6.

4.2K 215 1
                                    

Dua bulan kemudian.

Tak ada yang berubah. Semua sama seperti sedia kala. Hidup sendiri tanpa harus terganggu dengan sosok yang lain meski tinggal dalam satu atap yang sama.

Maya dengan kehidupannya sebagai dokter dan Adit dengan pekerjaannya yang super sibuk. Pernikahan yang minim publikasi itu membuat keduanya semakin melenggang bebas tanpa harus takut akan cercaan orang orang disekitar.

Tapi tak urung, mereka tetap melakukan lakon nya dengan baik saat berhadapan dengan orang yang mereka sayang, contohnya seperti hari ini.

"Mama kenapa harus kesini? Kan bisa Maya yang jemput dirumah" Ucap Maya begitu tau tiba tiba pagi ini mertuanya sudah duduk manis di ruang tamu rumahnya.

"Kan Mama yang minta temenin kamu check up, masak iya kamu yang jemput. Mas Adit mana May?"

"Ya kan gak papa Ma, toh Maya juga hari ini gak kerja"

"Mas Adit dimana?" Mama mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya saat tak melihat anak sulung nya didalam rumah ini.

"Diatas Ma. Biasanya jam segini Mas lagi siap siap"

Kening Bu Jihan sedikit berkerut mendengar penuturan anak menantunya itu "kalian bertengkar?"

"En-enggak Ma, kenapa?" Jawab Maya sedikit gugup.

Dalam hati Maya berdoa semoga saja mertuanya tidak tau apa yang terjadi pada rumah tangganya.

Dan parahnya Maya tidak tau apakah Adit masih berada dirumah atau sudah berangkat ke kantor untuk bekerja.

"Kok kamu keluar dari kamar itu? Sedangkan Adit diatas?"

Keringat dingin mulai mengucur di kening Maya. Pertanyaan Mama mertuanya cukup membuatnya seperti sedang diinterogasi. Padahal biasanya Mama tidak pernah curiga apapun padanya dan Adit.

"Mama tau kan, Mas kayak gimana kalau udah kerja? Pasti gak tau waktu. Jadi untuk sementara lantai atas itu dipakai untuk ruang kerja Ma"

"Ohhh..."

Untungnya hari ini takdir membawa Maya pada peruntungan yang baik. Suara peraduan antara alas kaki dengan lantai terdengar menuruni tangga satu persatu.

Sosok Adit lengkap dengan pakaian kerjanya terlihat mendekat kearah sang Ibu dengan senyum yang merekah.

"Mama udah lama?" Sapa Adit sambil mencium tangan dan kening Bu Jihan.

"Lumayan. Mas kenapa belum berangkat? Bukannya ini sudah jam delapan?"

Adit sedikit menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal, lantaran kepalanya tak bisa memproses alasan yang jelas untuk dikatakan pada sang Ibu.

Kedatangan kekasih yang tiba tiba, membuat Adit akhirnya mau tidak mau mengosongkan seluruh jadwalnya kemarin. Menikmati waktu berdua dengan kekasih yang sudah beberapa minggu tak dijumpainya, membuatnya lupa waktu dan baru menginjakkan kaki dirumah hampir subuh.

"Mas Adit semalam lembur Ma" Sebuah alasan penuh kebohongan akhirnya Maya luncurkan dengan maksud mengejek Adit yang tengah kebingungan dihadapannya.

"Kamu itu Mas, sudah punya istri masih aja gak tau waktu kerja. Ya gak salah kalau Maya belum hamil, orang suaminya mikirin kerjaan melulu"

Senjata makan tuan, ini namanya. Niat hati, Maya ingin bertawa diatas penderitaan Adit tapi nyatanya, serangannya malah membuatnya kikuk sendiri.

Dalam hati kecilnya, Maya tak memungkiri bahwa salah satu tujuan pernikahan akan selalu berputar soal keturunan, terlepas dari bagaimana keadaan pernikahan itu sendiri. Akan tetapi, Maya sadar betul bahwa untuk menghadirkan sosok kecil dihidupnya itu cukup sulit.

"Ma... Mas sama Maya baru menikah dua bulan. Kenapa harus ngomongin momongan sih? Kasian Maya kalau harus ditekan begitu. Biarkan Maya yang menentukan. Kalaupun Maya tidak ingin punya anak, ya sudah enggak papa, toh kami menikah buat untuk itu" Kata Adit bijaksana.

Maya tersenyum miring mendengar penuturan yang Adit paparkan. Seakan diserang balik oleh suami, Maya paham betul maksud dan tujuan Adit mengatakan itu. Bukan untuk membantu Maya tapi lebih kepada, lelaki itu tidak mau menjadi sasaran ocehan Mamanya.

Benar benar sandiwara yang epik.

"Tapi Maya mau kan hamil?"

Benar bukan dugaannya? Sekarang arah senapan Bu Jihan mulai mengarah padanya, akibat drama yang suami tulis.

"Siapa yang enggak mau punya anak, Ma. Maya juga pingin, tapi sepertinya Allah belum ngasih. Mungkin karena Maya dan Mas Adit masih belum layak menjadi orang tua, Ma"

Kini giliran Adit menatap jijik wanita berstatus istrinya itu. Dilihatnya Maya yang sedang mengusap ujung matanya yang sepertinya tidak mengeluarkan air mata. Tapi harus ia nilai, drama yang Maya mainkan pasti cukup membuat Mamanya percaya.

"Sudah May, jangan menangis. Maafkan Mama ya sudah menanyakan itu pada Maya" Tutur Bu Jihan sedikit tak enak hati.

"-- Mas, istrinya nangis kok malah diem aja sih istrinya nangis bukannya dipeluk malah diem aja" Imbuh Bu Jihan sambil mengoceh.

Dihembuskan nya nafas kasar kasar sambil menatap dalam manik manik Maya "ya masak kita pelukan didepan Mama, kan gak sopan Ma"

"Isshhh... Kayak sama siapa aja sih"

"Udah ah, mending Mas berangkat dulu ya Ma"

"Loh, Mas gak sarapan?" Tanya Bu Jihan.

"Mas udah telat Ma. May, aku berangkat dulu ya"

Lagi, lagi senyum miring Maya tampakkan. Sejak kapan seorang Aditya Wisnu Wardhana berpamitan saat hendak pergi. Rasanya ia sedang menertawakan diri sendiri yang mau- maunya saja mengikuti permainan Adit.

"Loh... Kok cuma gitu?" Teriakan Bu Jihan cukup membuat Adit dan Maya terkejut.

"Kenapa Ma?"

"Kenapa gak cium cium dulu?"

Tubuh Maya seketika menegang. Sepertinya mertuanya itu tak cukup hanya diberi gambaran bagaimana keharmonisan rumah tangganya dari percakapan saja. Mungkin Bu Jihan benar benar ingin melihat interaksi fisik keduanya sudah sejauh mana.

Sedangkan Adit, lelaki itu membalikkan tubuhnya dengan perasaan kesal. Mana mungkin ia mempraktekkan ucapan Mamanya untuk mencium sang istri, padahal dulu ia sendiri yang membuat peraturan untuk tidak saling bersentuhan satu sama lain.

"Ma... Kita itu enggak terbiasa buat kontak fisik didepan orang lain. Ayolah Ma mengerti..." Rengek Adit meminta kelonggaran untuk tidak melakukan kontak fisik.

"Kenapa harus malu sih? Kayak Mama sama Papa gitu loh Mas"

"Ya kan Mama sama Papa udah menikah lama"

"Makanya Mas itu biasain, biar gak malu lagi"

"Teori dari mana itu?"

"Gak usah pakek teori segala, langsung praktek aja Mas!"

Maya meminjat pangkal hidungnya guna menghilangkan penat dikepalanya akibat perdebatan yang Adit dan Bu Jihan lakukan.

Tak ingin terlalu lama mendengarkan pertengkaran itu. Akhirnya Maya memberanikan diri maju menghampiri Adit yang sudah hampir mencapai pintu.

Mereka saling menatap, dengan tatapan Adit seperti ingin menjauh. Namun Adit tak bisa melakukan apapun atau menghentikan langkah Maya yang mendekat karena dibelakang Maya berdiri Mamanya yang sedang mengamati pergerakan keduanya.

Saat Maya sudah berada tepat didepan Adit, wanita itu sedikit memelototkan matanya lalu berjinjit guna mengecup pipi sang suami.

Cup.

Kecupan kedua setelah mereka menikah.

.
.
.

17112022

Borahe 💙

Bukan Drama Korea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang