79

2.3K 210 12
                                    

Dengan perasaan yang sulit untuk di gambarkan. Maya berjalan cepat ke arah makam untuk menemui Hawa dan Pak Hasan. Sayangnya, dua orang yang di cari nya itu sepertinya sudah pulang lebih dulu ke villa mereka.

Jarak makam yang memang tidak terlalu jauh dari villa cukup membuat Maya uring-uringan. Harusnya ia memilih memakamkan Adam di tempat lebih private daripada harus di pemakaman umum begini, agar Adit tidak bisa menjangkaunya apalagi mengikutinya seperti saat ini.

Pertanyaan Adit sebelum akhirnya Maya tinggalkan cukup membuat jantung Maya bertalu lebih cepat. Wanita yang berusia di pertengahan empat puluh itu salah tingkah dengan apa yang ia katakan sendiri. Entah karena ia tak terima dengan tuduhan yang Adit layangkan padanya atau karena masih Adit orangnya, Maya pun tak mengerti.

"Kenapa Mau?" Tanya Pak Hasan santai, saat beliau melihat Maya masuk ke dalam rumah dengan wajah yang cemberut.

Dengan tetap berjalan, Maya kemudian menjawab pertanyaan ayahnya dengan kesal "gak papa Pa, Maya ke kamar dulu"

Pak Hasan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat tingkah anak satu-satunya itu seperti kembali ke masa remajanya. Beliau berdiri dari kursi duduknya, kemudian melangkah ke arah depan villa.

Iya, Pak Hasan tidak menyusul Maya untuk menanyakan apa yang menjadi alasan wanita itu kesal, karena jauh sebelum itu, Pak Hasan sudah memprediksi hal ini akan terjadi.

Tak selang berapa lama setelah Pak Hasan keluar, Adit dengan tergesa masuk ke dalam halaman villa, kemudian menyalami mantan mertuanya itu "masih butuh waktu lagi?" Tanya Pak Hasan pada Adit.

"Sesuai prediksi Papa, Adam tidak jatuh dengan sendirinya. Masih anak yang sama, yang suka membully anak-anak" Jawab Adit menjelaskan.

Helaan nafas dalam Pak Hasan keluarkan. Apa yang beliau takutkan, benar-benar menjadi kenyataan "lalu bagaimana hukumannya? Bisa di urus?"

"Itu yang masih susah Pa. Anak di bawah umur yang melakukannya. Kalaupun di hukum hanya setengah dari yang seharusnya. Itu jelas akan membuatnya dendam"

"Kamu sudah menyelidikinya yang lain?"

Adit mengusap wajahnya kasar lalu mendudukkan diri di kursi di luar villa tersebut "sudah, dan ada hubungannya dengan aku, Pa"

"Perempuan?" Tebak Pak Hasan.

Dengan anggukan pelan, Adit menganggukkan kepalanya. Pak Hasan yang melihat jawaban Adit itu kembali menghela nafasnya berat "tebakan Papa sesuai ya?"

"Iya Pa. Dia marah karena aku terlalu menekannya untuk segera mengerjakan apa yang memang harus di kerjakan. Dia pemilik anak perusahaan funiture yang mengisi hotel ku, Pa"

Bisnis.
Ya, alasan kematian Adam masih berhubungan dengan bisnis yang Adit jalani. Rasa penyesalannya semakin menjadi saat ia tahu bahwa secara tidak langsung Adit lah yang mengundang semua ini terjadi.
Rasa percaya diri Adit sudah hilang untuk menemui Maya dan semua jelas akan semakin rumit apabila Maya mengetahui itu. Hal itu lah yang akhirnya membuat Adit tidak pernah datang lagi ke villa hanya untuk sekedar menjenguknya atau menanyakan kabar mantan istrinya itu.

"Lalu, apa rencanamu?"

"Tetap akan menjebloskan dua-duanya ke penjara"

"Bukan itu maksud Papa. Maksud Papa terhadap Maya dan Hawa"

Adit mengusap wajah kembali. Tak bisa di pungkiri bahwa Pak Hasan lebih bijak di banding dengan ibunya. Bukan maksud untuk membandingkan, hanya saja cara melihat beliau sungguh berbeda dengan Bu Jihan.

Sesayang apapun Bu Jihan dengan Maya dan sebanyak apapun usaha yang Adit tunjukkan, wanita yang sudah melahirkan Adit itu masih menolak apabila Adit mengutarakan niatnya untuk kembali bersama Maya.

"Mereka akan tetap ku beri penjagaan yang mereka tak sadari"

Sulit memang untuk mengelak akan semuanya, tapi karena Adit tidak bisa berbuat apapun, ia lebih memilih menjalani semuanya seperti yang sudah sudah. Mengutus orang kepercayaannya untuk menjaga kedua wanita yang berharga di hidupnya itu dari kejauhan.

"Oke. Papa masih menunggu kamu disini"

"Aku pamit ya Pa"

Sepeninggal Adit, Pak Hasan masih duduk termenung di depan villa. Memikirkan banyak hal, terutama sisa hidupnya di dunia. Jelas, meninggalkan anak semata wayangnya dengan kedua cucunya sendiri jelas bukan rencana yang bagus. Meskipun ada keluarga Azwin yang siap membantu Maya kapanpun, semuanya tetap berbeda apabila tidak dilakukan oleh keluarga inti.

"Papa ngapain ngelamun disini? Ayo makan siang" Suara Maya mengagetkan Pak Hasan dari belakang.

Tak menjawab ajakan Maya, yang ada Pak Hasan malah mengamati Maya dengan cermat "bahagia Sayang?" Pertanyaan dalam tiba-tiba Pak Hasan todongkan pada Maya yang memang jauh dari kata baik itu.

Bagaimana bisa wanita yang baru saja kehilangan anaknya tiga bulan yang lalu di beri pertanyaan tentang kebahagiaan? Bukankah harusnya di tanyakan bagaimana kabar hatinya saat ini setelah di tinggal Adam?

"Ibu mana yang bisa baik-baik saja setelah ditinggal anaknya meninggal Pa?"

"Kamu gak lupa kan, bahwa dunia ini bukan milikmu? Jadi wajar bukan jika ada sesuatu yang tidak sesuai keinginan mu?"

"Maya tahu. Maya paham Pa, tapi Maya butuh waktu"

"Mau seberapa lama lagi?"

Ditanya kapan luka kehilangan nya akan sembuh, seketika membuat Maya bungkam. Bukan karena ia tak bisa menjawab, hanya saja masalah hati itu terlalu rumit dan berbelit. Mulutnya mungkin saja bisa mengatakan ia sudah mengikhlaskan semuanya, namun pasti, jauh di dalam hatinya masih ada penolakan yang selalu ia buat sendiri.

"Papa tahu May, ikhlas itu ilmu yang paling susah tapi kalau tidak di paksa dan di coba, yang ada kita hanya berdiri di tempat. Sedangkan setiap detik waktu yang sudah berlalu tidak bisa di putar kembali" Imbuh Pak Hasan.

"Jadi maksud Papa, Maya harus bagaimana?"

"Mulai berjalan lah kembali. Papa tahu itu sulit tapi Papa yakin anak Papa bisa menjalani semuanya"

"Maya akan coba"

"Termasuk menerima orang lain juga"

Maya mengerutkan kening mendengar pernyataan sang ayah. Bukankah tadi mereka sedang membicarakan Adam, ikhlas dan menerima kenyataan? Lalu kenapa tiba-tiba topik tentang memasukkan orang lain ke dalam hidupnya yang sudah lengkap ini ikut terbahas?

Papa nya memang sedikit aneh setelah kedatangannya sewaktu Adam meninggal kalau itu. Maya ingat betul bagaimana dulu sang Papa terlihat kecewa dengan apa yang Adit lakukan, akan tetapi pemandangan disaat acara meninggalnya Adam sungguh di luar dugaan. Pak Hasan beberapa kali terlihat bercengkrama dengan Adit secara baik.

"Maksud Papa apa?"

"Orangnya masih sama kan?"

"Maksud Papa?"

"Ayo masuk. Mungkin bulan depan Papa harus pulang"

Pulang?
Langkah Maya terhenti akibat ucapan ayahnya barusan.

"Papa rindu Mama jadi Papa harus menjenguknya"

"Ohh... Maya kira apa. Oke, Papa boleh pulang, Maya bisa semuanya sendiri kok"

"Tenang, Papa akan bawakan oleh-oleh buat anak Papa ini"

.
.
.

01082023

Borahe 💙

Yookkk ramein yookkkk 🥰

Bukan Drama Korea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang