33. The Power of Love

1.6K 84 5
                                    

Nara memandang Rajendra yang duduk dengan tenang, seolah tidak ada kejadian menegangkan tadi yang melibatkan mereka berdua. Rajendra juga tidak terlihat meringis selama mereka-Nara menenangkan dirinya. Padahal Nara sudah menangis sesenggukan, sedemikian rupa tapi nyatanya Rajendra tetaplah Rajendra.

"Om nggak sakit?" Tanya Nara lagi. Entahlah, Nara sudah lupa berapa kali dirinya menanyakan hal yang sama pada Rajendra. Dan jawaban Rajendra selalu :

"It's okay."

Singkat, jelas, tapi Nara tidak yakin itu jawaban jujur. Jujur saja, berat badan Nara itu lumayan lalu tiba-tiba jatuh menimpa Rajendra dengan cepat. Pasti, Nara yakin itu sakit. Apalagi tempat tadi bukannya tempat datar, tapi ada kerikilnya. Dan Nara yakin itu menyakitkan.

"Liar," gumam Nara pelan namun masih dapat didengar oleh Rajendra.

Rajendra menepuk pelan kepala Nara, lalu memandang Nara dengan intens. Nara mengalihkan pandangannya karena ditatap Rajendra dengan intens. Nara merasakan pipinya memanas dan Nara yakin seratus persen pasti wajahnya merah.

Dasar hormon sialan, ditatap begitu saja sudah salah tingkah. Tolonglah.

"Are you okay?" Tanya Rajendra namun dengan senyum tipis menghiasi bibirnya.

"Aku oke, lagian yang harus dikhawatirin itu Om. Aku sadar kok kalau berat badanku itu lumayan jadi dengan peristiwa tadi aku yakin banget kalau punggung Om sakit. Aku bener kan?" Cerca Nara dengan cepat, menutupi salah tingkahnya yang sangat kentara.

Rajendra mengangguk sedikit. Akhirnya mengaku.

Nara cemberut, "Nahkan aku bilang apa. Om daritadi jawab oke terus kalau ditanya. Terus ini Om bisa jalan sampai sana?" Nara menunjuk rumah sakit tempat Rajendra bekerja lalu melanjutkan, "Tadi harusnya mau dianterin sama pak securiti nya bukannya sok nolak."

"Kamu masih syok," jawab Rajendra.

"Ya kan kalau cepet kesana, cepet juga dilihat kalau ada apa-apa. Gimana kalau cedera atau patah tulang gitu?" Nara masih sibuk mengomel sedangkan Rajendra hanya mendengarkan dengan seksama, tidak menyela jika bukan Nara yang menginginkan sebuah jawab.

"Kalau nunggu disini kan jadi makin lama penangannya. Jatuhnya tadi serem loh Om, aku takut Om kenapa-napa. Gimana kalau Om sampai parah terus aku dimusuhin Chandra sama Tante Kirana? Ih gak mau ya," Nara cemberut lalu menyadari Rajendra yang hanya diam saja membuatnya bertambah kesal.

"Takut Chandra sama Mama musuhin kamu?" Tanya Rajendra tersenyum tipis.

Nara mengangguk membenarkan,"Ya itu bahaya banget."

Stupid.

Nara stupid. Ingin rasanya Nara mengumpat, bukan itu. Bukan takut dimusuhi atau apapun tapi Nara itu khawatir dengan Rajendra. Selain rasa terimakasih, Nara benar-benar mengkhawatirkan Rajendra dengan hatinya yang terdalam. Tapi, Nara dan gengsinya malah mengatakan hal yang tidak-tidak.

Nara diam. Rajendra juga diam. Sekarang suasan sungguh canggung karena Rajendra mengalihkan pandangannya, menatap kedepan masih dengan senyum tipis.

Shit, kalau Rajendra menatal datar seperti biasa maka Nara tidak akan merasa bersalah. Tapi senyum tipis itu, senyum tipis yang sebenarnya coba Rajendra tunjukkan membuat Nara merasa seperti penjahat.

Nara mengalihkan pandangannya lalu melihat seseorang berlari menghampiri mereka. Kalau tidak salah ingat, itu Dokter Vero. Temannya Rajendra.

"Lo oke? Gue denger lo habis keserempet. Nggak ada yang luka kan?" Semprot Dokter Vero bahkan sebelum sampai tepat dihadapan Rajendra.

Rajendra hanya menatap Vero dengan datar tanpa menjawab. Vero berdecak sebal, Rajendra mode dokter dan mode teman memang tidak ada bedanya. Lalu pandangan Vero beralih kearah seorang gadis disebelah Rajendra.

Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang