2.

8.5K 339 2
                                    

Hidup Maya hanya berkutat antara rumah dan rumah sakit tempatnya bekerja. Tak ada yang spesial tiap harinya. Sampai pada suatu ketika, ia harus bertemu dengan orang yang mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat.

Maya merupakan seorang dokter umum yang bekerja di salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya. Tidak hanya itu, ia juga membuka praktek dokter dirumahnya untuk membantu warga disekitar rumahnya. Ia punya alasan khusus mengapa ia tak melanjutkan kuliah dokter spesialis, Maya tak ingin terlalu sibuk seperti Papa nya, Pak Rohan yang merupakan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.

"Itu tadi pasien terakhir saya kan Sus?" Tanya Maya pada suster Inggit yang baru saja masuk ke dalam ruangan tempatnya bekerja.

Suster Inggit sudah membantunya melayani pasien sejak ia membuka prakteknya mandiri. Wanita yang berselisih umur dengannya lima tahun itu sudah dianggap Maya sebagai adiknya sendiri.

"Iya Dok, cuma ada tamu didepan mau ketemu Dokter" Jawab Suster Inggit sambil mulai mendekat "tamunya laki laki, Dok. Kayaknya orang penting deh kalau diliat dari pakaiannya" Imbuh Suster Inggit.

"Pasien bukan?"

Suster Inggit menggelengkan kepalanya sambil berkata "dia cuma mau ketemu Dokter"

"Saya gak ada janji sama siapa siapa Sus"

"Tapi dia mau ketemu Dokter. Saya suruh masuk aja ya Dok?"

Maya menghela nafasnya panjang. Mau tidak mau ia harus menerima tamu yang dimaksudkan oleh Suster Inggit agar ia bisa segera menutup tempat prakteknya dan beristirahat setelahnya "iya suruh masuk Sus"

Tak selang berapa lama, sesosok laki laki dengan perawakan tinggi masuk kedalam ruang praktek Maya. Maya tak heran kenapa Suster Inggit bisa menyebutnya orang penting, karena dilihat dari apa yang lelaki itu gunakan memang semua terkesan mahal dan mewah dan itu cukup bertolak belakang dengan keadaan pasien pasien yang ia tangani sebelumnya.

Bukan maksud membedakan strata sosial. Hanya saja menjadi dokter membuatnya tau bahwa tidak semua orang beruntung dalam hal finansial. Ada sebagian bahkan hampir semua pasien yang ia jumpai berkemampuan di strata menengah kebawah.

Dan sebagai seorang dokter Maya dituntut untuk menepati sumpah yang ia ikrarkan saat lulus dulu. Sumpah tidak akan membeda bedakan pasien tidak peduli dari kalangan manapun. Meski tak sedikit juga ia menjumpai orang orang dari kalangan atas.

"Silahkan duduk Pak, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Maya sesopan mungkin pada lelaki di hadapannya itu.

"Aditya Wisnu Wardhana" Ucap lelaki didepan Maya itu dengan pelan.

Mata Maya membola ketika ia mendengar nama yang lelaki itu sebutkan. Ia ingat nama yang lelaki ini sebutkan baru saja, merupakan nama yang Papa nya sodorkan untuk dijodohkan dengannya dan juga sebagai wasiat Mama nya, sebelum Mama nya menghembuskan nafas dua tahun lalu.

Saat itu dua tahun lalu, Mama nya harus dilarikan kerumah sakit untuk penanganan lebih lanjut kanker perut yang dialaminya. Dan sebagai anak satu satunya, Maya menjanjikan satu hal untuk dikabulkan apabila Mama nya bisa sembuh seperti sedia kala. Dan kata terakhir, sekaligus permintaan yang Mamanya mau adalah menikahkan putri semata wayang nya itu dengan anak sahabatnya bernama Aditya Wisnu Wardhana.

"Sus tolong bersihkan ruang depan dulu ya" Titah Maya pada Suster Inggit yang langsung dilaksanakan. Suster Inggit yang memang sudah bekerja lama dengan Maya, sudah paham akan maksud pengusiran secara halus yang Maya lakukan. Perempuan dengan jas putih itu menginginkan pembicaraan empat mata dengan tamu tak diundang nya ini.

Lelaki didepan Maya ini tersenyum kecil sambil mulai melipat kedua lengannya didepan dada "kamu tau bukan maksud kedatangan ku kemari" Kata Lelaki di hadapan Maya itu.

"Anda, Adit?" Tanya Maya menyelidik. Pasalnya walau ia dijodohkan dengan orang tuanya, Papa dan Mamanya tidak pernah menunjukkan foto atau gambar dari orang yang akan dijodohkan padanya. Itulah sebabnya Maya perlu mengetahui apakah benar lelaki di hadapan nya ini benar benar lelaki yang pernah orang tuanya maksud.

"Gak usah berlagak sok gak kenal. Kamu pasti ingat kan acara perjodohan kita"

"Semua sudah lewat"

"Dan karena itu Mamaku sakit" Ucap lelaki yang mengaku bernama Adit ini.

Maya memandang lelaki di hadapan ini dengan jengah. Ia bertanya tanya mengapa banyak sekali orang orang menggunakan nama orang tuanya untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan, termasuk lelaki di hadapannya ini "lalu? Anda mau saya berbuat apa? bertanggung jawab atas penyakit Mama anda atau anda mau saya memeriksa Mama anda begitu?"

"Tidak"

"Lalu?"

"Aku mau kita menikah"

Maya menegang sesaat sebelum akhirnya ia berlagak sok tidak terpengaruh dengan perkataan Adit "perjodohan kita sudah berakhir lama. Bahkan sebelum kita tau satu sama lain jadi tolong jangan dibahas lagi. Kalau tujuan anda datang kesini meminta saya memeriksa Mama anda, insyaallah akan saya setujui tapi untuk menikah mohon maaf saya tidak mau"

Adit menegakkan tubuhnya lalu mulai mendekat kearah Maya. Maya yang melihat tanda bahaya mencoba memundurkan kursinya kearah belakang, meski ia tau tidak ada jalan lain dibelakang nya "an-anda jangan macam macam, saya bisa teriak" Ucap Maya sedikit terbata.

"Hahahaha..." Adit tertawa terbahak bahak mendengar ocehan Maya, setelahnya ditatap nya wanita di hadapan nya itu dengan tatapan mengejek "kamu gak usah khawatir. Aku gak tertarik sama kamu"

Maya yang mendengar itu langsung menghembuskan nafas kelegaan. Apa yang ia pikirkan tentang lelaki dihadapannya tidak terjadi "bagus. Kalau begitu, anda tidak perlu menikahi saya"

"Urusan menikah kita bicaran nanti saja. Kamu mau kan memeriksa Mama ku?" Kata Adit mulai menjalankan taktik perangnya.

"Untuk sekarang mohon maaf, saya tidak bisa" Kelit Maya.

Adit yang tau bahwa Maya sengaja menghindarinya akhirnya menggunakan cara lain agar membawa Maya datang kerumah "sejak kapan dokter bisa menolak pasien? Apa kamu mau bertanggung jawab kalau Mama ku kenapa kenapa?"

"Kenapa harus saya?"

"Ya karena kamu yang dimau Mama ku. Mama ku gak mau diperiksa oleh siapapun, tidak peduli dokter terbagus sekali pun di kota ini"

Tak ada alasan lagi bagi Maya untuk menolak tawaran Adit guna memeriksa Ibunya. Sejujurnya hati kecil Maya sudah iba saat Adit membawa beliau dalam perdebatan kami, meski itu tidak bisa dibenarkan. Kilatan akan kesaksiannya saat Ibunya meninggal membuatnya cukup sensitif apabila menyangkut orang tua.

Dengan bermodal syarat membawa Suster Inggit ikut bersama mereka akhirnya malam itu juga Maya dan Adit bertolak ke rumah orang tua Adit.

"Assalamu'alaikum Ma... " Ucap Adit begitu memasuki kamar mewah berhiaskan warna warna emas dipadu warna merah hati.

Sautan jawaban langsung menggema dikamar tersebut "waalaikumsalam... Mas baru pulang? Sama siapa itu? Dokter lagi? Mama kan sudah bilang Mama gak papa, udah suruh pulang Dokternya. Kasian malam malam disuruh kesini" Ucap wanita paruh baya yang sedang berbaring tertutup selimut berwarna kemerah mudaan.

"Ehh... Mama kok ngajarin yang jelek sih sama anaknya. Gak boleh gitu dong sama tamu" Maya dibuat melongo tak percaya dengan interaksi kedua orang ini. Bukan karena ada yang aneh, hanya saja sikap dan tutur kata Adit berbanding terbalik dengan sikapnya saat tadi berkomunikasi dengan Maya.

"Tapi Mama gak mau Mas diperiksa lagi"

"Kenapa? Katanya mau liat Mas nikah"

"Nemuin Maya aja Mas gak bisa" Jawaban Ibu itu sungguh diluar prediksi Maya. Maya pikir, dulu ia hanya akan sekedar dijodohkan dengan Adit tidak lebih, tapi ternyata orang tua Adit mengenal Maya lebih dari yang ia tau, bahkan namanya saja dengan enteng beliau sebut saat bercakap dengan anaknya. Maya benar benar tak menyangka.

"Dokter gimana caranya menyembuhkan cerewetnya Mama ku ini?" Maya terkejut dari lamunannya, kemudian ia berjalan dengan pelan menuju ranjang yang super mewah dimana ada Ibu Adit tengah berbaring disana.

"Mas..." Rengek sang Ibu pada Adit.

"Assalamu'alaikum Bu, perkenalkan saya Maya"

.
.
.

06102022

Bukan Drama Korea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang