalam dirinya ia merasa seluruh tubuhnya remuk.

Semalaman ia tak bisa tidur. Bayangan Velicia yang menangis histeris memanggil namanya terus berputar di ingatannya.

Setelah merasa lebih baik dalam pelukan Pirentz ,Velicia mengurai pelukan mereka. Ia menangkup kedua rahang tegas Pirentz dan menatapnya lama.

"Berjanjilah untuk tetap bahagia tanpa diriku. Maafkan semua kesalahanku di masa lalu ataupun kemarin. Hiduplah dengan baik Rentz".

Pirentz mengangguk. Ia melihat arlojinya.

"Aku sudah harus berangkat sekarang".

Pirentz berdiri diikuti Velicia.

Suara langkah kaki Edgard menghampiri mereka.

"Ternyata kalian disini"sapa Edgard.

"Hai bro".

Pirentz membalas.

Pirentz memandang Velicia sebentar.

"Tunggulah di sini. Aku akan bicara sebentar dengan Edgard".

Velicia mengangguk.

Edgard berjalan mengikuti Pirentz yang berdiri di belakang pilar.

"Ed. Aku titip Velicia".

Edgard kaget.

"Kenapa harus aku?".

"Karena hanya kau temannya saat ini selain Adrian".

Pirentz merogoh saku celananya dan mengeluarkan kotak bludru biru. Ia menyodorkan pada Edgard.

"Tolong berikan ini pada siapapun pria yang akan dipilih Velicia".

"Kenapa?".

"Karena aku ingin cincin ini dipakai Velicia seumur hidupnya. Hanya ini pemberianku untuknya. Jika aku memberikan ini padanya sekarang ia akan menolaknya".

"Baiklah Rentz. Aku mengerti".

Edgard menerima kotak itu. Ia tahu betul itu adalah cincin yang dimenangkan dalam lelang beberapa hari lalu.

Ternyata Pirentz menawar dengan harga tertinggi untuk memberikannya pada Velicia.

Setelah itu keduanya kembali menghampiri Velicia.

"Aku harus berangkat sekarang"kata Pirentz tegas.

Ia menatap Velicia dan tersenyum.

"Jaga dirimu. Jangan bekerja terlalu keras".

Setelah itu ia berbalik dan berjalan menuju pesawat yang telah menunggunya. Velicia menatap punggung Pirentz yang mulai menjauh.

"Rentz".

Panggilnya serak sambil melambaikan tangannya.
Pirentz tak berbalik.

"Rentz".

Velicia setengah berteriak.

Tetap sama.

Pirentz tak menoleh sama sekali hingga kakinya menapaki tangga pesawat.

Pirentz membiarkan air matanya jatuh. Setiap langkah kakinya menuju tangga pesawat bagaikan tusukan beribu jarum.

Seluruh jiwanya porak poranda. Betapa tidak akhirnya semuanya menjadi jelas. Penantian untuk mendapat kesempatan kedua dari Velicia pupus sudah selamanya.

Hanya kamu satu-satunya yang aku inginkan Vel. Tak akan pernah ada yang bisa menggantikanmu di hatiku. Selamanya hanya dirimu.

Pesawat segera lepas landas. Pirentz masih melihat Velicia yang berdiri di pintu masuk hanggar. Ia menempelkan telapak tangannya di kaca jendela.

Goodbye Vel. I love you. I miss you forever.

Pirentz memejamkan matanya. Inilah perpisahan yang sesungguhnya.

Siapapun tak akan pernah menginginkan perpisahan tapi jika tak ada jalan untuk kembali maka inilah pilihan terakhir.

***

NOT SAME (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang