Pemandangan berbeda Maya temui pagi ini. Adit dengan setelan jas mahalnya sedang duduk dimeja makan sambil meminum kopi dan memainkan telepon genggam nya.
"Bi..." Panggil Maya pelan pada sosok yang tengah membelakangi sangat tuan rumah itu.
Bi Narti yang mendengar panggilan Maya sontak menoleh kearah dimana majikan perempuannya itu berada "ada apa Mbak?" Tanyanya sambil menatap Maya heran "mau Bibi masakin apa?"
"Ohh enggak usah. Maya makan apa aja yang Bibi masak kok" Jawab Maya sedikit gugup.
Di lawannya rasa gugup yang mendera tubuhnya itu, Maya mulai berjalan kearah meja makan dimana ada Adit sedang menikmati paginya.
Jarang jarang Maya melihat suaminya itu mau duduk dan menghabiskan pagi di meja makan rumahnya sendiri.
Maya mendudukkan dirinya tak jauh dari tempat duduk Adit. Ekor matanya menyelidik mengamati pasangannya itu dengan tatapan aneh.
"Kamu sudah keluar" Ucap Adit sambil mengalihkan pandangannya pada Maya. Pernyataan yang Adit buat cukup mencengangkan bagi wanita itu. Bukankah itu pertanda sedari tadi Adit duduk disini hanya untuk menunggunya?
Adit meletakkan ponselnya disamping kopi lalu menatap Maya dengan tatapan menelisik "kamu gak kerja hari ini?"
"Libur"
"Ohh... Aku mau keluar kota seminggu"
"Lalu?"
"Hanya ingin memberitahu"
"Memberitahu bahwa kamu berangkat untuk berkencan?" Entah mengapa Maya sudah mulai terbakar emosi.
Adit menatap Maya tak mengerti. Tidak biasanya Maya seperti itu. Mungkin ini kali pertamanya Adit memberitahukan kepergiannya secara langsung pada istrinya itu.
"Bi, tolong bersihkan belakang dulu. Saya dan istri saya mau bicara" Usir Adit sopan pada Bi Narti yang masih ada diantara keduanya.
Dengan tatapan tak suka, Maya mencoba menghentikan laju langkah Bi Narti "biarkan Bibi disini. Toh, Bibi sudah tau bagaimana pernikahan kita selama ini"
"Baiklah. Aku ulangi ucapanku, aku akan pergi keluar kota selama seminggu"
"Silahkan. Kamu bukan wanita kan? Sejak kapan suami meminta ijin pada istrinya? Bukannya harusnya sebaliknya?"
Adit menceram tangannya sendiri sampai buku buku tangan nya memutih. Lelaki itu cukup tersinggung dengan ucapan sang istri. Dan Maya yang menyadari bahwa suaminya itu sudah mulai meradang, semakin memancing amarah Adit "ceraikan aku, Dit" ujarnya santai sambil menyendok makanan yang baru saja Bi Narti hidangkan.
"Sepertinya kamu perlu memeriksakan dirimu sendiri, May"
"Untuk?"
"Ingatanmu. Bukankah aku sudah mengatakan bahwa tidak akan ada perceraian diantara kita, ya, setidaknya selama Mama masih hidup"
"Umur tidak ada yang tau Dit tapi dalam doaku tak pernah sekalipun aku berdoa untuk kematian mertuaku sendiri"
"Ya sudah jalani saja"
"Kamu mau aku bertahan sampai mana? Sampai umurku habis?"
"Maybe"
Bulir bening mulai menghalangi pandangan Maya. Perempuan itu salah mengambil keputusan. Harusnya sejak Sella menyarankan melepaskan semua ini, ia menurutinya. Akan tetapi saat itu sisi hati kecilnya masih berharap semua akan baik baik saja. Maya hanya perlu menunggu waktu terbaik-Nya segera mendatanginya.
"Dit, aku mohon jangan siksa aku seperti ini. Bukankah tujuan kita hanya ingin Mama sehat? Dan sekarang Mama sudah sehat, lalu apalagi yang harus kita pertahankan sedangkan di luar sana kamu sudah memiliki kekasih lain. Apa kamu tidak ingin menikah dengannya? Lepaskan aku, Dit. Aku benar benar menyerah"
Pernyataan Maya panjang lebar itu tak mendapat respon apapun dari Adit.
Yang ada Adit malah meninggalkan Maya sendiri yang sedang terisak di meja makan.Awalan yang buruk bagi Adit, harusnya hari ini ia tak begitu pusing memikirkan permasalahan dirumahnya karena memang dalam satu minggu kedepan ia akan berlibur dengan sang kekasih ke Bali. Namun, apa yang Maya utarakan pagi ini cukup mengusik hatinya.
"Apa benar selama ini aku menyiksanya?"
Sebuah pertanyaan yang Adit sendiripun tak bisa menjawabnya.
Menikahi Maya enam bulan lalu cukup membuatnya berpikir bahwa wanita itu juga butuh pernikahan ini, meski Adit sendiri tak tau apa alasan dibalik Maya menerima pinangan nya saat itu. Tapi yang jelas Adit tau Maya mengiyakan ajakannya menikah tanpa paksaan dari siapapun, lalu apa?
"Apa sudah saatnya aku melepasnya?"
Sisi baik dan sisi buruk didalam hati lelaki itu sedang berperang untuk memberikan jalan yang entah kedepannya seperti apa, karena Adit tau setiap keputusan yang ia ambil semuanya akan mengandung resiko yang bisa berdampak baik dan buruk.
Ketakutan akan Mamanya terbaring sakit cukup menjadikan pernikahan yang tanpa didasari oleh cinta ini, Adit pertahankan. Meski tak bisa dipungkiri ia lelaki biasa yang punya harapan akan rumah tangga yang bahagia.
Kebahagiaan sederhana. Tak butuh banyak kata, hanya menatap wajah yang terkasih setiap membuka mata, baginya itu lebih dari cukup.
Mungkin bisa saja bagi Adit mendapatkan itu dari Maya, toh sebagai istri, Maya tidak bisa menolak keinginan nya selagi Adit memintanya untuk hal baik. Hanya saja karena pernikahan ini tidak didasari oleh cinta, semua yang menjadi harapannya itu tak pernah bisa terwujud.
Tak pernah sekalipun bagi keduanya bisa duduk damai sambil berbincang kecil. Selalu akan ada pertengkaran karena merasa saling ingin di mengerti dan selalu mau menang sendiri. Seakan keduanya menjadikan hidup ini perlombaan tanpa tau dimana letak garis akhirnya.
Deringan ponsel pintar nya membuyarkan bayangan akan dirinya dan Maya. Nama seseorang yang sudah ditunggu nya, kini muncul di layar datar itu.
"Hallo"
"Sayang...." Saut kekasih Adit dari seberang sana.
"Kamu dimana?"
"Maaf sayang sepertinya kita tidak bisa pergi berlibur"
Adit mengerutkan keningnya pertanda tidak mengerti akan ucapan sangat kekasih. Ia bahkan beberapa hari yang lalu sudah diberi tahu bahwa kekasihnya mendapat cuti sepuluh hari full tanpa gangguan apapun tapi nyatanya, sekarang malah wanitanya itu sendiri yang membatalkannya.
"Kenapa begitu?" Tanya Adit dingin.
"Kamu bisa ke Jakarta sayang? Aku punya surprise untukmu"
"Apa?"
"Datang lah kemari dulu"
"Aku tidak akan pergi kalau aku tidak tau apa itu. Lagipula untuk apa aku kesana sedangkan tempat yang ingin kita kunjungi itu di Bali"
"Gimana kalau kita ubah rencana kita. Kita berlibur di Jakarta saja"
Hembusan nafas kesal Adit keluarkan keras keras. Ia benar benar ingin, kekasihnya itu tau bahwa Adit tidak bisa membatalkan perjalanan liburannya kali ini, karena ada beberapa meeting yang ia setujui untuk digelar di bali.
"Aku harus tetap ke Bali. Aku ada janji meeting disana"
"Kamu yakin? Kamu kesana untuk bekerja? Bukan untuk bersenang senang?"
"Untuk apa aku bersenang senang terlalu jauh, dirumah pun aku bisa bersenang senang" Ucap Adit geram
.
.
.22112022
Borahe 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Drama Korea
Romance"Aku akan mengatakan pada Mama kalau aku mandul. Jadi kamu tidak perlu memusingkan apapun. Hanya perlu tanda tangan dan semuanya akan aku urus dengan pengacara ku"