Setelah dokter menyatakan Velicia sudah sehat total maka mereka diijinkan untuk keluar dari rumah sakit. Meskipun begitu Velicia tetap harus mengontrol ketat kesehatannya.
"Perubahan sekecil apapun tolong sampaikan pada kami sehingga pengobatan ini berjalan sempurna".
Ujar dokter sebelum melepas Pirentz dan Velicia pulang.
"Terima kasih dok. Aku pastikan itu. Dan Drew, aku berutang budi padamu".
Ucap Pirentz sambil menjabat tangan dokter kemudian memeluk sahabatnya Andrew.
"Kalau begitu berjanjilah padaku bahwa kau akan tetap bahagia. Apapun itu" balas Andrew.
"Tentu saja. Selama Velicia di sampingku. Pasti aku baik-baik saja".
Entah kenapa Pirentz merasa getir saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
Mereka berjalan menuju mobil. Velicia bergelayut manja di lengan kekar Pirentz. Pirentz tersenyum dan mengecup dahinya.
Seandainya semua ini benar pasti aku lelaki paling beruntung Vel..
Mobil melaju meninggalkan rumah sakit megah ini. Hari masih pukul 10 pagi tapi kesibukan para pencari uang sudah bertaburan di mana-mana.
Pirentz berhenti di sebuah kawasan apartemen elite.
Royal Suite Penthouse.
Velicia terpesona dengan kemewahan bangunan ini. Seorang pria memakai seragam hitam putih menghampiri mereka.
"Selamat datang tuan".
Sapa nya sambil membungkuk hormat. Kemudian menuju mobil dan mengambil beberapa barang.
Pirentz menggenggam tangan Velicia dan menuju lift.
Ting!!!
Lift berhenti di lantai teratas penthouse. Masih dengan posisi memegang tangan Velicia Pirentz meletakkan telapak tangan kirinya pada sensor di pintu.
Ruangan luas dan mewah dengan perabotan terbaik memanjakan mata setiap orang yang melihatnya. Sedangkan di dinding hanya ada satu lukisan monokrom seorang pria dan wanita yang berpelukan mesra dengan latar menara Eiffel.
Pirentz menuntun Velicia duduk di sofa empuk berwarna abu.
"Selamat datang sayang, buatlah dirimu nyaman".
Ucap Pirentz setengah berlutut di hadapan Velicia dan menatapnya sayang.
"Terima kasih Rentz. Ini luar biasa" balas Velicia.
"Aku menepati janjiku untuk membawamu ke sini".
Sekali lagi Pirentz memegang telapak tangan Velicia.
"Oh ya... Maafkan aku. Tidak bisa mengingat bagaimana aku memintanya padamu" kata Velicia kecewa.
Raut wajahnya terlihat muram.
"Itu tak penting. Intinya saat ini kita berdua di sini dan segalanya baik-baik saja".
Pirentz menggulung lengan kemejanya dan berjalan menuju dapur. Ia kembali dengan segelas jus ditangannya.
" Minumlah ini. Aku akan memasak sebentar. Jika kau bosan kau bisa istirahat di kamar".
Velicia menerima gelas jus dan langsung meminumnya sampai habis.
"Aku haus Rentz".Velicia tertawa kecil. Membuat Pirentz ingin memeluknya. Buru-buru ia menepis pikiran sesat itu lalu kembali ke dapur.
Ia akan mempersiapkan makan siang sehat untuk mereka berdua. Sebenarnya bisa saja di pesan atau menyewa seorang koki tapi ia memang sengaja ingin memanfaatkan momen langka ini.
Setidaknya, ketika ingatan Velicia benar-benar kembali maka ada sedikit momen indah yang akan dikenang sebelum ia kembali membenci Pirentz.
Pirentz terlalu bersemangat untuk membuat makanan kesukaan Velicia. Semangkuk sup hangat dan salad sayuran segar. Ia ingat betul kebiasaan Velicia di Boston.
Saat tengah mencuci peralatan masak sebuah tangan lembut menyelip di pinggangnya. Pirentz kaget tapi ia berusaha mengontrol dirinya.
Velicia memeluknya dari belakang. Ia bahkan merebahkan kepalanya di punggung Pirentz dan menghirup sebanyak mungkin aroma tubuh laki-laki di hadapannya.
Pirentz hendak melepaskan diri tapi Velicia menahan gerakannya.
"Tetaplah seperti ini Rentz. Sebentar saja".
Pirentz terpaku di tempatnya. Sudah 10 tahun lebih ia tak merasakan pelukan hangat ini. Rasa haru merebak di relung hatinya. Matanya berkaca-kaca.
Bagaimana bisa seperti ini Vel. Apa yang harus aku lakukan untuk mengembalikan masa indah itu. Aku...
" Rentz. Apa kau menangis?".
Tanya Velicia sambil melepas pelukannya. Ia berputar untuk melihat wajah Pirentz.
Pirentz tak bergeming. Ia berusaha menyembunyikan perasaan rapuhnya.
"Look at me Rentz. Apa kau lelah?" tanya Velicia lagi.
Pirentz tak tahan lagi ia refleks berbalik dan memeluk Velicia erat.
"Jangan berubah Vel. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku takut kehilanganmu. Aku tak bisa hidup tanpamu" ucap Pirentz dengan terbata.
Ia merasa dunia di sekitarnya tak memiliki oksigen.
Velicia menepuk punggungnya lembut."Hei... Aku disini Rentz. Aku mencintaimu seperti dirimu mencintaiku. Aku tidak akan kemana-mana. Kita akan selalu ada untuk satu sama lain. Jadi, tolong buang jauh-jauh pikiran buruk mu itu".
Mendengar perkataan Velicia hati Pirentz semakin hancur.
Ini berbeda Vel. Kau tidak tahu apa yang kau ucapkan. Jujur aku sangat takut kenyataan itu datang. Bahkan aku ingin waktu berhenti sekarang. Saat ini juga...
Pirentz menghirup udara sebanyak mungkin lalu menghembuskan nya perlahan. Ia merasa sedikit lebih baik sekarang.
"Ayo makan. Aku lapar".
Ajak Pirentz sambil meraih tangan Velicia dan berjalan menuju meja makan.
"Apa kau merasa lebih baik?" tanya Velicia.
Pirentz mengangguk dan tersenyum."Jangan menangis lagi. Entah kenapa hatiku terasa sakit saat melihatmu rapuh seperti tadi. Aku mencintaimu dan aku ingin kau bahagia di sampingku" lanjut Velicia.
"Terima kasih Vel. Aku merasa sangat beruntung dicintai oleh perempuan sebaik dirimu. Berjanjilah padaku, apapun yang terjadi besok dan lusa, kau akan tetap menjadi Velicia yang kuat dan baik-baik saja" balas Pirentz.
"Tentu saja Rentz. Aku wanita yang kuat. Lihat saja aku sudah bekerja keras dan memiliki impianku saat ini. Jadi jangan khawatirkan aku".
Velicia mengambil beberapa menu dan menaruhnya dalam piring keduanya bergantian.
" Ayo makan. Kita harus sehat dan kuat untuk mencapai semua yang kita inginkan".
Mereka makan dalam diam. Sesekali Pirentz mencuri tatapan pada perempuan cantik yang masih mengisi hatinya hingga saat ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT SAME (COMPLETE)
RomansaKehidupan masa lalu yang menyakitkan membuat Velicia mengambil keputusan untuk pergi. Ia melarikan diri ke New York untuk mencoba takdirnya sendiri. Meraba dalam gelap dan berjuang dengan menggertakan gigi. Sebuah keputusan mendadak tapi membawa per...