"Apa Maya bisa Pa?" Tanya Maya sedikit terisak sambil memeluk tubuh tua sang ayah.
Pak Hasan sedang menemani anak semata wayangnya itu. Selepas praktek dokternya, lelaki yang sudah berumur itu meluangkan waktunya sebentar untuk menghibur anaknya perempuannya yang sedang dirawat.
"Anak Papa itu anak kuat. Papa tau kamu sudah banyak berkorban sejauh ini May tapi untuk bayi kecil ini kita semua harus menyisihkan rasa sakit yang kita punya. Arion hanya punya kita dan kita harus pastikan dia bahagia" Ucapan Pak Hasan membuat Maya menangis semakin kencang.
Maya mungkin bisa tersenyum tapi bukan berarti jalan yang harus ia lalui tidak berat. Lukanya harus ia abaikan, tanpa tau kapan luka itu bisa diobati, atau mungkin suatu saat nanti luka itu akan menjadi infeksi yang akhirnya membuatnya harus menbuang salah satu bagian tubuhnya, entahlah.
"Jangan sedih Sayang, mood mu harus bagus. Kamu tidak boleh stress"
"Iya Pa. Abang belum menghubungi Papa? Kapan Arion bisa dibawa kemari?"
"Katanya satu minggu lagi"
Senyum mengembang dibibir Maya meski sudut matanya belum terhenti menitikkan air mata. Membawa bayi itu masuk kedalam kehidupannya, bukan berarti tidak akan terjadi masalah. Maya tau apa yang akan dihadapinya, tapi ia tak punya pilihan lain selain jalan ini.
Cklekkk...
Pintu terbuka menampakkan Adit yang baru saja tiba lagi setelah mengantarkan mamanya pulang.
Adit menyalami Pak Hasan dengan khidmat sambil menanyakan kabar beliau "Papa apa kabar? Maaf Adit jarang bawa Maya pulang"
Pak Hasan tersenyum meski tidak begitu lebar, ia menatap menantu nya itu dengan tatapan berbeda. Entah apa yang Papa Maya itu cari dari Adit tapi yang jelas seperti ada sesuatu yang Pak Hasan tahan.
'Pasti marah karena aku tidak menjaga anaknya dengan baik' cicit Adit dalam hati. Tebakan Adit akan perilaku sang mertua yang kurang bersahabat adalah melihat anaknya harus dirawat dan sebagai suami, Adit sadar pasti ia yang akan disalahkan untuk hal itu.
"Papa baik. Papa ngerti kok, kamu sama Maya sama sama sibuk, kita semua sibuk dengan pekerjaan masing masing, jadi Papa maklum" Kata Pak Hasan menjeda sebentar ucapannya.
"-- ya sudah karena sudah suamimu, Papa pulang ya Sayang. Cepet sehat, biar bisa jagain Arion ya" Imbuh Pak Hasan.
'Arion' batin Adit.
Setelah Pak Hasan menghilang di balik pintu Adit mendudukkan dirinya di sofa pengunjung yang ada diruang rawat inap Maya. Tangannya sibuk membuka komputer pipihnya dan mulai mengecek pekerjaannya yang harus tertunda karena ia harus berperan menjadi seorang suami yang baik.
Hening.
Tak ada satupun dari Adit dan Maya yang membuka percakapan diantara mereka. Sibuk dengan kegiatan masing masing. Sampai sampai hanya suara jam dinding saja yang terdengar.
Sampai pada akhirnya, Adit memecahkan keheningan diantara mereka dan mulai membuka pembicaraan "Apa harus sejauh ini May?"
Sejujurnya Adit tidak mengerti apa yang Maya inginkan dari pengambilan anak ini. Harusnya dengan mengadipsinya saja sudah lebih dari cukup, tidak perlu tindakan apapun selain merawatnya. Lalu untuk apa usaha keras Maya sampai sebegitunya. Dan sepertinya Adit butuh tau, apa yang membuat Maya mengorbankan semuanya.
Tak hanya Adit yang janggal dengan tindakan yang Maya Ambil. Mamanya pun sepertinya berpikiran yang sama. Tadi saat mamanya akan pulang, Bu jihan juga mempertanyakan hal yang sama dengan apa yang Adit tanyakan pada Maya saat ini. Wanita paruh baya itu sebenarnya mempunyai rasa waswas tersendiri, namun beliau tahan karena memang pernikahan anaknya ini atas dasar keinginannya dan beliau takut menyakiti hati anak sahabatnya itu.
"Apa kondisi Maya separah itu Mas? Sampai tidak ada pilihan apapun untuk memiliki anak sendiri? Bayi tabung atau apa gitu?" Tanya Bu Jihan.
Anak lelaki satu satunya itu langsung menatap sang ibu dengan pandangan pias. Harusnya ia memang tidak boleh berbohong dengan orang yang sudah melahirkannya, hanya saja tidak ada cara lain untuk menutupi kondisi rumah tangganya selain berpura pura seperti ini.
Andai Adit bisa mengungkapkan semuanya, mungkin ceritanya akan lain. Mungkin ibundanya bisa menimbang cucu biologisnya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Hubungan Adit yang tidak disetujui sang mama dan pernikahan paksaan yang harus ia jalani inilah yang menyebabkan dirinya harus mengikuti skenario yang Maya buat.
Bayangan akan anak kecil tiba tiba terlintas dalam benaknya. Seandainya ia tau akhir dari ceritanya dengan Maya seperti ini, bisa saja saat itu Adit meminta sang kekasih untuk tidak menggugurkan kandungannya, menjadikan anak itu menjadi anaknya dengan Maya tanpa harus kehilangan keduanya.
Kekasihnya, sampai saat ini tidak bisa ditemukan keberadaannya sesaat setelah Adit memintanya untuk membuang janin keturunannya sendiri.
Miris.
"Maya tidak ada harapan Ma" Ucap Adit sedih, namun bukan karena kondisi Maya, akan tetapi karena ingatannya akan kekasih cantiknya.
"Mas punya uang, teknologi kedokteran juga semakin canggih, apa kalian tidak ingin berobat lebih dulu? Ke luar negeri mungkin?"
"Biarkan semuanya seperti ini dulu Ma. Mungkin nanti didepan sana ada keajaiban"
Bu Jihan hanya bisa menghembuskan nafas pasrah mendengar jawaban anak laki lakinya. Kalau boleh jujur, ia berharap apa yang anak dan menantunya rencanakan ini, tidak akan terjadi. Ia masih ingin mempunyai cucu dengan garis keturunan darinya.
"Maksudnya?" Tanya Maya bingung.
"Apa harus sampai sejauh ini hanya untuk mengadopsi anak? Apa kamu tidak bisa cukup hanya dengan merawatnya saja? Kenapa harus sampai menyusahkan dirimu sendiri dengan rentetan pengobatan yang seperti ini?"
"Kamu tau bagaimana hukum tentang mahram di agama kita kan? Aku sedang mengupayakan itu Dit"
Adit menatap wanita yang sudah satu tahun ini ia nikahi. Didalam perjalanan rumah tangga mereka, baru kali ini Maya mempunyai ide gagasan sendiri dan cukup ekstrim. Sampai sampai ia harus memikirkan tentang hubungan mereka di masa depan, aneh bukan? Padahal beberapa bulan yang lalu Maya sempat meminta cerai padanya.
"Aku tau, aku paham tapi apakah ini tidak terlalu memaksakan kehendak Allah?" Tanya Adit mulai menyerang Maya dengan pernyataan spiritual.
Namun sayangnya Maya bisa menyangkal pernyataan Adit dengan kata kata menyejukkan lainnya "aku sedang berusaha untuk menunjukkan pada Allah bahwa aku tidak sedang main main"
"Siapa anak ini May?"
Pertanyaan Adit membuat Maya seketika itu juga mengeluarkan aura permusuhan. Amarahnya begitu terlihat diwajahnya. Mungkin bahkan, kalau diperbolehkan tangan Maya sudah mencakar wajah Adit yang banyak diidolakan oleh para wanita itu. Meski dirasa pertanyaan Adit tersebut cukup wajar, melihat posisi Adit sebagai kepala keluarga disini.
"Ada yang kamu sembunyikan dari aku?" Selidik Adit.
"Tidak"
"Lalu anak siapa itu? Sampai sampai kamu harus melakukan semua ini?"
"Anak sahabatku!" Teriak Maya penuh emosi.
.
.
.Borahe 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Drama Korea
Romance"Aku akan mengatakan pada Mama kalau aku mandul. Jadi kamu tidak perlu memusingkan apapun. Hanya perlu tanda tangan dan semuanya akan aku urus dengan pengacara ku"