99

2.4K 231 4
                                    

Tiga jam yang penuh arti, membuat mata Adit semakin terbuka. Mengikuti kemauan Hawa untuk pergi kesana kemari, justru membuatnya semakin merasa bersalah. Keterlambatannya menemukan Maya beserta anak-anak mereka, menjadi penyesalan yang harus ia sesali seumur hidup.

"Adek mau kemana lagi?" Tanya Adit begitu mereka sudah selesai dengan acara makan malam sesuai keinginan Hawa.

Salah satu batasan yang Maya buat untuk anak mereka adalah makan makanan instan, seperti yang saat ini tengah Adit dan Hawa lakukan. Bukan ingin menentang rambu-rambu yang sudah Maya buat hanya saja, janjinya pada Hawa beberapa jam tadi harus ia tunaikan, termasuk dengan menuruti bocah perempuan itu makan ayam goreng dengan logo orang duduknya ini.

"Kemana ya Pi? Main timezone udah, beli boneka udah, makan es krim udah, makan McD udah juga, apa ya yang belum?" Ucap Hawa sembari tengah berpikir.

Adit mencubit pipi gembul sang anak. Dengan mulutnya yang masih terus mengunyah kentang goreng membuat pipi bocah itu semakin menggembung, seakan ingin tumpah dari hijab berwarna biru dongker yang sedang ia gunakan.

"Pulang aja yukk, Mami pasti nyariin" Tawar Adit.

"Kalau nyariin pasti telepon kan?"

Nah. Itulah masalahnya.
Entah mengapa feeling Adit kali ini tidak enak. Pasalnya sejak tadi tidak ada satupun pesan dan telepon nya di gubris oleh Maya. Mencoba berpikir positif bahwa Maya masih tertidur lelap di kamarnya bukan pilihan yang bagus. Bagaimanapun lelahnya, ia yakin istrinya itu tidak akan menghabiskan tiga jam nya hanya untuk bersantai-santai terlebih hari sudah mulai petang, pasti Pak Hasan tidak akan membiarkannya untuk tertidur sebelum magrib datang.

"Dari tadi Papi udah coba telepon Mami tapi gak di angkat Dek. Pulang aja yuk?" Ajak Adit lagi.

Akhirnya dengan berat hati, Hawa mengiyakan ajakan sang ayah "oke, tapi lain kali lagi ya Pi. Ajak Abang dan Kakak... Ehh salah maksud Adek ajak Abang" Pinta Hawa sambil tersenyum, ada nada sedih di akhir kalimat permintaannya itu yang coba bocah kecil itu tutupi.

Sebagai anak perempuan satu-satunya, Hawa mempunyai kedudukan tertinggi setelah Maya di hati ke dua sodara nya itu. Ada Arion yang tak mungkin menyakitinya dan ada Adam yang selalu menemaninya, namun itu semua dulu, sebelum pada akhirnya keadaan lah yang membuatnya harus tinggal berdua dengan sang ibu.

Ingin menyalahkan takdir yang sudah terjadi, tentu tidak bisa Hawa lakukan. Sebagai anak yang baru berusia delapan tahun, ia tak bisa berbuat apapun. Sesekali menangis dan merasa kesepian karena harus menjalani semua sendirian, itu saja lah yang bisa ia lakukan.

Salah ucap yang tak sengaja itu, sedikit banyak membuat Adit tahu bagaimana perasaan anak bungsunya itu. Kalau selama ini ia melihat Hawa seakan menerima dan baik-baik saja dengan takdir keluarganya, hari ini Adit melihat sisi lain Hawa, anak itu tidak jauh berbeda sifatnya dengan Maya, mencoba meredam semuanya sendiri dan menunjukkan pada dunia bahwa hidupnya baik-baik saja.

Rasa sesal kembali menyerang hati Adit. Kepergian Adam, dan kepindahan Arion tak lain dan tak bukan akibat kemunculannya. Kebejatannya yang paripurna itu membuatnya melewatkan banyak hal, belum lagi rasa egoisnya saat itu cukup membuat nya menjadi alasan terpecahnya kebahagiaan keluarga mereka.

"Adek rindu Abang?" Tanya Adit sambil menggenggam lebih erat telapak tangan mungil itu.

"Iya"

"Rindu Kakak?"

"Iya"

"Nanti kita jemput Abang ya biar Abang tinggal disini lagi"

"Kenapa sih Abang harus pindah?"

Pertanyaan Hawa membuat Adit menghela nafas panjang. Bagaimana cara nya ia menjelaskan bahwa Arion sudah cukup dewasa untuk anak seusianya sehingga ia bisa memutuskan dimana ia akan tinggal meskipun alasannya tetap karena kelakuan sang ayah.

"Abang mau cari suasana baru Dek"

"Kan disini masih bisa. Adek kesepian Pi gak ada temen mainnya. Di sekolah Adek sendirian, di rumah juga Adek sendirian"

Mendengar ungkapan hati Hawa yang tiba-tiba membuat sudut mata Adit sedikit berembun. Ia tak menyangka bahwa Hawa juga mengalami hal yang sulit, sesulit dirinya dan Maya. Selama ini fokus Adit memang hanya tertuju pada sang istri sehingga ia tidak banyak memperhatikan Hawa yang nyatanya juga memiliki luka yang sama seperti luka kedua orang tuanya.

"Papi bakalan menenin Adek kok. Kita tunggu waktu yang tepat ya buat jemput Abang"

"Tapi Papi kerja"

"Papi usahakan bakalan sering-sering kesini, oke? Jadi jangan sedih lagi ya"

"Iya"

Pembicaraan sulit yang mereka lakukan ini, membuat suasana di dalam mobil selama perjalanan pulang sedikit berubah. Meskipun Hawa masih berceloteh dengan riang, tetap saja banyak hal yang membuat Adit banyak berpikir. Lelaki itu mencoba segera menyusun langkah mana yang harus ia dulu kan agar nantinya Maya dan anak-anak mereka tidak lagi merasa sedih.

Mobil yang keduanya tumpangi bergerak dan mulai masuk ke dalam pekarangan villa. Pak Amir dengan sigap membantu Adit membawa boneka seukuran tubuh orang dewasa yang tadi sengaja Hawa pilih untuk di beli.

"Gede banget Mas boneka nya? Tadi gimana masukin ke mobilnya?" Tanya Pak Amir sambil mulai memasukkan boneka itu ke dalam rumah.

"Pilihan tuan putri, Pak. Saya tadi minta tolong karyawan toko nya" Jelas Adit.

"Ini Bu kia gak akan marah?" Pertanyaan Pak Amir membuat Adit bulu kuduk nya meremang. Ia lupa memikirkan kemungkinan itu tadi, akibat rasa bersalahnya dan ini merupakan pertama kalinya ia berjalan-jalan dengan Hawa, Adit tidak ambil pusing dengan permintaan sang anak. Ia bahkan dengan senang hati menunjukkan jiwa sok kaya nya pada bocah itu.

"Kok Pak Amir bilang gitu?"

"Bu Kia biasanya gak suka beliin mainan yang ada manfaatnya"

"Tapi kan ini boneka"

"Mas sudah pernah masuk kamar Hawa?" Tanya Pak Amir.

Kening Adit berkerut, mencoba berpikir dan otaknya merespon pertanyaan Pak Amir itu "di kamar Hawa ada ada dua boneka ya Pak?"

"Nah itu Mas Adit tau. Itu pun boneka di kasih sama Mas Yoyo"

"Matih aku!"

Pak Amir tertawa melihat ekspresi yang Adit tunjukkan, sambil menunggu adegan pentas yang setelah ini akan beliau saksikan secara langsung.

Tak sampai lama, baru dua langkah masuk ke dalam villa, Adit sudah di sambut dengan Maya yang terdiri tak jauh dari pintu utama. Dalam diamnya, istrinya itu hanya mengamati gerakan Adit dan Pak Amir yang tengah gotong royong menggotong boneka sebesar dirinya.

"Bentar ya Sayang, kami masukin boneka nya dulu" Adit mencoba mengulur waktu sebisanya sambil memikirkan alasan apa yang akan ia berikan pada Maya. Akan tetapi sampai Pak Amir pamit undur diri, lelaki itu belum juga memiliki alasan yang tepat.

Karena tak ingin terlalu di salahkan. Ia memberikan Maya, sebuah pil kontrasepsi darurat yang tadi sempat ia beli lebih dulu sebelum berjalan-jalan di pusat perbelanjaan.

"Sejak kapan apotek jual boneka?" Tanya Maya dingin.

Baru saja hubungannya dengan Maya mengalami kemajuan, namun ia harus rela di pukul mundur karena janjinya pada Hawa "aku tadi sengaja ngalihin Adek ke mall karena Adek mau ketemu kamu"

"Kenapa gak di ajak ketemu aja? Gini ini akhirnya beli barang-barang yang gak ada manfaatnya" Omel Maya.

"Gimana mau aku ijinin Adek masuk ke kamar kalau kamu aja tidur tanpa pakai baju Sayang"

"Ya kan kamu bisa bangunin aku, Dit"

"Mana aku tega. Kamu kelihatan capek banget tadi"

"Kamu yang bikin aku capek!"

"Maaf... Maaf... Aku khilaf Sayang"

.
.
.

03092023

Borahe 💙

Bukan Drama Korea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang