Tak berbeda jauh dengan Adit dan Maya yang tergesa masuk ke dalam rumah sakit, Pak Andika pun mengikuti langkah keduanya dengan cepat meski tertinggal. Beruntungnya tujuan mereka sudah bisa Pak Andika tebak jadi tidak susah bagi Pak Andika menemukan keberadaan anak dan mantan menantunya itu. Sedangkan Bagas menyusul mereka setelah memarkir mobil nya.
Bak disambar petir di siang bolong, setelah tadi pagi ia marah habis-habisan karena Adit sudah berlaku seenaknya akibat permasalahan interen di anak perusahaannya. Kini orang tua laki-laki Adit itu di kejutkan dengan pernyataan Adit tentang siapa Adam.
"Anak?" Tanya Pak Andika terkejut.
Tapi belum sampai Adit, Maya, menjawab pertanyaan Pak Andika, tiba-tiba pintu IGD terbuka, menampakkan seorang laki-laki dengan balutan jas putih "keluarga anak Adam!"
"Kami orang tuanya Dok. Bagaimana keadaan anak kami?" Jawab Adit cepat dengan tangan masih tertaut dengan tangan Maya, yang sedari tadi memang belum ia lepas sama sekali.
"Adam harus segera di operasi Pak karena ada cidera di dalam kepalanya"
Bak di sambar petir di siang bolong, kabar anak sekecil itu harus menjalani operasi tak pernah terpikir oleh Adit sebelumnya. Ia memang belum mengetahui kronologi sejelasnya tentang apa yang terjadi dengan Adam. Ada seorang perempuan dan laki-laki yang duduk tak jauh dari mereka menggunakan pakaian coklat berseragam pemerintah, yang mungkin nantinya bisa Adit tanyai tentang kejadian jatuhnya Adam. Ia akan mengusut semuanya sampai akar-akarnya masalah ini.
"Lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok" Ujar Maya setelah sekian lama ia hanya diam dan menangis. Permintaannya yang dalam itu, membuat seluruh orang di sekitarnya ikut merasakan kepedihannya. Maya bahkan menggenggam kuat tangan Adit yang masih menyatu dengannya. Seakan meminta Adit untuk memberinya kekuatan di tengah pikirannya yang sedang tidak baik-baik saja.
Tentu saja Adit paham akan hal itu, tanpa berpikir panjang ia membawa Maya ke dalam pelukannya tanpa peduli pandangan sang papa yang terlihat menahan amarah "lakukan yang terbaik untuk Adam, Dok, tidak peduli berapapun biayanya akan saya bayar, asalkan anak kami selamat"
Tangis Maya semakin kencang saat Adit selesai mengucapkan permohonan itu pada Dokter di depannya. Tidak peduli dengan pekerjaannya sebagai dokter yang sudah terbiasa dengan adegan ini, bagaimanapun Maya tetap seorang ibu yang menyayangi anaknya.
"Saya usahakan semampu saya, jangan putus doa Pak, Bu. Dan silahkan mengurus administrasi dibantu dengan perawat kami. Saya permisi"
Adit hanya mengangguk pelan, lalu matanya menyorot Bagas dan mengangguk lagi. Bagas yang paham apa yang harus ia lakukan, hanya membalas anggukan kepala, kemudian meninggalkan Adit, Maya, Pak Andika bersama dua penjaga lainnya.
Melihat punggung Bagas yang mulai menjauh, Adit yang masih memeluk Maya menuntun wanita itu untuk duduk di kursi pengunjung yang disediakan di depan ruang gawat darurat itu. Berkali-kali ia melihat pintu IGD itu sambil tangannya mengelus pelan punggung Maya.
Sampai akhirnya, perhatiannya berpindah pada sepasang laki-laki dan perempuan berbaju coklat yang sedari tadi menunduk tak jauh dari tempat duduknya "permisi Pak, kami guru Adam..."
Namun belum sampai guru itu menjelaskan kronologi nya, Adit lebih dulu mengangkat tangannya guna menghentikan ucapan guru itu "Jangan mengatakan apapun. Silahkan pergi" Ucap Adit dingin.
Maya yang mendengar itu, mendongakkan kepalanya keatas dan menatap Adit tak mengerti "Dit..." Panggilnya parau.
"Nanti setelah aku memastikan Kakak baik-baik saja, baru kita urus masalah ini ya. Kamu gak perlu khawatir, aku akan mengurus semuanya" Jawab Adit. Meski nada bicaranya sudah dibuat selembut mungkin, tapi bagi orang lain terutama kedua guru itu yang mendengar ucapan Adit, itu semua merupakan sebuah peringatan yang tidak bisa disepelekan.
"Kami minta maaf Pak, Bu. Pami permisi pamit" Salam perpisahan yang di buat oleh wali sekolah itu membuat tangan Adit yang tak memeluk Maya, menggenggam kuat. Dari raut wajahnya, semua orang yang melihat pasti bisa dengan mudah menebak amarah yang coba Adit tahan.
"Urus semuanya segera" Titahnya pada dua orang penjaga yang memang ia beri tugas untuk menjaga Adam, Hawa dan Maya selama ini. Perintah Adit ini membuat kedua orang berbaju hitam itu meninggalkan rumah sakit tempat Adam di rawat menyisakan Adit, Maya dan Pak Andika.
Tak ada pembicaraan apapun di antara ketiganya. Tangis Maya di dada Adit mulai memilih. Keheningan menyelimuti mereka, meskipun banyak orang sedari tadi berlalu lalang lewat di depan mereka.
Pak Andika bukan tak ingin kembali mempertanyakan siapa Adam sebenarnya. Beliau paham, saat ini bukan waktu yang tepat untuk nya menanyakan keingintahuan nya tentang sosok bocah yang sedang berbaring di dalam sana.
"Sepuluh menit lagi operasi di mulai" Ucap Bagas begitu ia sampai di depan Adit. Sejujurnya ia cukup terkejut dengan pemandangan yang ia lihat. Perempuan yang sempat ia tolong untuk menghilang dari hidup laki-laki itu, sedang berada di pelukan laki-laki yang sempat di hindarinya.
"Kita pindah ke ruang tunggu di depan ruang operasi ya" Mendengar ajakan Adit untuk beranjak, Maya seakan tersadar bahwa sejak tadi ia terlalu nyaman berada di dekapan Adit. Perempuan itu bahkan bisa melihat dada sebelah kiri Adit basah akibat air matanya yang mengalir deras sejak tadi "ayo" Ajak Adit sambil mengulurkan tangannya di hadapan Maya.
Dengan pasrah Maya menerima uluran tangan itu, lalu mengikuti langkah Adit dengan diam. Bagas sebagai pemimpin jalan mengarahkan ketiga orang dewasa yang ada di belakangnya untuk ke depan ruang operasi.
"Kakak bakalan baik-baik aja kan Dit?" Lirih, sangat lirih, namun Adit bisa dengan jelas mendengar pertanyaan Maya meski tak sedikit mereka berpapasan dengan banyak orang.
"Anak kita bukan anak lemah, May"
Menyebut Adam dengan sebutan anak kita, membuat Pak Andika yang berjalan di belakang Maya dan Adit semakin bertanda tanya. Belum lagi sikap Adit yang terbilang lembut dan baik dalam memperlakukan Maya pun juga menjadi sorotan untuk Pak Andika. Banyak kemungkinan yang mulai bersarang dalam pikiran papa Adit itu, namun sebagai orang tua, Pak Andika paham saat ini bukan waktu yang tepat untuk mempertanyakan semuanya.
"Dit... Adek..." Langkah Adit terhenti begitu Maya mengingatkannya pada Hawa yang saat ini sedang tidak berada di dekat mereka.
"Gas... Tolong jemput Hawa"
"Hawa sedikit lagi sampai. Tadi aku sudah meminta Bi Sri untuk membawa Hawa kesini" Ucap Bagas.
Adit hanya menganggukkan kepalanya. Bagas sudah memperhitungkan semuanya di tengah ketegangan yang sedari tadi Maya dan Adit hadapi.
"Siapa lagi Hawa?!" Tanya Pak Andika tegas. Beliau sudah tidak tahan untuk tidak mempertanyakan ini semua, terlebih saat nama lain kembali Adit akui sebagai anaknya.
"Anakku, Pa"
"Maksudmu apa?! Rencana apa yang sedang kalian jalankan?! Papa gak ngerti!"
"Aku punya anak tiga, Pa. Saat aku menceraikan Maya, dia sedang hamil"
Plak!!
Bugh!!
.
.
.19072023
Borahe 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Drama Korea
Romance"Aku akan mengatakan pada Mama kalau aku mandul. Jadi kamu tidak perlu memusingkan apapun. Hanya perlu tanda tangan dan semuanya akan aku urus dengan pengacara ku"