CARE

486 30 0
                                        

Pirentz berada di New York. Ada urusan pekerjaan. Berkali-kali ia menghubungi ponsel Velicia tapi nomornya tidak aktif. Ia menghubungi Adrian sekertaris Velicia dan kata Adrian Velicia sudah meninggalkan kantor pukul 9 malam.

Akhirnya Pirentz memutuskan untuk menemui Velicia di penthouse saja karena itu adalah satu-satunya tempat pasti keberadaan Velicia.

Setelah melewati keamanan di bawah ia naik lift menuju penthouse  Velicia. Berkali-kali membunyikan bel tapi tak ada sahutan. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu saja.

Ia hanya ingin bertemu Velicia untuk menjelaskan mengapa ia tak menemui Velicia saat meninggalkan Boston bersama Edgard beberapa waktu lalu.

Berkali-kali ia menengok arlojinya. Malam sudah larut dan Velicia masih belum pulang. Ada perasaan cemas di hatinya tapi ia menepis itu. Ia berpikir positif, mungkin Velicia punya acara lain.

Akhirnya ia memutuskan untuk tetap menunggu sampai Velicia pulang. Ia terpikir untuk menelpon Edgard dan menanyakan keberadaan Velicia tapi ia urungkan niatnya. Ia tidak ingin Edgard salah paham.

Malam semakin larut saat tiba-tiba dentingan lift mengalihkan pikirannya. Hatinya lega karena akhirnya Velicia pulang. Benar saja. Sosok perempuan yang sangat istimewa di hatinya keluar dari lift dan berjalan perlahan.

Pirentz tersenyum menatapnya tapi Velicia kelihatan acuh. Ia bahkan berjalan dengan lambat sambil berpegangan di sisi tembok rumahnya. Pirentz mengerutkan kening dan baru saja ia ingin menghampiri Velicia...

Brukkk!!!!

Velicia ambruk beberapa langkah darinya. Pirentz panik dan berlari ke arahnya. Ia berlutut dan meraih kepala Velicia dalam pelukannya.  Ia menepuk pipinya dan memanggil namanya. Tak ada jawaban.

Pirentz merogoh ponselnya dan menghubungi Davina. Ia meminta Davina menyiapkan dokter pribadi keluarga Ronald.

Ia memapah Velicia menuju lift dan membawanya ke mobil. Setelah menidurkan Velicia di jok belakang ia segera tancap gas menuju apartemennya.

Tiba di apartemen dokter telah menunggunya. Dokter segera memeriksa Velicia. Setelah itu ia bicara dengan Pirentz.

"Apa ia sering pingsan akhir-akhir ini?".

" Aku tidak tahu. Tapi ia memang punya diagnosa tentang sesuatu"jawab Pirentz.

"Kalau memang begitu, maka jangan menunggu lagi. Kini ia ada di level bahaya. Nyawanya sangat terancam. Aku bahkan tak bisa memastikan ia bisa siuman atau tidak".

" Apa maksudmu dok?"tanya Pirentz.

"Dia tak baik-baik saja. Lakukan tindakan segera atau ia akan mati".

Pirentz menegang mendengar ucapan dokter. Ia mengambil ponsel dan menghubungi anak buahnya untuk menyiapkan penerbangan.

" Tolong, berikan obat penenang atau apapun yang bisa membuat dia bertahan dalam penerbangan"pinta Pirentz dengan suara getir.

Dokter mengangguk lalu menelpon asistennya untuk menyiapkan apa yang diminta Pirentz.

Pirentz memapah tubuh Velicia yang masih diinfus dan membawanya ke helipad yang ada di atas. Ya. Mereka akan ke bandara.

Sepanjang perjalanan Pirentz terus memeluk Velicia erat. Ia sangat takut.

Tiba di bandara tepatnya hanggar, ia segera turun dan menggendong Velicia menuju jetnya yang sudah disiapkan. Beberapa anak buahnya terlihat heran tapi tak bertanya.

Pirentz membaringkan Velicia di kamarnya. Ia mencium keningnya. Lalu memandangnya sebentar...

Aku akan pastikan kau baik-baik saja Vel...

Ia keluar dan mempersilahkan dokter dan asistennya bekerja. Ia meminta pramugari untuk membawakan anggur.

Pirentz mengambil ponselnya dan menghubungi Adrian. Ia menceritakan segalanya.

"Aku akan ke sana sekarang".

Adrian menutup teleponnya .

Tiba di hanggar, Pirentz telah menunggunya di sisi pesawat yang lain.

"Apa yang terjadi?"tanya Pirentz.

" Aku merasa hari ini ada yang aneh. Ia bahkan datang kantor lebih pagi. Lalu berkutat dengan pekerjaannya. Ia bahkan memintaku untuk menghandle semua urusan perusahaan. Ia mematikan ponselnya dan bahkan meninggalkan kantor lebih malam".

"Di mana Edgard?"tanya Pirentz lagi.

" Aku tak tahu. Bahkan aku belum melihatnya beberapa hari ini"jawab Adrian.

Pirentz menarik napas dan menatap Adrian lekat.

"Dengarkan aku. Keadaan Velicia tidak baik-baik saja. Waktu itu di Boston dia juga seperti ini. Dokter menyarankan agar segera dioperasi. Jadi aku mohon.... ".

Pirentz berlutut di hadapan Adrian. Adrian sangat terkejut.

"Ijinkan aku untuk membawanya supaya ia sembuh. Karena aku yang paling bertanggung jawab atas apa yang dialaminya saat ini, kumohon ".

" Oh, ayolah. Kau bisa berdiri dan kita bisa bicara".

Adrian menarik tangannya.

"Ya. Tolong lakukan yang terbaik untuknya. Aku tak bisa melihat perempuan baik hati itu mengalami sesuatu yang buruk. Asal kau tahu saja, aku percaya padamu Rentz".

" Terima kasih Adrian. Tapi tolong rahasiakan ini dari semua orang terutama dewan direksi dan media. Aku akan memikirkan alasan yang tepat".

Pirentz menepuk bahu Adrian.

"Jangan khawatir. Aku akan mengurus semuanya. Berjanjilah padaku bahwa Velicia akan pulang dengan senyum dan kebahagiaan"pinta Adrian.

" Tentu saja. Aku akan menjaganya dengan nyawaku sendiri".

Pirentz menarik napas lega. Ia dan Adrian berpelukan.

Kemudian keduanya berjalan menuju tangga dan naik ke atas pesawat. Mereka menuju kamar pribadi Pirentz tempat Velicia dan dokter yang menanganinya.

"Kebetulan kau datang. Semua telah siap"ucap dokter.

Pirentz menatap Velicia yang sudah berganti pakaian. Lalu tiang infus, tabung oksigen dan layar monitor di samping tempat tidurnya.

"Tak perlu khawatir. Selama penerbangan ia akan baik-baik saja. Aku jamin itu"lanjut dokter.

" Terima kasih banyak. Aku berutang budi padamu".

"Ini sudah tugasku. Semoga segalanya berakhir baik. Aku pamit sekarang".

Dokter menjabat tangan Pirentz lalu keluar.

Adrian mendekati ranjang dan memegang tangan Velicia.

"Kau wanita kuat. Cepatlah pulang, pekerjaanmu menumpuk".

Matanya berkaca-kaca.

"Kau tahu Rentz, kadang kita menangis untuk sesuatu tanpa alasan"lanjutnya.

Pirentz hanya mengangguk. Dalam hatinya ia bahkan ingin berteriak sekencang mungkin.

***

NOT SAME (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang