3. Rajendra, Adam

4.2K 219 2
                                    

Rajendra Pradipta Adam tidak pernah memikirkan cinta dalam hidupnya, memikirkan hidup bahagia pun dia tidak bisa. Dia hanya tau bagaimana cara hidup tanpa tahu apa alasannya hidup. Orang bilang, jatuh cintalah dan temukan kebahagiaan itu maka dunia akan berada di tanganmu. Tetapi Rajendra tidak ingin dunia ada di tangannya, dia tidak ingin cinta, tidak ingin jatuh cinta, dan tidak tau rasanya cinta.

Setiap kali ditanya kapan menikah pasti ia akan menjawab tanpa minta, "Nanti, kalau sudah waktunya." Jawaban yang selalu keluar dari mulutnya tanpa pernah benar diniatkan dalam hati. Hanya sekedar omong kosong biasa.

"Nantinya tuh ya kapan sih Dam, mama itu udah tua. Pengin gendong cucu. Lihat adik kamu, dia aja udah ngenalin pacarnya ke mama. Terus kamu kapan ngenalin calon kamu ke mama? Kamu pengin nunggu mama sekarat baru kamu ngenalin calon kamu?" Kata Kirana—Mama Rajendra yang sudah mulai jengkel dengan sikap putra sulungnya itu. Ingin rasanya Kirana melambaikan tangan menyerah.

"Jangan ngomong gitu, gak baik Ma," Balas Rajendra santai sambil menatap jam tangannya. Suatu tanda yang Kirana tahu betul apa yang akan anaknya lakukan selanjutnya.

"Makanya kalau kamu gak mau mama ngomong kayak gitu cepetan kenalin calon kamu ke mama, buat mama seneng lah Dam," Balas Mamanya dengan mendramatisir.

"Adam berangkat kerja dulu, Assalamualaikum," pamit Rajendra sambil mengecup punggung tangan sang mama dengan cepat. Bosan dan malas menjawab pertanyaan berulang, Rajendra tahu apa yang mungkin akan mamanya lakukan untuk ke depan. Rajendra tahu dan tidak akan terperdaya.

"Adam, sini dulu kamu. Mama belum selesai ngomong!" Teriak mamanya yang dihiraukan Rajendra.

Bukan bermaksud durhaka terhadap Mamanya. Tetapi ia sudah bosan sekali mendengar ceramahan sang mama yang selalu menanyakan perihal menikah. Lebih baik ia cepat-cepat pergi bekerja dan menangani pasiennya di rumah sakit. Hal yang selalu membuatnya merasa lebih bisa memaknai hidup, melayani pasien dengan kemampuannya yang tidak diragukan lagi.

Rajendra bekerja menjadi seorang dokter di suatu rumah sakit swasta besar Jakarta, Rumah Sakit Adam. Dengan otaknya yang tidak perlu diragukan, kini ia menjadi salah satu dokter spesialis jantung dan pembuluh darah terbaik di usianya yang masih tergolong muda. Terbiasa berpikir dan bertindak cepat sebagai siswa akselerasi membuat Rajendra terkenal sebagai tangan handal. Tetapi terkadang, kepintaran tidak sejalan dengan kemampuan berinteraksi dan Rajendra tahu, interaksi sosial adalah kelemahannya. Dia bisa menjadi advokator dan konselor handal dengan gaya bicaranya yang khas, tetapi hanya sebatas itu. Saat snellinya lepas, Rajendra kembali hanya menjadi Rajendra.

Rumah sakit tempatnya bekerja sekaligus rumah sakit milik keluarga Adam sebenarnya tidak terlalu jauh dengan rumahnya, tetapi ia lebih memilih tinggal di sebuah apartemen dekat rumah sakit karena menurutnya lebih efisien. Alasan utamanya adalah menghindari pertanyaan kapan menikah dan lain-lain. Tapi jika mamanya bertanya, jawabannya selalu sama :

"Biar Adam mandiri."

Template.

Setelah sampai di rumah sakit tempatnya bekerja ia segera turun dari mobil. Langkahnya yang tegap dan penuh wibawa itu yang membuatnya menjadi pusat perhatian bukan hanya para perawat yang terpesona dengannya, tetapi juga para pasien yang sedang berjalan-jalan di koridor tampak memperhatikannya dengan sorot kagum yang tak tersembunyikan. Memang benar, seseorang akan tampak lebih tampan saat ketampanannya sejalan dengan otak.

"Pagi Dokter Rajendra," sapa seorang perawat dengan ramah. Menyapa Dokter Rajendra selalu menjadi sesuatu yang mendebarkan. Walau mereka tahu pasti apa jawaban yang dikeluarkan sang dokter nantinya. Saat visit pasien di bangsal biasanya hanya perawat-perawat senior yang berani bertegur sapa dengan Rajendra, yang lain hanya memilih mengagumi dalam diam. Baik ketampanannya, maupun ilmunya.

Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang