80. So Called Pelet

1.3K 88 11
                                    

"Lo pelet pakai apa deh Nar sampai Mas Rajen sebegitunya?"

Nara diam saja mendengar celotehan Luna, dia masih memandangi kotak cincin di hadapannya dengan pandangan sayu. Tangannya memangku wajahnya yang berminyak, efek belum mandi dari kemarin. Tapi Nara tidak bau kok, yah menurut Nara sendiri sih. Ah, Luna juga belum mandi apakah itu penyebab mereka tidak membaui bau badan salah satunya?

"Padahal lo stupidnya minta ampun. Kalau gue jadi Mas Rajen udah eneg gak gue telefonin lagi. Gue nyari deh yang lebih perhatian. Mas Rajen bisa tinggal nunjuk and BOOM cewek-cewek pada datang," Luna menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Nara dan kotak cincin dari Graff itu. Luna masih belum ingin diam. "Gue yang denger cerita lo aja sebelnya minta ampun gimana Mas Rajen Narr? Stupid banget dah."

Nara menghembuskan nafasnya dengan lelah, namun tidak membantah apapun yang dikatakan oleh Luna karena memang benar. Nara itu bodoh.

"Jawab kek," Luna menggeram kesal.

"Jawab apa? Gue bodoh? Oke," Nara kembali ke aktivitasnya melamun sembari memperhatikan kotak cincin. Sesekali nafasnya akan terhela kasar hingga akhirnya dia mengacak-acak rambutnya dan matanya kontan berkaca-kaca.

"Nara, kamu wanita pertama yang buat mas jatuh cinta dan akan jadi satu-satunya, ciuman pertama mas, wanita pertama dan satu-satunya yang ingin mas nikahi dengan sangat serta mas cintai dengan sepenuh hati. Wanita satu-satunya yang membuat mas takut kehilangan. Mas tau kalau Nara belum siap menikah, mas tidak memaksa. Tapi, will you be my fiancè? Jadi wanita mas seutuhnya, menjadi Naranya mas seutuhnya. Will you be my fiancè, my Nara?"

Nara terpaku kehilangan kata. Jantungnya berdetak keras dan keringat dingin membasahi tangannya yang tergenggam erat. Nara diam, dia takut.

"Naraa?" Rajendra membalikkan badan Nara, mengambil kotak cincin dari tangan Nara dan membukanya tepat di hadapan Nara. Rajendra berlutut seraya menyodorkan cincin itu.

"Will you be my fiancè, Nara?"

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Setengah menit kemudian Nara masih membisu, dia tidak tahu kenapa menjadi seperti ini. Dia mencintai Ranjendra, tapi untuk terikat pertunangan di umurnya yang masih semuda ini. Jujur, Nara takut. Dia perlu memikirkan dulu dan dia perlu membahasnya dengan orang-orang terdekat.

Rajendra diam, menatap Nara yang hanya diam membeku lalu senyum tipisnya perlahan terkembang. Rajendra bangkit dari posisinya masih dengan membawa cincin itu. Rajendra menutup kotak cincin dan menatapi Nara.

"Maaf... Aku... Aku... Maaf Mas Rajen. Aku perlu waktu untuk memikirkan ini," Nara menunduk, tidak sanggup jika dihadapkan dengah terluka Rajendra.

"Hey it's okay. Look at me, Naraa." Rajendra mengangkat dagu Nara dengan pelan. Memberikan senyuman tipis menenangkan. "Mas gak papa. Take your time, maaf ya udah ngagetin Nara. Mas salah karena terburu-buru," ucapnya yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan perasaannya. Dia sudah menduga ini tapi rasa terlukanya tetap sesakit ini. Rajendra meyakinkan diri, Nara hanya butuh waktu. Mereka akan tetap bersama.

"Bukan salah mas. Harusnya Nara yang minta maaf karena buat mas sedih lagi. Nara cinta mas, tapi untuk pertunangan aku rasa masih terlalu dini dan aku butuh waktu untuk berfikir. Ak-" Yang Nara tidak tahu, air matanya mengalir dengan perlahan membuat Rajendra lekas memeluk dan menenangkan Nara.

"It's okay it's okay Nara sayang. Don't cry ya?" Rajendra mengusap punggung Nara untuk menengankan.

"Maaf," Nara menangis tergugu dalam pelukan Rajendra. Merasa bersalah namun tidak kuasa.

Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang