71

2.7K 235 16
                                    

Telepon tiba-tiba terhenti. Adit dengan kasar mengambil kunci mobilnya di atas meja dan menyambar asal jas nya.

"Mau kemana kamu?!" Ujar Pak Andika menghentikan langkah Adit. Ditatap nya wajah sang Papa sebentar sebelum akhirnya kakinya kembali melangkah.

"Papa bilang berhenti! Kalau kamu masih mau jadi anak Papa!" Kemarahan Pak Andika sudah di ujung tanduk itu tetap tak lantas membuat langkah Adit terhenti. Anak lelaki satu-satunya itu bahkan dengan tidak sopan membanting pintu ruangannya sebagai bentuk protesnya atas ucapan sang ayah "anak kurang ajar!" Umpat Pak Andika.

Tetapi belum sampai satu menit, pintu ruangan itu kembali terbuka masih dengan pelaku yang sama, Adit. Biarpun lelaki itu tak bicara apapun, tangannya bergerak untuk menarik tangan Maya yang paling dekat dengan nya. Tanpa banyak berkata, ia menarik mantan istrinya itu untuk keluar dari ruangannya.

"Lepas!" Ucap Maya keras. Ia tak ingin kembali menjadi pusat perhatian karena sudah di gandeng dengan dua orang yang berbeda ketika masuk dan keluar di gedung ini.

Untungnya, genggaman Adit tidak sekuat genggaman Bagas tadi, jadi tak susah bagi Maya untuk melepaskan diri dari mantan suami itu.

"Kenapa kalian semua seenaknya hem! Apa guna mulut kalian kalau kalian tidak bisa berbicara!"

Adit menatap Maya dingin. Tangannya di lipat di depan dada sambil mengamati ketiga orang yang menatapnya dengan aura permusuhan "kamu bakalan menyesal kalau gak ikut aku" Tekan Adit.

"Menyesal? Bukannya aku lebih menyesal ikut dengan mu?!"

"Adam jatuh dari lantai 3"

Penuturan Adit membuat Maya terdiam kaku. Otaknya memproses tiap kata yang Adit ucapkan, sampai akhirnya ia sadar bahwa ia harus bergerak cepat saat ini.

Dengan langkah besar, kali ini Maya memimpin jalan. Adit yang melihat itu hanya menatap nya dengan dingin, namun tak urung kaki nya juga ikut beranjak meninggalkan dua lelaki yang sedang mencerna perkataan yang Adit tinggalkan tadi.

Bagas lah orang ke tiga yang sadar bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja, terlebih dengan kedua orang di depannya ini. Diikuti dengan Pak Andika yang mendadak ingin tahu apa yang mereka bicarakan.

'Adam?'

Siapa laki-laki yang namanya di sebut oleh Adit itu. Bahkan mantan menantunya juga sahabat anaknya seperti mengenal sosok itu. Raut kekhawatiran ketiganya tak luput dari pantauan  Pak Andika.

"Saya yang bawa mobil" Ucap Bagas begitu ke empat orang tersebut sudah bersisihan di dalam lift.

Tak ada bantahan apapun. Adit dan Maya diam, sibuk dengan kekhawatiran mereka masing-masing akan keadaan Adam, sedangkan Pak Andika sibuk dengan teka-teki yang di dengarnya, sambil sesekali mencuri pandang ke tiga orang yang memang sudah di anggap nya anak, kecuali Adit, yang memang anak kandungnya.

Sampai lift berhenti dan terbuka. Tidak ada percakapan apapun. Untungnya kondisi bagian depan kantor Adit saat itu tidak terlalu rame, hanya ada beberapa karyawan yang terlihat membawa berkas berlalu lalang, dan memperhatikan mereka. Tiga orang petinggi kantor dengan sosok wanita muslimah.

Tak ada satupun sapaan pegawai yang diindahkan oleh ke empat orang yang sedang diliputi perasaan kalut itu. Ah, mungkin hanya tiga orang yang sedang memikirkan Adam, karena Pak Andika belum tahu menahu siapa sosok yang membuat Adit sampai kalang kabut begitu.

"Papa ikut" Permintaan Pak Andika itu, membuat Adit dan Maya saling padang. Entah karena alasan apa Adit lebih memilih menggeleng kan kepalanya, sedangkan Maya menganggukkannya.

Melihat itu, Bagas yang tahu bahwa akan terjadi debatan di antara Adit dan Maya, memilih untuk langsung mempersilahkan Pak Andika untuk masuk ke dalam mobil dan duduk manis di samping kemudian. Melihat hal itu tentu saja, Adit tidak punya pilihan lain selain masuk juga ke dalam mobil dengan Maya di sebelahnya.

Lagi, lagi hanya keheningan yang tercipta, atmosfer dalam mobil itupun mendingin meski hati Adit sedikit kesal dengan keberadaan Papa nya yang ikut serta dalam perjalanannya kali ini.

Kedekatan yang belum terjalin antara Adit dan Adam cukup menjadi alasan, Adit belum ingin memberitahukan semuanya pada kedua orang tuanya. Terlebih sudah bisa dipastikan, apabila sang Mama, Bu Jihan tahu keberadaan cucu-cucu nya, beliau pasti akan meminta Maya kembali ber rumah tangga dengannya.

Harusnya, memang Adit bersyukur karena mungkin itu akan menjadi keuntungan nya untuk bisa membuat Maya menerimanya meski melalui Bu Jihan, tetapi Adit juga tidak bodoh, kalau sampai Maya dan dirinya kembali menikah dengan peristiwa yang sama serta perasaan yang belum terpaut, bahkan Maya menyukai lelaki lain, pasti hasilnya tak akan jauh berbeda dengan yang terjadi di rumah tangga mereka dulu.

"Kalian mau kemana?" Tanya Pak Andika saat mobil yang di kendarai Bagas mulai masuk ke dalam tol, dan mulai meninggalkan kota tempat beliau tinggal.

Harusnya Bagas bisa dengan mudah menjawab pertanyaan Pak Andika, meski begitu ia menahan dirinya. Bagas paham, hal ini sudah bukan ranah nya untuk menjelaskan masalah yang mungkin akan terjadi di depan.

Kalau Bagas harus menahan mulutnya tak berbicara hal apapun, lain hal nya dengan Adit yang malah hanya diam sambil menutup matanya sejak tadi. Tak ada keinginan dalam dirinya untuk menjawab pertanyaan sang papa.

"Ngantar Maya pulang Pa" Ucap Maya sedikit terisak.

Perubahan suara Maya, jelas terdengar jelas di telinganya ketiga lelaki yang berada dalam satu mobil. Suara Maya terdengar lebih berat dan seperti menahan sesak.

Pak Andika langsung melongok kan kepalanya di antara kursinya dengan kursi pengemudi, dengan nada khawatir beliau bertanya "Maya kenapa? Ada yang sakit? Atau pertanyaan Papa salah?"

Bagas yang memang harus fokus dengan jalanan hanya menatap Maya dari kaca tengah mobil, tanpa bisa bertanya atau mengatakan apapun. Pak Andika yang memang belum mengetahui bahwa Bagas lah yang membantu Maya lari dari Adit, sampai menyewakan villa yang Maya tempati selama ini, membuatnya tak bisa banyak bicara.

Namun ada satu yang mencolok dari kelakuan ketiga lelaki itu setelah mendengar nada berat Maya, ia adalah Adit. Tanpa membuka matanya dan tanpa menatap Maya, Adit menggerakkan tangannya untuk menggenggam tangan Maya yang memang Maya urai bebas di samping tubuhnya. Tangan itu lemas sampai akhirnya Adit menautkan tangan mereka tanpa sepatah katapun.

Hal itu jelas membuat Maya terkejut, dengan buru-buru Maya mencoba menarik tangannya yang di kaitkan dengan tangan Adit. Naasnya, genggaman Adit kali ini begitu kuat namun juga hangat. Seakan menegaskan bahwa bukan hanya Maya yang khawatir akan Adam, ada Adit juga yang merasakan hal yang sama. Jadi tak apa bukan untuk saling menguatkan dan berbagi kekhawatiran.

Bagas benar-benar pengemudi yang handal. Tidak sampai dua jam, mobil yang ia kendarai sudah mulai masuk ke plataran rumah sakit terbesar di kota tempat Maya tinggal.

Dengan langkah tergesa-gesa, Adit keluar dari mobil lalu memutar membuka pintu untuk Maya kemudian menarik tangan mantan istrinya itu untuk segera masuk ke dalam rumah sakit itu.

Di depan ruangan bertuliskan IGD, Adit melihat dua anak buahnya yang selama ia tugaskan untuk menjaga Adam dan Hawa panik. Adit sengaja untuk memberikan pengamanan rahasia pada si kembar agar ia dengan leluasa untuk mengetahui keadaan anaknya tanpa harus menghubungi Maya terlebih dulu. Dan tindakan Adit itu, saat ini ternyata menguntungkan, meski ia tak yakin setelah ini Maya tidak mengamuk nya.

"Pak..." Sapa salah satu pengawal Adam Hawa begitu melihat sang bos mendekat "Mas Adam jatuh karena di dorong temannya" Jelasnya sebelum Adit bertanya.

Genggaman tangan Adit di tangan kecil Maya mengerat. Ada perasaan marah begitu ia mengerti kemana arah pembicaraan bodyguard nya. Sudah bisa di pastikan, anaknya kembali terkena dampak bully.

"Lalu keadaan anak ku bagaimana saat ini?"

"Anak?" Tanya Pak Andika begitu beliau mendengar panggilan Adit untuk Adam.

.
.
.

Borahe

16072023

Borahe 💙

Jangan lupa vote dan komen ya
Aku tuungggguuuu 🤭

Bukan Drama Korea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang