81

2.3K 224 8
                                    

Terkejut. Tentu.
Siapa tak terkejut saat tiba-tiba Bu Jihan memberi restu, padahal sebelumnya Bu Jihan lah yang amat sangat menentang keinginan rujuk Adit pada Maya. Beliau bahkan tidak main-main saat menyuruh Adit untuk pulang. Meskipun tentu, Adit tidak akan begitu saja menurutinya. Lelaki itu masih kerap bertandang ke kota tempat Maya tinggal untuk menemui Hawa.

Kenapa tidak juga menemui Maya?
Jawabannya karena tak ingin terlalu menambah rasanya. Adit tidak yakin bisa mengontrol tubuh dan pikirannya saat kembali di hadapkan dengan Maya dan rasa rindunya.

Pertemuan mereka saat di makam Adam saja, membuat Adit secara tidak langsung memaksa Maya untuk mengakui kerinduan mantan istrinya padanya. Untungnya sebelum pemaksaan itu berlanjut, ada Pak Hasan yang bisa menghalau Adit sehingga ia tidak bertindak lebih.

Akan tetapi sekarang, kejutan lain malah di buat mama nya sendiri. Seakan sedang mengejeknya kegalauan hatinya berbulan-bulan, Bu Jihan tiba-tiba mengeluarkan statment yang membuat Adit tercengang.

"Mas, anakku gak mau nikahin anakmu jadi nikahkan Maya dengan orang lain aja" Ucap Bu Jihan enteng, seakan restu beliau yang alot tak pernah beliau utarakan.

"Ma..." Pekik Adit "jangan membuat Mas kegeeran kalau ujung-ujungnya hanya mengejek" Imbuh Adit lesu.

Bu Jihan tak menggubris apapun yang Adit katakan, ibu nya itu malah asik memberikan kesimpulannya sendiri tanpa bertanya apapun pada Adit "Maya menyukai Dokter muda itu kan? Nikahkan Maya dengan Dokter itu saja Mas daripada dengan anakku"

Mendengar nama lain di sebut. Tentu mata Adit membola dengan sempurna. Bagaimana tidak, sebagai ibu kandungnya sendiri, Bu Jihan malah mendukung mantan menantunya untuk di nikahkan dengan lelaki lain sedangkan anaknya masih memiliki rasa pada mantan istrinya tersebut. Lelucon sekali bukan?

Karena tak ingin terlalu larut dan akhirnya membuat rasa kesalnya semakin memuncak, Adit memilih untuk undur diri dari rapat mendadak yang dilakukan ketiga sekawan tersebut.

"Adit ke atas dulu ya Ma, Pa" Ucapnya lesu, namun sebelum benar-benar beranjak, Adit menolehkan kepalanya pada sang papa yang sejak tadi tidak mengeluarkan opini apapun. Papanya hanya menyimak pembicaraan istrinya dengan Pak Hasan saja.

Karena Pak Andika tak juga memberi respon apapun pada pandangannya, akhirnya membuat Adit meyakini bahwa seluruh orang di ruang tersebut sedang merosting nya. Mengejek kesedihannya, yang seakan sedang di hina karena tak juga bisa rujuk dengan Maya.

Dengan langkah gontai, Adit menyeret kakinya untuk menanjaki tangga satu persatu menuju kamarnya. Namun, belum sampai benar-benar menghilang Pak Hasan memberinya intruksi yang semakin membuat hatinya pilu "besok ikut Papa ya Dit. Kamu harus tahu lelaki tepat mana yang akan menjadi suami Maya"

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan bagaimana keadaan Adit saat ini.

Di ajak untuk melihat rivalnya tentu bukan yang mudah. Ada hati dan juga tangan yang harus ia kendalikan esok hari agar tak semakin sedih dan tak membuat luka di wajah lelaki yang sudah di pilih Maya.

Hari ini, Adit mendapatkan penutupan hari yang sungguh epik. Bukannya di beri restu untuk melangkah maju, yang ada Adit hanya di beri mimpi indah lalu di jatuhkan sekeras-kerasnya ke bawah.

Marah? Kesal? Emosi?
Tentu semua melebur jadi satu. Baginya menjalani hidup yang harus bolak-balik terbang dari satu kota ke kota lain memang tak menyulitkan nya, tapi bukan berarti ia tak pernah bermimpi akan kehidupan yang bahagia lainnya.

Pulang dari kerja, disambut dengan istri serta anak-anak nya tentu itu khayalan yang paling Adit impikan terwujudnya.

Namun menikah tentu tidak hanya tentang rasanya saja. Ada perasaan lain yang juga harus ia pikirkan, yang nantinya perasaan-perasaan itu lah yang akan mendukung keharmonisan rumah tangganya, meskipun saat ini, ia tak punya itu.

"Mau kemana Pa? Adit besok harus ada meeting jam sepuluh" Jawab Adit lesu.

"Kita pergi sebelum itu" Kata Pak Andika, yang sejak tadi memilih untuk bungkam.
Seakan tak ingin di bantah lagi, ayahnya cukup mengambil alih untuk mengendalikan Adit.

"Kemana? Jam berapa Mas harus bersiap?"

"Jam tujuh" Ucap Pak Hasan datar.

Adit cukup terkejut dengan waktu yang di tentukan oleh Pak Hasan "jam tujuh? Mau kemana Pa sepagi itu? Jogging?" Ucap Adit tak habis pikir, kemana arah tujuan mereka di jam jam yang harusnya masih bisa berada di rumah. Malah harusnya besok menjadi hari libur bagi sebagian orang.

"Antar kami untuk reuni" Jawab Pak Hasan.

Ingin rasanya Adit memaki ayah mantan istrinya ini. Bagaimana tidak, alasan yang diberikan Pak Hasan cukup membuatnya emosi jiwa. Tapi tetap saja, ia masih punya akal waras sehingga hal tersebut tidak mungkin terjadi.

"Pa, kalau hanya untuk mengantar kan bisa minta tolong supir. Papa bisa pakai supir Adit, atau mungkin Papa mau Bagas saja yang mengantar?" Tawar Adit geram.

"Kamu gak mau nganter kami?" Astaga Adit benar-benar ingin mengumpat ayah nya kali ini. Tidak biasanya Pak Andika itu bersikap kekanakan begitu. Terlebih hanya minta diantar untuk bertemu teman masa sekolah beliau.

Dengan mengusap wajahnya kasar, Adit mulai menarik nafasnya dalam. Mencoba menghalau emosi yang bisa saja meledak saat ini juga. Terlebih tubuhnya lelah karena seharian harus duduk di dalam pesawat "bukan gak mau Pa, cuma Mas ada meeting jam sepuluh"

"Kamu kan bos nya, harusnya kamu punya kekuasaan untuk menunda meeting itu kan? Jangan kira Papa gak tau, Papa juga pengusaha Dit"

"Ini klien luar pulau Pa. Adit juga gak mau seharusnya meeting di hari libur begini tapi Adit kan harus profesional. Papa sering mengajarkan itu kan?"

Menjawab pertanyaan Pak Andika yang tak kalah sengit, membuat Bu Jihan akhirnya ikut turut andil dalam perbincangan para lelaki itu "suruh Bagas yang meng-handle semuanya. Mas pergi sama kami"

"Mama ikut?"

"Iya. Jadi Mas anter Mama"

Tak bisa mengeluarkan alasan lagi, Adit hanya mengangguk pasrah sambil mulai pergi ke kamarnya untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.

Dan benar saja, tepat pukul tujuh pagi, Adit sudah bertindak sebagai supir untuk ke tiga orang tua nya. Mereka akan pergi ke pinggiran kota yang tidak terlalu jauh.

Hati Adit cukup tidak nyaman dengan situasi kali ini. Entah karena memang hatinya yang tidak ikhlas atau kerena Adit merasa ada yang di sembunyikan ayah ibunya. Terlebih penampilan mereka tidak seperti penampilan akan berkunjung, lebih seperti akan bertemu dengan orang besar.

Hampir satu jam berlalu akhirnya mobil yang Adit kemudikan berhenti di plataran luas sebuah bangunan pendidikan agama.

PONDOK PESANTREN AL HIKMAH.

Nama tempat itu yang pertama kali Adit baca. Meskipun keningnya berkerut dalam, namun mulutnya masih ia tahan untuk tidak bertanya apapun, sampai Adit melihat Bagas dan Zara, sang adik juga ternyata sudah berada di tempat ini lebih dulu.

"Kenapa lu disini? Meeting gimana? Jangan main-main Gas, itu klien penting"

"Meeting saya mundurkan siang nanti"

"Kamu tahu kenapa kita ada disini?"

Bagas menganggukkan kepalanya "apa? Jangan bilang ini perjodohan?"

"Maybe"

.
.
.

04082023

Borahe 💙

Bukan Drama Korea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang