STAY OR LEAVE

401 23 0
                                    

Tiba di penthouse Velicia , Pirentz menolak untuk masuk  ke dalam. Velicia menawarkan segelas kopi tapi ia tetap menolak. Ia beralasan harus segera ke kantor karena Davina sudah menunggunya.

"Ayolah Rentz, setidaknya masuklah sebentar" paksa Velicia.

"No Vel... Aku akan mampir sebelum berangkat ke Boston" balas Pirentz.

Wajah Velicia cemberut tapi ia berusaha memahami keinginan Pirentz. Apalagi ia tahu Pirentz telah mengorbankan pekerjaannya begitu lama hanya untuk menemaninya di Swiss.

"Baiklah. Kabari aku jika kemari. Aku pun akan bersiap untuk ke kantor" jawab Velicia mengalah.

"Maaf aku tak bisa mengantarmu" tambah Pirentz.

"Its okay Rentz. Adrian dalam perjalanan".

" Kalau begitu aku pamit ya".

Velicia hanya mengangguk. Kemudian Pirentz berbalik dan melangkah.

Keharuan tiba-tiba melanda Velicia. Entahlah, dia merasa bahwa ada yang berbeda di antara mereka. Bahkan kepalanya sedikit berdenyut sekarang. Pikirannya menerawang.

"Rentz... " panggil Velicia saat Pirentz hampir mencapai lift.

Pirentz menghentikan langkahnya dan menoleh. Dengan refleks ia berlari mendekati Velicia dan memeluknya erat. Matanya berkaca-kaca.

Jika Velicia dengan perasaannya bingung, maka lain hal dengan Pirentz. Ia paham betul apa yang sedang terjadi di antara mereka.

Kebersamaan mereka beberapa hari di Swiss bahkan Grindelwald menjadi cerita indah sekaligus pilu. Pirentz harus berpura-pura bahagia agar Velicia cepat pulih dan mendapatkan sebagian memorinya lagi. Ini sangat menyesakan hatinya.

Velicia mengurai pelukannya  lalu menangkup pipi Pirentz.
"Terima kasih untuk segalanya. Untuk cintamu".

Pirentz menatapnya lalu menunduk untuk menciumnya. Ia melumat bibir Velicia lembut.

Velicia mendesah dan meremas ujung kemeja Pirentz. Keduanya larut dalam ciuman yang begitu emosional. Belum pernah mereka berciuman dengan gairah seperti ini. Walaupun di masa lalu.

Inilah ciuman pertama yang sangat lama dan dalam. Entah kenapa, tapi Velicia merasa ciuman ini adalah ciuman terakhir mereka. Dan ia membiarkan perasaan itu mengalir dalam ciuman itu.

Lift berdenting.
Edgard melangkah keluar dan pandangannya terpaku pada pintu apartemen Velicia. Ia langsung berbalik dan menggigit bibirnya dengan keras. Hatinya terasa sakit.

Baru saja ia menekan tombol lift. Dentingan lift di sampingnya berbunyi. Kali ini  Adrian yang datang.

Edgard langsung masuk ke dalam lift tanpa bicara apapun. Adrian tahu apa yang terjadi. Karena ia juga melihat Velicia dan Pirentz sedang berciuman.

"Kau bisa memilih untuk tinggal atau pergi. Percayalah ini bukan seperti yang kau pikirkan" ucap Adrian saat pintu lift hampir tertutup. Edgard hanya menatapnya dalam diam. Adrian melihat sorot kecewa di matanya.

Ia memilih menyandarkan tubuhnya di dinding lift. Kedua kakinya gemetar. Bahkan deru napasnya bergemuruh hebat. Rasanya ingin berteriak atau menonjok seseorang sekarang.

Semalam Adrian menelponnya dan mengabarinya kalau hari ini Velicia tiba di New York. Makanya ia memutuskan untuk mampir di Penthouse Velicia untuk menyapanya sebelum berangkat ke kantor. Ia merindukan gadis itu.

Sebenarnya mudah saja baginya untuk menemui Velicia, tapi ia ingin memberikan kesempatan agar keduanya menyelesaikan apa yang tertunda di masa lalu. Dan ia berpikir jika Velicia sudah kembali hari ini, maka segalanya sudah selesai.

Ia menarik napas dan mendesah pelan lalu keluar dari lift dan berjalan menuju mobilnya. Ia bertekad untuk mengontrol dirinya.

Apapun hubungan Pirentz dan Velicia sekarang, itu adalah hak Velicia untuk memilih.

Dengan perlahan mobilnya meninggalkan basemen dan melaju menuju Rayyan's Techno kantornya. Sepanjang perjalanan ia mendesah dan menyugar rambutnya. Bayangan Pirentz dan Velicia yang berciuman tak mau hilang dari ingatannya. Ia lalu  menelepon sekertarisnya untuk membawakan sebotol wine untuknya.

Adrian berdehem untuk menyapa Pirentz dan Velicia. Spontan keduanya sadar dan melepas ciuman mereka.

"Maaf, aku mengganggu. Oh ya, selamat datang kembali. Senang rasanya melihat kalian berdua baik-baik saja" sapa Adrian.

Wajah Pirentz memerah. Ia merasa seperti tertangkap basah.

"Aku merindukanmu Adrian. Terima kasih sudah setia di sampingku sampai saat ini" Velicia maju dan memeluknya  erat.

"Kau terlihat berbeda. Seperti terlahir kembali. Aku suka dirimu yang sekarang" balas Adrian. Velicia melepas pelukannya.

"Kau orang pertama yang aku lihat hari ini dan aku memang berpikir begitu. Benarkan Rentz? " balas Velicia dengan senyum mengembang.

"Benarkah? Tapi aku bertemu Edgard di sana " tunjuk Adrian pada lift di ujung lorong.

Degggg!!!!!
Jantung Pirentz seakan berhenti berdetak. Mana mungkin ia tak menyadari kehadiran Edgard. Masalah baru akan timbul sekarang.

"Kalau begitu aku permisi sekarang. Aku harus ke kantor. Adrian, aku mengembalikan bosmu dengan utuh" ucap Pirentz sambil menepuk bahu Adrian.

Tanpa menunggu jawaban Adrian ia tergesa-gesa menuju lift untuk turun. Ia ingin mengejar Edgard dan menjelaskan segalanya.

Tidak! Tidak!
Ini tidak benar. Edgard tidak boleh salah paham. Ini hanyalah ciuman perpisahan untuk selamanya. Ya. Hanya itu...

Tiba di basemen ia tak menemukan mobil lain selain mobilnya. Ia tahu Edgard sudah pergi.

Sambil mengemudi ia meraih ponselnya dan mendial nomor Edgard. Masuk tapi tak di jawab. Berulang kali ia melakukan panggilan tapi sama saja.

Ia memukul stirnya dengan kesal. Ia memaki dirinya sendiri karena tidak bisa mengontrol keinginannya tadi. Ia memutuskan untuk menemui Edgard di kantornya.

Sementara itu, Adrian sedang menjelaskan seluruh perkembangan pekerjaan di kantor kepada Velicia.

Walaupun sedang bersiap, tapi Velicia mendengarkan segalanya dengan cermat sambil bertanya sesekali jika di rasa ada yang kurang pas.

Setelah itu keduanya turun ke basemen untuk mengambil mobil dan berangkat ke kantor.

"Aku merindukan Edgard" ucap Velicia perlahan. Hatinya menghangat saat menyebut nama Edgard. Ia tersenyum pada Adrian.

"Selama kau tak ada, ia selalu cemas menunggu kabar darimu. Setiap hari ia akan menghubungiku untuk tahu kabarmu" Adrian menarik napas sejenak.

"Aku sangat merindukannya. Entahlah, tapi aku memutuskan untuk tidak mengaktifkan ponselku. Aku benar-benar menikmati waktu istirahat setelah bertahun-tahun tenggelam dalam pekerjaan. Aku menikmatinya Adrian" pandangan Velicia jauh ke depan. Seakan berusaha kembali ke Grindelwald.

"Yang penting kau sudah baik-baik saja sekarang. Kalau bisa temui Edgard agar... Ah ! Lupakan saja" Adrian mengutuk dirinya sendiri.

"Tidak. Aku  memang akan menemuinya nanti. Aku benar-benar merindukannya" jawab Velicia.

Adrian hanya tersenyum dan kemudian fokus menyetir.

Apa yang akan dijelaskan oleh Velicia nanti atas apa yang dilihat Edgard tadi. Adrian menarik napas berat dan memutuskan untuk menghubungi Edgard nanti. Ia harus memaksa Edgard agar memahami kondisi Velicia saat ini.

Apapun yang terjadi. Ia tahu seseorang diantara mereka harus terluka dan mundur dari kehidupan Velicia.

Dan orang itu harusnya adalah
Pirentz.

***

NOT SAME (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang