75

2.5K 231 13
                                    

Suara adzan Adit kumandangkan pada Adam untuk pertama dan terakhir kalinya bagi Adam. Tak tahu siapa yang dulu mengumandangkan adzan pada telinga Sang anak saat lahir tapi yang jelas di ujung usianya Adit lah yang menghadiahkan itu.

Dengan tubuh penuh tanah kuburan, Adit berjongkok di samping jenazah Adam yang sudah terbungkus kain kafan "Allahuakbar... Allahuakbar..." Sepanjang Adit melafalkan kalimat panggilan Allah itu, sepanjang itu pula air matanya tak henti menetes.

Rasa penyesalan nya, tak hilang meski ia sudah melakukan yang terbaik untuk mengebumikan Adam.
Berkali-kali ia berandai,
andai ia datang lebih cepat, mungkin semua tidak akan seperti ini,
Andai ia datang lebih cepat, mungkin ceritanya akan berbeda,
Dan andai ia datang lebih cepat, mungkin ia bisa memperbaiki semuanya.
Akan tetapi, tetap saja tak ada perubahan dari kalimat perandaian itu.

Semua tetap sama dan ia tetap kehilangan Adam untuk selamanya.

Dengan wajah masih bercucura air mata, Adit keluar dari liang lahat Adam dan mulai menyiramkan segumpal tanah yang ia genggam dengan kuat untuk di tutup kan pada tubuh dingin anaknya.

Air matanya semakin deras mengucur saat ia mendengar teriakan lantang Maya sambil meraung memanggil nama Adam dari kursi yang memang di khususkan untuk pelayat perempuan "Kak... Adam... Jangan tinggalin Mami. Mami gak bisa hidup tanpa Kakak" Begitu terus menerus dan berulang-ulang.

Arion yang memang sudah datang bersama Azwin, tak bisa berbuat banyak, mengingat tenaga nya pasti kalah jauh dari tenaga Sang ibu. Anak laki-laki itu hanya bisa memeluk Maya pelan, sampai akhirnya Maya kelelahan dan jatuh pingsan sebelum pusara Adam tertutup sempurna.

Jika tak mengingat pesan Bu Jihan untuk menjadi ayah yang baik di saat terakhir Adam, mungkin Adit sudah berlari untuk membopong tubuh Maya pulang. Namun, kali ini itu tak ia lakukan, keinginan itu ia abaikan dengan sadar. Adit ingin ia menuntaskan urusannya dengan Adam terlebih dahulu, setelah itu ia baru menemui Maya dalam keadaan lebih baik. Beruntung, ada Zara yang siap disamping perempuan itu sehingga adiknya itu bisa meminta bantuan untu membawa Maya ke mobil untuk dibawa pulang ke rumah lebih dulu.

'Papi harus gimana Kak buat nebus semuanya?'
Ungkapan itu hanya bisa Adit gumamkan dalam hati. Ia tak bisa mengeluarkan seluruh penyesalannya disini. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian dan mendapat rasa kasian dari orang-orang yang mengantar kepergian Adam ke tempat peristirahatan nya untuk yang terakhir kali.

Tak butuh waktu lama bagi semua orang untuk membubarkan diri pergi meninggalkan tempat pemakaman Adam. Waktu yang sudah beranjak ke malam tentu menjadi prioritas mereka untuk segera sampai ke rumah masing-masing, meninggalkan keluarga inti yang tengah meratapi nasib Sang cucu. Hanya Ada, Pak Andika, Bu Jihan, Pak Hasan dan Adit disana, sedangkan Bara dan juga Azwin membawa anaknya dan para wanita untuk segera pulang dan membantu mengurus Maya yang terkapar tak berdaya di villa.

Keheningan mengelimuti keempat orang dewasa itu. Hanya ada suara jangkrik dan beberapa hewan malam yang terdengar mengiringi tangis Adit dan Bu Jihan yang sejak tadi tertahan agar tak mengeluarkan suara.
Pak Andika dan Pak Hasan sendiri terlihat begitu tegar, meski tak bisa dibohongi bahwa di dalam mata para orang tua itu turut merasakan duka yang mendalam.

Hanya menepuk-nepuk pelan tanah basar yang menutupi tubuh Adam itu lah yang sejak tadi Pak Andika lakukan, sedangkan Sang istri, Bu Jihan tengah mengelus pelan batu nisan bertulisan nama Adam, waktu kelahirannya dan waktu kematiannya dengan air mata yang mengalir layaknya aliran sungai. Cucu yang tengah di tangisi keduanya ini, belum sempat beliau lihat wajahnya dengan jelas. Hanya sekilas sesaat sebelum tubuh kecil Adam tertutupi dengan kain kafan.

Tak pernah terpikir dalam bayangan Pak Hasan, ia akan lebih dulu melihat Sang cucu terkubur di dalam tanah ketimbang dirinya. Harusnya sebagai seorang yang sudah berumur, Pak Hasan lah yang lebih dulu di kuburkan, bukan Adam, anak kecil yang baru berusia tujuh tahun itu. Namun, takdir Allah tak dapat di tebak. Perhitungan Allah pun tak akan sama dengan perhitungan manusia. Bisa jadi yang muda meninggal terlebih dulu untuk memberi pelajaran, sedangkan yang tua masih di beri umur untuk selalu mengingatkan akan jalan kebenaran.

Sedangkan Adit yang memang menjadi tokoh utama penjahat dalam kisah hidup keluarganya, hanya bisa mematung terdiam dengan mata yang selalu berembun. Ia sudah kehabisan kata-kata untuk menyesali apa yang sudah ia lakukan.

Sampai di batas keheningan, akhirnya Pak Hasan mengungkapkan kenangan yang terjadi di masa lalu antara beliau dan Adam "Adam itu tingkahnya paling mirip dengan kamu, Dit"

Adit yang mendengar penuturan Pak Hasan seketika menolehkan kepalanya pada mantan mertuanya itu "anak ini selalu menelan semuanya sendiri, Dit. Dia gak mau membuat Maya atau orang lain di sekitarnya khawatir. Dia selalu terlihat baik-baik saja padahal Papa tau dia diam-diam menggambar gambar keluarga. Ada lima orang yang selalu dia gambar, Mami nya, Abang nya, Adek nya, diri nya sendiri dan.... kamu, Papi nya. Kamu tau itu artinya apa? Dia mau kehadiranmu, Dit"

Tamparan tak kasat mata, menampar habis-habisan wajah Adit yang sudah sayu. Bekas pukulan yang Pak Andika hadiahkan padanya tadi pagi dan saat tadi di rumah sakit tidak ada apa-apa nya ketimbang, fakta bahwa Adam sudah menunggu kehadirannya sejak lama.

Tak lagi peduli dengan alasan Adam yang masih memanggilnya dengan sebutan 'om', sosoknya lebih ia butuhkan daripada hanya sebuah panggilan semata. Namun, lagi, lagi semua sudah terlambat dan tidak akan bisa kembali meski nyawa sudah menjadi tumbal. Tumbal karena keegoisannya yang pasti akan menjadi penyesalannya seumur hidup.

"Adit minta maaf Pa..." Hanya itu yang bisa Adit ucapkan dengan dada yang kembali sesak.

Pak Hasan mengelus punggungnya pelan. Beliau tahu bagaimana menyesalnya mantan menantunya ini sekarang. Dua tahun belakang Adit sering menemuinya hanya untuk meminta maaf atas segala tindakannya di masa lalu. Pak Hasan pun sudah melihat sendiri perubahan Adit, bahkan terakhir kali mereka bertemu, Adit dengan mudahnya meminta beliau untuk melamar kan Prasetyo untuk Maya. Entah apa yang melatarbelakangi tindakan nya tersebut, tapi yang Pak Hasan tahu, Adit benar-benar sudah berubah.

Sejujurnya, peristiwa meninggalnya Adam ini membuat hati Pak Hasan di hinggapi rasa penyesalan juga.
Pasalnya, Pak Hasan yang saat itu masih susah untuk memberitahukan keberadaan Maya dan para cucu nya pada Adit, sehingga hal itu menyebabkan Adit terlambat untuk menebus segalanya. Andai saja saat itu Pak Hasan berbaik hati, mungkin saja di sisa terakhir hidupnya Adam bisa sedikit merasakan kasih sayang seorang ayah seperti mimpinya selama ini.

"Kamu gak perlu minta maaf sama Papa. Minta maaf lah pada Adam dengan cara tidak menjadikan Arion dan Hawa korban berikutnya. Cukup Adam saja Dit. Dia pasti akan marah saat tau Abang dan Adek nya tidak kamu jaga dengan baik"

.
.
.

23072023

Borahe 💙

Bukan Drama Korea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang