82

2.1K 204 17
                                    

Keluar dari kerumunan banyak orang membuat Adit sedikit bernafas lega. Dengan background yang memang terlatih untuk menghadapi orang banyak, harusnya ia memang bisa mengendalikan diri. Namun pada situasi baru saja, tak pelak membuat nyali nya menciut, bagaimana tidak menjadi pusat perhatian banyak orang di tempat asing tentu membuatnya tidak nyaman.

"Gue urus meeting, lu pulang" Ucap Bagas dari belakang tubuh Adit.

Adit yang memang memerlukan ruang khusus untuk menenangkan dirinya, hanya menganggukkan kepalanya setuju. Tak banyak berkata, ayah dari Arion, Adam dan Hawa itu hanya bisa terdiam dan mencoba mencerna ada yang baru saja terjadi.

"Anter Papa pulang ke villa ya" Kata Pak Hasan santai.

Jantung Adit kembali berdenyut kencang. Rasanya ia belum sanggup untuk bertemu Maya setelah ini. Untuk hanya mengantar Pak Hasan sampai pintu depan villa, pastinya tidak mungkin terjadi. Yang ada ayah dari Maya itu akan menggeretnya masuk untuk bertemu anak dan cucu nya di dalam.

"Adit kan ada meeting Pa" Adit mencoba mencari alasan untuk mengelak dari ajakan Pak Hasan yang jelas akan membuatnya panas dingin.

"Mau jadi pengecut?"

Sungguh bila mana tidak ingat bahwa di depannya ini adalah orang tua dari Maya, mungkin saja tangan Adit lepas kontrol untuk sedikit memberi pelajaran pada bibir yang dengan mudahnya memberinya label sebagai pengecut.

"Aku butuh waktu Pa" Jawab Adit pelan.

Sungguh ia tak ingin terlalu gegabah. Meski tak bisa di pungkiri apa yang ia lakukan kali ini jelas akan menimbulkan efek yang tidak sedikit.

"Oke, terserah"

Perasaan tak terima Adit semakin menjadi. Pacu jantungnya yang sudah sejak tadi berdetak kencang, kini semakin kencang karena sikap Pak Hasan yang membuatnya diliputi emosi.

Pak Hasan melenggang sempurna ke dalam mobilnya, lalu meninggalkan plataran pondok pesantren milik sahabatnya itu. Hati beliau menyayangkan akan sikap Adit yang di nilainya tidak seperti laki-laki lain yang memang terlalu menginginkan Maya.

Bukan karena tak melakukan usaha apapun, hanya saja Adit lebih banyak menyia-nyiakan kesempatan dan dukungan yang Pak Hasan berikan. Bahkan Bu Jihan yang sudah turun tangan langsung dengan restunya yang dulunya alot pun, tidak merubah sikap Adit apapun.

Hal itu sudah bisa di pastikan, membuat keraguan di hati Pak Hasan akan nasib Maya dan para cucu nya apabila Adit masih mempertahankan sikap seperti ini.

"Mana Mas Hasan?" Tanya Pak Andika ketika sudah selesai berbincang dengan sahabatnya yang sudah menjadi kyai di pondok pesantren ini.

"Sudah pulang" Jawaban lirih Adit seketika membuat Pak Andika melotot sempurna. Di pukul nya belakang kepala Adit untuk membuat anaknya itu sadar akan sikapnya yang tidak sopan pada orang tua wanita yang di sukai anaknya.

"Papa gak nyangka punya anak sebodoh kamu, Dit. Hanya untuk menjalani saja kamu tidak bisa"

Setelah mendapat umpatan pengecut, kini bertambah lagi umpatan untuk dirinya sebagai anak bodoh. Tak pelak hal itu membuat sisi kecil hatinya kembali di landa kekalutan yang hebat.

"Pa... Tapi buat aku semuanya..."

"Banyak alasan kamu. Panggil Mama mu dan kita pulang"

Pak Hasan dan Pak Andika yang sudah mencecarnya dengan perkataan yang kurang baik, membuat anggapan bahwa memang kedua laki-laki dewasa itu paling horor. Akan tetapi Adit lupa, bahwa ada yang lebih horor dari para ayahnya itu yaitu sang mama.

Bu Jihan yang datang dengan sendirinya tanpa perlu repot-repot Adit panggil, bergerak dengan wajah sangat tidak ramah "Ma...." Panggil Adit pelan. Nyalinya semakin menciut melihat sang mama yang terlihat berbeda.

"Pulang" Pelan namun sarat makna tegas dan tidak bisa di ganggu gugat.

Dengan langkah gontai, Adit masuk di belakang kemudi dan bersiap untuk menjalankan mobil menuju ke rumah. Namun, saat akan meninggalkan pondok pesantren, titah berikutnya keluar dari mulut Bu Jihan "kita ke villa"

"Untuk apa Ma?"

"Kamu bilang untuk apa?!" Teriak Bu Jihan memenuhi mobil.

Adit yang terkejut dengan teriakan itu sontak menginjak rem mendadak. Tidak hanya teriakan Bu Jihan yang Adit dengar, Pak Andika pun melakukan hal itu pula "kamu gila?! Kamu mau bikin mama celaka?!"

"Maaf Pa, Ma. Pikiran Mas masih kalut"

"Minggir biar Papa yang bawa mobil"

"Eh, jangan Pa, biar aku aja"

Dengan sedikit terburu Adit kembali mengemudikan mobilnya untuk segera sampai rumah.

Sesampainya di rumah, Adit melenggang tanpa kata masuk ke dalam rumahnya. Tak bisa di pungkiri, pikiran dan hatinya sedang tidak singkron. Terlebih ketiga orang tua nya turut menambah bebannya itu dengan marah-marah tak jelas.
Baginya semua terasa terlalu cepat. Tak tau harus berbuat apa, membuatnya terlihat seperti orang linglung.

Setelah berpikir hampir dua jam lamanya dan tetap tidak memperoleh jawaban akan rasa tidak nyaman, akhirnya Adit memutuskan untuk pergi dan mencari jawabannya sendiri.

"Mau kemana kamu?" Tanya Pak Andika yang memang sedang duduk di ruang keluarga.

Adit menghembuskan nafas pelan. Kegundahan hatinya ingin ia curahkan dengan salah satu orang tua terdekatnya, dan mungkin Pak Andika lah yang akan menjadi tempat curhatnya kali ini.

"Pa... Mas rasa ini semua gak bener. Kita melakukan sesuatu yang menyangkut hidup orang lain tanpa bertanya apapun pada orang yang bersangkutan bukan kah termasuk dholim?"

Pak Andika hanya menatap Adit lurus, masuk ke dalam inti mata Adit. Beliau mencoba mencari perasaan anaknya itu secara perlahan. Bagi seorang ayah, dekat dengan anak laki-laki nya seharusnya memang terjadi. Akan tetapi, semakin besar usia sang anak terlebih seusia Adit yang sudah berkepala empat, jelas ada jarak.

Ego lelaki yang menginginkan anak lelakinya bisa bertindak mandiri dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab akan itu, menyeranh Pak Andika. Tapi sepertinya untuk situasi saat ini, beliau harus memposisikan Adit selayaknya anak kecil yang memang perlu di bimbing.

"Kita hanya mengabulkan keinginannya"

"Keinginan? Papa yakin itu yang dia inginkan? Bagaimana kalau tidak?"

Pak Andika menatap Adit. Kebingungan jelas terpatri di wajah anak sulungnya itu. Tidak mudah memang meneruskan menjalani keterkejutan yang terjadi tadi pagi.

"Kamu mau tau kenapa kami memutuskan itu?"

"Karena apa?" Tanya Adit dengan kening berkerut.

"Karena kami bisa melihatnya dari matanya"

"Tapi..."

"Papa yakin kamu juga akan bisa melihat itu, kalau kamu mau menghadapi nya"

"Tapi..."

"Coba dulu" Ucap Pak Andika lirih.

.
.
.

05082023

Borahe 💙

Bukan Drama Korea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang