73

2.6K 209 14
                                    

Pak Andika meradang mendengar jawaban yang Adit berikan. Belum selesai dengan teka-teki akan Adam, kini nama lain kembali Adit sebut yaitu Hawa. Nama perempuan yang akhirnya ikut masuk dalam daftar pencarian Pak Andika guna memperjelas semuanya.
Namun orang tua laki-laki Adit itu tidak bisa hanya berhenti disitu, karena dari pengakuan Adit, ia memiliki tiga anak.

Tiga?
Iya, tiga.
Bayangkan bagaimana prosesnya apabila fakta yang Adit ucapkan itu benar adanya.

Adam, Hawa, dua nama yang Pak Andika sudah kantongi sebagai anak dari putra sulungnya, secara sadar Adit akui sebagai anaknya. Kemudian terbesit nama Arion dalam benak Pak Andika, namun beliau tidak bisa memastikan apakah anak ke tiga Adit itu merupakan anak angkat mereka dulu atau bukan, dan apabila bukan Arion yang Adit maksud sebagai anak ke tiganya, sudah bisa di pastikan hubungan Adit dan Maya bukan lagi sebagai mantan.

Terlebih beberapa kali bertemu dengan sahabat, Pak Hasan yang memang notabene ayah dari Maya, beliau sempat menceritakan Adit yang sering mengunjunginya meski hanya sebentar dalam satu dua tahun ini.
Benar adanya, fakta itu membuat sebagian hati Pak Andika menghangat karena dengan itu, beliau bisa mengatakan bahwa anaknya sudah berubah.
Akan tetapi, fakta itu pula saat ini membuat Pak Andika berpikir keras.

Apakah anak dan mantan menantunya itu sedang membohongi nya selama ini?
Adakah campur tangan Pak Hasan dalam hal ini?
Lalu apa keuntungan yang mereka dapatkan dari menutupi semua ini? Toh selama ini, meski sang istri, Bu Jihan belum bisa menerima Arion, beliau tetap memperlakukan Maya dengan baik, layaknya anak sendiri.

Ataukah yang paling sadis, Pak Andika masih menganggap Adit sama seperti dulu. Anak lelakinya itu hanya menutupi kesalahannya dengan berpura-pura baik di depan Pak Hasan agar Maya mau menerimanya kembali dan anak ketiga mereka hasil dari perselingkuhan yang Adit lakukan?

Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepala Pak Andika terus menerus. Terlebih beliau melihat sendiri bagaimana cara Adit memperlakukan Maya di depan matanya. Anaknya itu hampir tidak pernah melepas genggaman tangannya pada tangan Maya, memeluk mantan istrinya itu dengan erat dan tanpa penolakan apapun dari si empunya. Aneh bukan?

"Pak sudah, ini rumah sakit, jangan pakai kekerasan. Kita butuh disini" Ucapan Bagas yang menenangkan membuat Pak Andika akhirnya pasrah begitu Bagas menyeretnya dan mendudukkan di kursi di depan ruang operasi.

"Papa apa-apaan sih. Hampir saja Maya ikut terpukul"

"Diam kamu! Setelah ini kita bicara"

Adit dan Maya pun melakukan hal yang sama, mendudukkan diri mereka tak jauh dari tempat duduk Bagas dan Pak Andika. Mantan suami istri itu sedang menatap pintu besi yang tertutup di samping mereka. Di samping pintu itu ada layar besar yang menampilkan jadwal operasi yang sedang berlangsung dan nama Adam ada di layar itu.

Arrazka Adam Wardhana.

Nama indah yang Maya sematkan untuk Adam, memiliki arti 'anugerah atau rejeki'. Nama itu sengaja Maya berikan pada Adam sesuai dengan proses adanya bocah laki-laki itu. Berpasangan dengan nama Hawa yang memiliki arti 'kebaikan atau kebajikan'. Maka apabila kedua nama Adam dan Hawa di gabung, memiliki arti 'anugerah yang baik'.

Janin yang tak pernah terduga hadirnya, yang membuat Maya akhirnya merasakan menjadi seorang ibu seutuhnya. Bukan lagi ibu susu seperti sebelumnya saat ia merawat Arion tetapi ibu yang akan hamil, melahirkan dan menyusui darah dagingnya sendiri. Iya, Adam dan Hawa merupakan anugerah yang akhirnya membuat Maya melihat dunia dengan cara yang berbeda meski penuh luka.

Mengingat perjalanan kehamilannya sampai detik ini, kembali membuat mata Maya memanas. Air mata nya kembali bergulir tanpa bisa di cegah sedikitpun.

Keadaan Maya yang begitu lemah, membuat Adit tak punya pilihan lain selain kembali merengkuh tubuh kurus itu masuk kembali dalam pelukannya. Bukan tak turut bersedih, hanya saja Adit tak mungkin menunjukkan kesedihannya di depan Maya yang lebih membutuhkan dukungan dari sekitarnya. Perempuan itu terlalu lama sendiri sehingga ia tak punya seseorang yang bisa ia andalkan sewaktu waktu. Azwin memang bisa datang tapi untuk selalu ada jelas bukan ia orangnya "Tugas kita sekarang berdoa May. Jangan menangis lagi ya"

"Kamu gak akan ngerti perasaan ku"

"Aku ngerti, sangat ngerti bahkan, tapi aku gak mau nanti saat Kakak sadar, dia ngeliat Mami nya sekacau ini. Jadi udah ya, kita sekarang berdoa aja"

"Dia anak yang baik, Dit, yang gak pernah merepotkan aku sama sekali" Ucapan Maya itu membuat setitik air mata Adit terjatuh. Menyadari banyak hal yang sudah ia lewatkan karena kelalaiannya, kembali akhirnya membuat Adit menyesal. Belum sampai ia bisa menebus kesalahannya pada si kembar, Adit malah di hadapkan dengan kenyataan akan peristiwa ini.

"Iya, aku tau. Didikan mu memang terbaik May. Sudah ya, berhenti menangis" Tak sama dengan apa yang Adit ucapkan, lelaki itu sesekali masih membuang kasar air matanya yang membasahi pipi nya. Keadaannya tak jauh berbeda dengan Maya, meskipun coba Adit sembunyikan.

Tak selang berapa lama, suara bocah kecil memanggil Maya dengan lantang "Mami... Kakak... Hiks" Ucap Hawa sambil tergopoh.

Melihat Maya yang belum juga tenang membuat Adit lebih memilih melepas pelukannya dengan Maya, kemudian meraih Hawa untuk masuk ke dalam pelukannya menggantikan sang Ibu. Meski sedikit meronta karena Hawa ingin bersama Maya, pada akhirnya anak perempuan itu menyerah dan pasrah berada dalam kungkungan Adit "Adek mau Mami, Om. Lepas..."

"Sini Dit gak papa" Ucap Maya pelan sambil menghapus jejak air matanya. Meski Maya sudah meminta Hawa untuk mendekat padanya, Adit belum beranjak barang seincioun dari tempatnya berdiri. Ia tak ingin tangis Hawa semakin membuat keadaan Maya kacau.

"Pasti Kakak kenapa-kenapa kan? Makanya Mami nangis. Adek gak mau Kakak kenapa-kenapa... Huaaa" Hawa masih menangis dan meronta ingin di turunkan. Bagas dan Pak Andika hanya bisa menatap nanar ketiga manusia di dekat mereka tersebut, tanpa bisa membantu apapun selain mendoakan keselamatan Adam.

"Sttttsss... Enggak, Mami cuma khawatir sama Kakak kok. Kita duduk di sebelah Mami ya, tapi janji dulu Adek gak akan nangis lagi"

Mendengar tawaran Adit yang akan segera membawa dirinya mendekat pada sang Ibu, Hawa menganggukkan kepalanya semangat. Sikap anak kecil itu berubah menjadi terang begitu Adit mendudukkan dirinya dekat dengan Maya meski masih dalam dekapan sang ayah.

"Mami... Jangan nangis lagi"

"Adek yang nangis gitu loh" Kata Maya mencoba melucu.

Adanya Hawa di tempat penuh doa dan harapan ini, membuat Maya mau tidak mau harus memasang topengnya agar terlihat baik-baik saja meskipun ia paham betul Hawa bukan lah anak kecil yang bisa dengan mudah untuk di bohongi karena tanpa menjelaskan pun atau mengelak tidak menangis, itu tidak akan membuat Hawa percaya. Sembab di mata Maya sudah menunjukkan semuanya sedang tidak baik-baik saja.

"Adek mau Kakak, Adek mau Abang... Huaaa"

"Besok Abang datang ya, sekarang Adek diam dulu. Kita berdoa untuk keselamatan Kakak dulu ya? Bisa kan?" Ujar Adit.

Dengan begitu patuh, Hawa menganggukkan kepalanya seraya mengusap pipi nya yang sudah basah. Melihat Hawa yang begitu berbanding terbalik dengan Hawa yang sebelumnya ia temui, membuat Adit berpikir anak perempuannya ini mirip sekali dengan Maya.

Belum sampai lama Hawa datang, tiba-tiba pintu kamar operasi terbuka. Dokter yang sama dengan dokter yang Adit temui saat di IGD keluar menemui nya dan Maya.

Dengan tangan satu tangan masih menggendong Hawa, dan satu lagi Adit gunakan megenggam Maya, lelaki itu bergerak mendekati dokter tersebut "keadaan anak kami bagaimana Dok?"

"Maaf Pak, kami sudah berusaha"

.
.
.

20072023

Borahe 💙

Komen dong gess 😁

Bukan Drama Korea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang