Hari-hari pemulihan Velicia berjalan baik. Waktu seakan berpihak pada Pirentz. Sejauh ini segala perkembangan Velicia menunjukan hasil positif.
Setiap selesai kontrol dan dokter menyampaikan kabar baik, Velicia sangat senang. Bahkan ia berharap ingatannya cepat pulih agar ia bisa mengingat Pirentz.
Di lain sisi, Pirentz sangat gelisah. Ia tahu betul jika ingatan Velicia benar-benar pulih seperti sebelumnya maka binar mata Velicia saat ini pasti hilang. Digantikan tatapan sendu seperti sebelum operasi. Tatapan kesedihan.
"Apa yang kau pikirkan Rentz?" tanya Velicia. Mereka berada di mobil setelah melakukan kontrol di rumah sakit.
"Tidak ada Vel. Aku baik - baik saja" jawab Pirentz sambil menyetir.
Velicia membelai rambut Pirentz dan menatapnya lembut.
"Kau bisa mengatakan apapun padaku. Kau tahu Rentz, aku pendengar yang baik".
" Aku baik-baik saja sayang. Jangan khawatir. Kau terlalu banyak berpikir Velicia".
Velicia tersenyum.
"Aku hanya ingin kau tak menyembunyikan apapun dariku. Berbagilah denganku Rentz, entah itu tawa atau tangis. Aku ingin kita melewati segalanya bersama. Berpegangan tangan penuh cinta" kata Velicia serius.
Pirentz menepikan mobilnya. Ia mengambil kedua tangan Velicia dan menggenggamnya erat. Entah apa yang harus dikatakannya.
Lidahnya begitu kelu. Otaknya tak mampu menyusun kalimat untuk membalas perkataan Velicia barusan. Ia menatap wajah Velicia tepat di matanya. Mencari kebenaran dari setiap kalimat tadi.
Tak ada kebohongan di sana. Tatapan Velicia padanya begitu jujur dan penuh cinta.
Rasanya Pirentz ingin menangis dan berteriak pada Tuhan. Tolong hentikan waktu untuknya disini.
Hatinya bahagia dan remuk di saat yang bersamaan. Refleks ia memeluk Velicia erat sekali. Ia mengeraskan rahangnya menahan air mata yang sudah bertumpuk di pelupuk matanya.
Tubuhnya bergetar. Ia berusaha mengendalikan dirinya di hadapan Velicia. Ia menyembunyikan kepalanya di bahu kecil yang tertutup rambut yang harum. Berkali - kali ia menghirup aroma rose dari tubuh Velicia. Itu begitu menenangkan hatinya.
"Apa kau yakin kau baik-baik saja Rentz?".
Velicia mengelus pundaknya lembut. Tak ada jawaban. Pirentz menggigit bibir bawahnya kuat.
Velicia bisa merasakan tubuh Pirentz bergetar dan napasnya di telinganya memburu.
"Rentz?".
Masih sama tak ada jawaban. Velicia memutuskan untuk membiarkan semua.
Tak lama kemudian Pirentz melepaskan pelukannya.
" Maafkan aku Vel"ucapnya menunduk.
"Apa kau merasa lebih baik sekarang?".
" Aku baik-baik saja Vel".
Pirentz mengambil ponselnya dan menghubungi Davina sekertarisnya di Boston.
"Tolong atur semuanya untukku sekarang. Aku akan memberitahumu detailnya melalui chat".
" Apa pekerjaanmu mengalami masalah?"tanya Velicia.
Pirentz menggeleng.
"Ayo, aku akan membawamu ke suatu tempat".
Mobil kembali melaju di jalan raya. Hati Pirentz menghangat memikirkan rencananya. Ia tampak tersenyum.
" Aku senang melihat senyummu Rentz".
Pirentz mengulurkan tangan dan membelai lembut pipi Velicia.
Mobil memasuki sebuah restoran yang terlihat seperti taman bunga. Banyak tanaman menghias area makan yang terbuka. Pembatas dinding yang terbuat dari kaca memberikan efek bebas bagi mata para pengunjung untuk menikmati aneka tanaman yang sedang bermekaran.
"Ternyata ada tempat sekeren ini" Velicia kagum.
Pirentz mengangguk dan menunjuk meja di sudut.
"Duduklah. Kau bisa melihat semua sisi dari sini". Pirentz menarik kursi dan Velicia duduk.
Sambil menunggu pesanan makanan, Pirentz mengetik sesuatu di ponselnya dan mengirimkannya pada Davina.
"Rentz mulai sekarang kau harus sering mengajakku kesini" pinta Velicia.
"Kalau begitu kita harus pindah kesini" balas Pirentz.
"Kau benar. Aku di New York dan kau di Boston. Pekerjaan kita juga tak sedikit" Velicia menarik napas berat.
"Kau juga benar dengan kalimatmu barusan" Pirentz tertawa kecil.
Wajah Velicia terlihat kesal.
"Jadi.... " goda Pirentz lagi.
"Terserah padamu. Tak ada yang lucu" ketus Velicia.
Pirentz masih tertawa melihat kelakuan Velicia.
"Hentikan Rentz".
" Ya...Ya".
Tapi ia masih tertawa melihat wajah cemberut Velicia.
Velicia berdiri dan menghampirinya. Ia meminta Pirentz berdiri. Tanpa bertanya Pirentz menuruti permintaannya.
Velicia melumat bibir Pirentz lembut. Pirentz tak menyangka sama sekali. Ia tak siap untuk ini dan ia tak tahu harus melakukan apa. Ia hanya terdiam melihat Velicia yang terus menciumnya sambil memejamkan mata.
Deheman pelayan restoran menyelamatkannya. Velicia melepaskan ciuman sepihaknya dan kembali duduk di kursinya.
Wajahnya memerah.
Setelah menyajikan hidangan mereka pelayan itu berbalik dan pergi.
"Vel... ".
"Jangan katakan apapun. Ayo makan, aku sangat lapar".
Tanpa menunggu respon Pirentz, Velicia langsung menyerbu aneka makanan yang tersaji di hadapannya. Ia sibuk sendiri. Pirentz tak bergerak. Ia hanya memperhatikan.
Velicia tak berani menatap Pirentz. Ia sangat malu dengan apa yang dilakukannya tadi. Apalagi Pirentz sama sekali tidak membalas ciumannya. Ia ingin tahu alasannya tapi ia malu.
Velicia mengunyah dengan cepat. Ia terus menambahkan apa saja pada piringnya agar ia terus sibuk mengunyah. Saat akan menambah lagi Pirentz menghentikan tangannya.
"Aku sangat menikmatinya Vel. Terima kasih. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu".
" Makanlah atau aku akan menghabiskan semuanya"kata Velicia tanpa menatap wajah Pirentz.
"Baiklah. Aku juga lapar".
Baru saja Pirentz ingin mengambil makanan ke piringnya Velicia terlebih dahulu melakukannya.
Ia memilih beberapa menu dan menaruhnya ke dalam piring Pirentz. Banyak hal berkecamuk di pikirannya tapi ia tak berani bicara. Ia takut Velicia akan salah paham.
Mereka makan dalam diam hingga selesai. Pirentz masih menunggu bill pembayaran. Velicia meminta untuk berjalan lebih dahulu ke mobil.
Setelah itu Pirentz menyusulnya. Velicia sudah bersandar di jok mobil dan memejamkan matanya. Jujur, ia masih bertanya mengapa Pirentz tak membalas ciumannya.
Ia bahkan berusaha mengingat apa selama ini mereka pernah atau sering berciuman seperti itu atau tidak. Memikirkan itu ia semakin kesal.
Pirentz yang mengemudi disampingnya merasa bersalah. Tapi ia tak tahu bagaimana mengatakan hal itu pada Velicia yang sedang menutup mata.
Mereka tiba di Royal , Velicia buru-buru turun tanpa menghiraukan Pirentz. Ia berjalan cepat menuju lift. Pirentz mengejarnya.
Setelah masuk ke dalam rumah Velicia berjalan menuju kamarnya. Pirentz mengikutinya dengan langkah lebar. Ia menghadang Velicia di depan pintu kamarnya.
Velicia mengangkat wajah untuk protes. Dan...
Pirentz langsung menangkup wajahnya dan melumat bibirnya rakus. Ciumannya menuntut dan dalam.
Velicia membalasnya perlahan. Ia meletakkan tangannya di pinggang Pirentz. Semua perasaan menyatu dalam ciuman mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT SAME (COMPLETE)
RomantikKehidupan masa lalu yang menyakitkan membuat Velicia mengambil keputusan untuk pergi. Ia melarikan diri ke New York untuk mencoba takdirnya sendiri. Meraba dalam gelap dan berjuang dengan menggertakan gigi. Sebuah keputusan mendadak tapi membawa per...
