50

3.8K 271 8
                                    

"Zara akan mencari tahu tentang Adam dan Hawa jadi Mas tenang aja, oke?" Putus Zara sepihak.

Adit hanya menatap adik perempuan nya itu dengan tatapan sulit dimengerti. Entah mengapa pikirannya berkelana jauh di masa, dimana Zara dan Maya pertama kali bertemu.
Saat itu sang adik tidak menunjukkan antusiasnya yang begitu dalam terhadap calon kakak iparnya. Hanya menatapnya sekilas lalu pergi kembali masuk ke dalam ruang pribadinya. Sampai akhirnya, Maya dan Adit menikah lalu Zara dan Maya dekat meski tidak terlalu sering bertemu.
Jauh berbeda dengan sikap Zara saat ini, yang sangat menginginkan Maya kembali ada di tengah-tengah mereka.

Kesimpulan itulah yang membuat Adit menyimpulkan bahwa Zara butuh sosok kakak perempuan didalam hidupnya yang bisa menjadi tempatnya berbagi apapun tanpa takut untuk dilarang dan di tolak. Sesama wanita yang terpaut umur tidak begitu jauh dan bukan dari sisi orang tua, mungkin bisa lebih membuat nyaman.

"Mas bisa lakukan semuanya sendiri Ra. Test DNA bukan hal sulit untuk Mas. Tapi Mas gak mau melakukan itu secara diam-diam. Dan kalaupun apa yang kamu pikirkan itu benar, pasti semua ada alasan nya mengapa Maya menyembunyikan nya dari Mas"

Adit tersenyum miring mencoba memproses dirinya sendiri yang baru saja bersikap sok bijak. Dirinya yang bar-bar dan emosinya yang meledak-ledak sedikit ia tekan.

Mungkin pemilihan tempat ini, yang syarat akan pepohonan hijau nanti segar, turut membuat pikirannya terbuka dan akhirnya melihat segala sesuatu yang terjadi dari sisi Maya. Mulai dari hilangnya Maya, penolakan nya dan banyaknya rahasia yang mungkin saja belum terungkap. Adit harus mencari tahu semua nya secara bertahap dan tidak terlalu gegabah agar Maya tidak lagi menyembunyikan keberadaannya.

"Terus kapan Mas lakuin semuanya?"

"Jangan gegabah. Sudah Mas bilang kan Maya sudah dapat orang yang lebih baik dari Mas jadi untuk membuatnya kembali sama Mas itu bukan hal mudah"

"Tapi Mas masih mencintai Mbak Maya kan?"

Pertanyaan Zara membuat Adit menatap dingin sang adik. Tak ingin terlalu mengumbar apa yang ia rasakan, Adit lebih memilih menyeruput minuman coklat yang ada di depannya.

Sampai saat ini, meski dirinya sendiri yang mempertanyakan hal yang sama dengan yang Zara tanyakan, mulut dan hati Adit tetap membisu. Bukan karena mencintai Maya atau sebaliknya tapi karena banyak hal yang harus dipikirkan sebelum akhirnya mengikrarkan kalimat sakral itu.

"Kenapa gak dijawab? Mas tau, wanita itu butuh pengakuan Mas. Butuh bukti untuk semua penyesalan di masa lalu. Sekalipun Mbak Maya sudah memilih lelaki lain, tapi kalau Mas bersungguh-sungguh bukan tidak mungkin kan Allah membalikkan hati Mbak Maya kembali ke Mas? Zara yakin, Mas lebih paham masalah ini ketimbang Zara"

Lagi-lagi ucapan Zara membuat Adit berpikir langkah apa yang akan diambil kedepannya. Memanfaatkan Arion sudah tidak menimbulkan efek apapun pada Maya.

Apalagi yang harus Adit gunakan agar menarik perhatian Maya?
Adam dan Hawa?
Apakah itu pertanda ia harus membuat masalah dengan Maya dan berujung dengan permintaan test DNA untuk kedua balita itu?

Dengan pelan, tangan Adit terulur untuk memijat pangkal hidungnya. Kepalanya penuh dengan masalahnya sendiri, padahal tujuan utamanya datang ke kota ini bukan untuk ini melainkan untuk bekerja. Namun ia bisa apa, saat untuk bekerja pun pikirannya malah melalang buana ke tempat lain.

"Sudah jangan bahas itu. Biarkan itu urusan menjadi urusan Mas. Cepat pesan makanan lalu kita pulang Ra" Ucap Adit.

Pulang?
Rasanya seperti mempunyai 'rumah' di kota ini. Padahal 'rumah' dalam arti sesungguhnya bagi Adit belum pernah ada.
Kalau dulu ia menjadikan Sella 'rumah' nya, sekarang Adit menjadikan Sella sebagai kenangan nya.

.

"Kenapa villa sepi Ra? Bukannya harusnya Arion dan adik-adiknya sudah pulang? Ini hampir jam tiga sore dan mereka belum ada di rumah? Maya gak melarikan diri lagi kan?" Pertanyaan itu langsung Adit kemukakan begitu ia memasuki villa yang sepi, seperti tidak berpenghuni.

Zara juga mengedarkan pandangannya ke berbagai ruangan yang ada di villa tersebut dan tetap hasilnya nihil. Tidak ada pergerakan apapun didalam bangunan itu sampai akhirnya datang Bi Sri menyambut keduanya.

"Sudah pulang Mbak, mau langsung makan atau bagaimana?" Tanya Bi Sri ramah.

"Zara sudah makan Bi. Terima kasih ya. Ohh iya Bi, Mbak Maya belum pulang? Arion dan adik-adiknya juga belum pulang dari sekolah?" Tanya Zara balik pada Bi Sri "Bukannya Mas tadi bilang Mbak Maya sudah selesai kerja?" Imbuh Zara mempertanyakan hal yang sama pada Adit.

Bi Sri tersenyum lalu menjawab pertanyaan Zara dengan baik "sepertinya ada masalah di sekolah Mbak tadi Bu Kia sudah sampai depan tapi tidak sampai turun dari mobil sudah putar balik lagi dan pergi ke sekolah anak-anak kata Pak Amir"

"Tunggu-tunggu ini maksud Bi Sri, Bu Kia itu Mbak Maya kan?" Ucap Zara kebingungan.

"Masalah apa ya Bi?" Bukannya membantu Bi Sri menjelaskan siapa Bu Kia, Adit malah menyoroti perkataan Bi Sri tentang anak-anak Maya. Mereka dalam masalah. Itulah yang bisa Adit tangkap.

"Bibi juga kurang tau Mas tapi Pak Amir hanya ngomong begitu"

"Sekarang Pak Amir dimana?" Tanya Adit lagi.

"Pak Amir sudah jalan ke masjid Mas, kenapa?"

Zara yang melihat Adit akan menyusul kemana Pak Amir berada, seketika menghentikan langkah kakaknya tersebut "Mas mau kemana? Harusnya bukan Pak Amir yang Mas cari tapi sekolah Arion. Kita harus kesana Mas, buat liat keadaan mereka"

Untungnya Adit masih bisa perpikir jernih sehingga apa yang Zara saran kan dapat masuk ke kepalanya.

Setelah menanyakan dimana alamat sekolah sang anak, Adit melajukan mobilnya dengan kecepatan cepat ke tempat yang dimaksud.

Sebuah bangunan besar tiga lantai dengan halaman yang luas membuat mata Adit berbangga. Ternyata Maya tidak tanggung-tanggung memilihkan pendidikan untuk anak-anak nya. Terbukti dari caranya memilih sekolah ini, sekolah islam fullday yang lumayan terkenal di kota ini meski jarak tempuh dari villa tidak sebentar.

"Dimana tempatnya?" Tanya Adit begitu menuruni mobil.

Gedung bertuliskan SD Islam mencuri perhatiannya. Dengan langkah lebar ia mendatangi bangunan itu dan mempertanyakan dimana letak kelas Arion dan juga ruang kepala sekolah.

Dengan diantar seorang guru, Adit bisa menemukan Maya dan Arion dengan muda. Ternyata masalah anaknya cukup membuatnya tercengang. Memukul temennya hanya karena temannya tidak mempercayai ucapan Arion yang sudah memiliki ayah.

"Perkenalkan saya Aditya Wisnu Wardhana, ayah dari Arion, Pak" Ucap Adit memperkenalkan diri.

Maya menatap Adit kesal. Ia tak menyangka mantan suaminya itu bisa datang ke sekolah Arion dan berlagak sebagai seorang ayah yang baik, seakan lupa bahwa lelaki itu lah yang menelantarkan Arion sejak kecil.

"Boleh saya tau Pak masalah anak saya?" Tanya Adit. Meski sudah mendengar dari penuturan guru yang tadi, ia tetap memilih untuk mendengarkan sendiri dari kedua sisi, baik sisi Arion dan sisi teman yang di pukul nya.

"Arion memukul Hasan Pak" Tutur Pak kepala sekolah.

Adit mengangguk paham, dan menatap Arion yang saat ini berada di antara nya dan Maya "bener gitu Bang?"

"Iya Papi" Adit tersenyum mendengar pengakuan Arion, meski sisi lain hatinya sedikit kecut.

Menyadari bahwa didikan Maya terlampau bagus, membuat Adit menyesali apa yang sudah ia lakukan di masa lalu. Tidak mudah bagi orang tua untuk mengajarkan kejujuran pada anak, akan tetapi, Maya berhasil melakukan itu. Hal itu terbukti dari pengakuan Arion.

"Kenapa Abang harus mukul?"

"Karena dia gak percaya Abang punya Papi. Dia ngatain Abang anak haram"

.
.
.

02062023

Borahe 💙

Bukan Drama Korea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang