Ternyata, duduk menunggu Dokter di depan ruang operasi itu membuat seluruh pikiran berubah jadi negatif. Meski berkali-kali doa tulus di panjatkan dan keajaiban jadi harapan, tetap saja kemungkinan mimpi buruk akan selalu ada. Bahkan yang terparah, mimpi itu menjadi kenyataan yang harus di terima.
"Maaf Pak, kami sudah berusaha"
Permintaan maaf dari Dokter di depan mereka ini, membuat Maya memundurkan beberapa langkah kakinya. Wanita itu bahkan hampir terjatuh apabila Adit tidak langsung bergerak untuk menyangga tubuhnya.
Sejujurnya Adit tidak lebih baik dari keadaan Maya. Ia sempat mematung beberapa saat setelah mendengar berita buruk mengenai Adam, namun karena tangannya masih tertaut dengan tangan Maya, Adit bisa merasakan keterkejutan Maya. Dan untungnya, lelaki itu berhasil menopang Maya dan membuatnya kembali berdiri di depan kamar operasi itu.
Bagas tentu tidak diam saja disana. Sebagai orang yang bisa paling sadar di antara semua orang disini, ia mengambil alih Hawa dari gendongan Adit, sedikit menjauh dari hadapan Dokter berbaju biru itu guna menenangkan Hawa yang sudah cukup paham kemana arah pembicaraan orang dewasa di sekitarnya.
"Bagaimana bisa?!" Teriakan Pak Andika tiba-tiba keluar begitu saja, mewakili Adit dan Maya yang masih shock.
"Pendarahan Pak"
Salah satu alasan yang akhirnya membuat Pak Andika diam. Jatuh dari lantai tiga, jelas bukan kejadian yang baik. Pasti akan ada resiko yang membersamai itu. Dan Adam mendapat resiko terburuk.
"Saya mohon maaf" Ucap Dokter itu penuh penyesalan.
Tak ada jawaban apapun dari semua orang disitu, hingga sampai Dokter itu pergi belum ada pergerakan apapun yang terjadi. Hawa masih menangis, Maya pun tersedu dan para lelaki hanya diam. Bukan tak punya air mata untuk di keluarkan, namun mereka memilih untuk menahannya agar kedua perempuan disana tidak semakin berduka.
Entah berapa lama mereka meratapi nasib buruk ini, tiba-tiba Bagas menyerahkan Hawa yang sudah tertidur di pundaknya pada Pak Andika. Ia tak bisa memberikan bocah kecil itu pada Adit, karena sedari tadi Adit masih mencoba menenangkan Maya. Tak mudah pasti bagi seorang Ibu, terlebih Ibu tunggal seperti Maya saat harus kehilangan anaknya.
"Saya harus mengurus semua Pak" Kata Bagas begitu ia meminta Pak Andika untuk menggantikan tugasnya menggendong Hawa. Untungnya bobot bocah itu tak terlalu berat sehingga Pak Andika masih sanggup untuk merengkuh nya meski harus sambil terduduk.
Hanya anggukan sekilas yang Pak Andika berikan. Setelahnya beliau mengamati wajah Hawa dengan seksama. Ada beberapa bagian wajah bocah itu yang mengingatkannya pada Adit kecil dulu, membuat beliau percaya bahwa Hawa memang anak kandung Adit meskipun statusnya masih di pertanyakan.
"Gas..." Panggil Adit.
Bagas yang tadinya hampir menjauh, kini kembali mendekat pada sahabatnya itu "ada apa? Lu butuh sesuatu?" Tanya Bagas.
Adit menggelengkan kepalanya sebentar lalu menatap Maya yang masih menangis terisak "aku ngurus Adam dulu ya. Kamu sama Papa bentar gak papa kan?" Ada getar di tiap kata yang Adit ucapkan. Tubuhnya yang tadi tegap kini menghilang, menjadi kisut dan digantikan rasa duka yang dalam.
Adit sudah kehilangan Adam, bahkan sebelum ia bisa menebus semuanya. Sesuatu yang berharga, yang belum sempat ia miliki.
Cita-cita mendengarkan bocah lelaki itu mengganti panggilannya menjadi layaknya orang tua, kini pupus tak lagi berjejak. Jangan tanyakan bagaimana penyesalan dan pengandaian yang Adit rasakan saat ini. Meski tak menemani Adam bertumbuh, bocah itu sudah punya ruang tersendiri di hatinya.
Ucapan pamit yang Adit lontarkan, di balas dengan gelengan kepala oleh Maya sebagai tanda penolakan yang wanita itu berikan pada mantan suaminya. Wanita itu tak mau Adit mengurus semuanya, karena secara tidak langsung, saat Adit melakukan itu, itu seperti menyetujui bahwa anak keduanya memang benar-benar sudah tak bernyawa.
"Hanya sebentar. Kasian Kakak kalau terlalu lama disini, ya? Aku sekalian menghubungi Bang Azwin, Mama sama Papa Hasan"
Lagi, lagi Maya meraung. Perkataan Adit tadi sungguh membuatnya kembali sendu. Wanita itu tak ingin rumahnya di penuhi oleh para tamu dengan berbaju hitam. Maya masih percaya bahwa Adam baik-baik saja dan akan kembali dalam dekap nya dalam waktu dekat.
Tak mau Maya semakin ambruk, Adit lebih memilih untuk menenangkannya kembali. Menunda sebentar pengurusan kepulangan jenazah Adam sampai Maya bisa menerima semuanya.
"Tolong hubungi keluarga kami ya Gas"
Bagas hanya menganggukkan kepalanya lalu menjauh dan mulai menghubungi orang-orang yang memang berstatus keluarga seperti yang sudah Adit sebutkan tadi.
Birokrasi pengurusan kepulangan jenazah di rumah sakit besar memang membutuhkan banyak waktu. Terlebih peristiwa yang membuat Adam sampai kehilangan nyawa nya, bukan lagi kejadian biasa. Ada beberapa test yang di minta oleh pihak keluarga sebagai barang bukti untuk menegaskan apakah kejadian ini murni karena kesalahan Adam atau ada pihak lain yang ingin mencelakai anaknya.
Di saat menunggu semuanya selesai di urus, tiba-tiba dari lorong rumah sakit Adit melihat sang Mama, adiknya dan mantan mertuanya itu datang sambil tergopoh, menghampiri mereka yang sedari tadi hanya diam termenung dengan Maya masih menangis.
"Mas..."
"Dit..."
Sapaan Bu Jihan dan Pak Hasan datang bersamaan. Adit paham kedua orang tua ini meminta penjelasan tentang apa yang terjadi. Terlebih Bu Jihan pasti meminta penjelasan mengenai Adam.
Tapi bukannya menjawab, Adit hanya berdiri, melepas pelukannya pada Maya lalu menghampiri Bu Jihan dan Pak Hasan. Dengan khitmat, lelaki itu memohon ampun pada kedua orang tua di hadapannya "Adit minta maaf Pa..." Ucapnya pelan dengan ujung mata yang sudah berair.
Pak Hasan hanya diam, kemudian memeluk mantan menantunya itu sambil menepuk punggung Adit yang mulai bergetar "semua ini sudah suratan takdir. Ikhlaskan agar nantinya Adam yang menyambutmu di surga" Bukannya mereda, akan tetapi tangis Adit semakin menjadi.
Baru kali ini lelaki yang terkenal dingin, kaku dan cuek itu menunjukkan sisi manusianya. Tak lagi mau menahan, Adit meratapi semuanya dengan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang besar. Ia terlalu malu untuk menyesali semuanya di hadapan banyak orang.
Hingga sampai tepukan pelan ia rasakan di bahu kanan nya. Sang Mama, Bu Jihan sedang berdiri sambil melihat kehancuran yang anaknya ciptakan. Air mata beliau cukup menunjukkan kekecewaan yang sudah anak sulungnya lakukan selama ini.
Tak lagi menghiraukan dimana tempat mereka saat ini, Adit reflek bersujud di kaki Sang ibu. Ucapan maaf kembali ia gaungkan atas segala yang sudah ia perbuat di masa lalu "maafkan Mas, Ma. Maaf. Mungkin semua ini terjadi karena Mas gak pernah jadi anak baik buat Mama. Maaf kan Mas, Ma"
Bu Jihan yang mendengar permintaan anaknya dengan tulus hanya bisa terdiam. Beliau tidak tau harus memberikan reaksi apa untuk semua yang terjadi. Zara memang sudah menceritakan siapa Adam dan bagaimana kehidupan Maya setelah bercerai dengan Adit. Bu Jihan bahkan harus merelakan mimpinya selama ini hanya karena kelalaian anaknya sendiri.
"Mama kecewa"
Adit semakin terisak. Kalimat itu kembali ia dengar dari mulut Bu Jihan setelah dulu sempat beliau ucapkan saat ia menceraikan Maya. Lelaki itu paham seberapa terlukanya Bu Jihan meski ia bisa memperlakukan orang tuanya itu dengan baik. Terlalu banyak luka yang ia toreh sampai-sampai bukan ucapan menerimaan maaf yang Adit terima melainkan ungkapan kekecewaan Sang Mama.
"Jadilah Ayah yang baik meski untuk terakhir kalinya Mas"
.
.
.22072023
Borahe 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Drama Korea
Romance"Aku akan mengatakan pada Mama kalau aku mandul. Jadi kamu tidak perlu memusingkan apapun. Hanya perlu tanda tangan dan semuanya akan aku urus dengan pengacara ku"