Sejak kecupan kecil yang Edgard berikan untuknya malam itu Velicia belum bertemu dengannya lagi. Ia sadar ia telah banyak menyita waktu Edgard. Ia ingin menelpon tapi ia ragu. Apalagi Edgard sama sekali tidak menelepon atau mengirim chat.
Mungkin Edgard juga ingin memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Dan orang-orang yang disayanginya. Aku tidak boleh egois dan aku bukan siapa-siapa untuknya...
Velicia menelan ludah getir. Benar. Sampai saat ini ia sendiri tahu hubungannya dan Edgard hanya sebatas teman jadi ia tak boleh merasa marah atau kesal jika tak ada kabar dari Edgard.
Kini ia memutuskan untuk kembali pada pola hidupnya yang dulu. Tenggelam dalam pekerjaan. Hanya itu yang membuatnya bisa mengalihkan pikiran dan perasaan yang menyakiti dirinya.
Pagi ini Velicia tiba di kantor lebih awal. Adrian yang baru saja tiba heran melihat boss-nya sudah berkutat dengan setumpuk kertas di meja kerjanya.
"Apa ada sesuatu yang mendesak?"tanya Adrian.
Velicia menggeleng dan masih terus menghadap kertas di hadapannya.
" Anda butuh sesuatu?".
"Hmm... Pastikan saja tidak ada orang yang masuk ke ruangan ku beberapa hari ini"jawab Velicia.
"Aku tak mengerti"balas Adrian.
" Aku harus fokus dengan dokumen-dokumen ini jadi kau yang akan menggantikan aku untuk beberapa hari ini".
Adrian hanya menatapnya bingung.
"Jangan tanya apa alasannya"lanjut Velicia.
" Baiklah. Aku akan kembali saat makan siang".
Adrian keluar dari ruangan Velicia.
Velicia mengangkat kepalanya sejenak dan menghembuskan napas berat.
Aku selalu baik-baik saja.
Ia melanjutkan pekerjaannya bahkan ponselnya ia matikan dengan sengaja. Ia sudah memutuskan untuk mengendalikan dirinya dari segalanya. Ia takut kejatuhan yang kedua akan lebih menghancurkan dirinya.
Setelah makan siang ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Entah jam berapa sekarang ia tidak tahu.
Tubuhnya begitu pegal dan kepalanya sedikit pusing tapi ia berusaha melawan. Tekadnya terlalu kuat melebihi rasa lelah di tubuhnya.
Ia berdiri dan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Lalu pandangannya tertuju pada jendela kaca di hadapannya yang menyuguhkan pemandangan malam kota New York.
Perlahan ia mendekati jendela dan memandang kelap kelip lampu di bawah sana.
Ia mengingat kembali seluruh proses kehidupan yang telah dilaluinya. Tekadnya semakin kuat. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tetaplah wanita yang kuat. Ia tak boleh lemah hanya karena ingin mendapat perhatian dari seorang laki-laki.
Velicia mengambil coat dan tasnya lalu berjalan keluar.
"Aku kira Anda akan menginap di kantor".
Sapa Adrian begitu melihat Velicia keluar.
" Ayo pulang"sahut Velicia pendek.
Tanpa menunggu jawaban Adrian ia segera berjalan menuju lift. Adrian berlari kecil mengejarnya.
Tiba di lobby mobilnya sudah menunggu.
"Mulai sekarang aku akan menyetir sendiri".
" Tapi kupikir... ".
" Jangan cemas. Aku baik-baik saja Adrian. Ayo".
"Hati-hati di jalan. Hubungi aku jika kau butuh sesuatu".
Ucap Adrian saat Velicia menutup pintu mobil.
Mobil melaju kencang di jalan raya. Velicia merasa kepalanya berdenyut-denyut. Ia mengeraskan rahangnya menahan sakit di kepalanya. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan membeli roti isi dan capuccino.
Setelah itu ia mengemudi menuju taman favoritnya. Ya. Sebuah taman bunga rose di tengah kota, selalu menjadi tempat pelarian di kala pikiran mumet dan hati terasa kosong.
Ia duduk di bangku panjang. Mengangkat kedua kakinya ke atas dan menekuk lutut hingga dagu. Rasanya ingin menangis dan berteriak. Ia begitu lelah, jiwa raga. Ia menggigit bibirnya kuat, matanya berkaca-kaca. Tatapannya jauh...
Ia mengambil roti isi dan mulai menggigitnya perlahan. Sambil mengunyah memorinya membawa ia kembali pada rentetan cerita beberapa waktu lalu.
Air matanya perlahan bergulir. Ia membiarkannya saja. Bahkan ia terus mengunyah sebanyak yang bisa ditampung mulut kecilnya.
Pada akhirnya hanya ada aku seorang. Semua orang punya kehidupan masing-masing. Dan aku masih disini dengan air mata dan kesepian... Aku hanya menginginkan seseorang di sisiku bersama tawaku di siang hari dan air mataku di malam hari...
Hanya itu...
Hanya itu...
Kenapa terasa begitu sulit untukku???Velicia menyeka air matanya. Ia mengambil gelas capuccino dan menyeruputnya lama. Ia menarik napas berat berulang-ulang.
Malam semakin larut, udara dingin mulai menyengat kulit. Perlahan ia bangkit dan berjalan ke mobil dengan lesu. Kepalanya berdenyut kencang. Ia bahkan harus menarik rambutnya kuat untuk mengalihkan rasa sakit itu.
Dengan sempoyongan ia berhasil mencapai mobil dan masuk ke dalamnya. Ia memejamkan mata sebentar lalu mengeraskan rahangnya.
Aku baik-baik saja. Aku harus pulang.
Velicia menyalakan mobil dan meninggalkan area taman. Sepanjang jalan pulang ia merasa napasnya semakin sesak bahkan keringat dingin dan gemetar. Ia semakin ketakutan dan kesakitan. Ia memaksa dirinya untuk sadar sampai tiba di penthouse.
Saat mobil tiba di basemen ia segera keluar, pandangannya berkunang-kunang. Tapi ia tetap masuk ke lift.
Ting!!
Dentingan lift dan pintu terbuka. Dengan berpegangan disisi tembok ia berusaha mencapai pintu rumahnya. Telinganya berdengung kencang bahkan ia merasa mual sekarang.
Langkahnya semakin lambat, deru napasnya memburu bahkan ia merasa seluruh dunia berputar sekarang dan...
Brukkk!!!!
Velicia ambruk. Ia tak bisa menahan sakit yang menderanya... Dunianya gelap.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
NOT SAME (COMPLETE)
RomanceKehidupan masa lalu yang menyakitkan membuat Velicia mengambil keputusan untuk pergi. Ia melarikan diri ke New York untuk mencoba takdirnya sendiri. Meraba dalam gelap dan berjuang dengan menggertakan gigi. Sebuah keputusan mendadak tapi membawa per...