"Ini gak ganggu kerja?" Tanya Nara melihat goresan yang cukup panjang di tangan Rajendra. Agak sedikit untung karena berada di tangan kiri, bagi seorang dokter tentu tangan-utamanya kanan-bagai mahkota berharga.
Rajendra menggeleng lalu mengambil sebuah petroleum jelly dan diletakkan pada pangkuan Nara. Nara mengambilnya lalu mengoleskannya pada luka Rajendra.
"Sakit?" Tanya Nara masih dengan telaten mengoleskan gel pada luka Rajendra.
"Not really," jawab Rajendra. Matanya masih memandang Nara dengan intens. Nara yang ditatap menjadi gugup.
Bukan karena ditatap seorang Rajendra, tapi ditatap seorang laki-laki yang berprofesi seperti dokter. Tentu perasaan Nara menjadi dua kali lipat gugupnya, seperti sedang ujian.
"Tiup," ujar Rajendra. Nara menurut, Nara meniup luka Rajendra dengan pelan.
Tangan Rajendra sangat besar, tangannya bahkan tenggelam saat menyangga punggung tangan Rajendra. Mungkin jika tangannya digenggam Rajendra, tangannya akan tenggelam. Sungguh genggaman yang sangat pas.
Eh tapi kenapa harus ditiup, bukannya gel itu membuat luka Rajendra dingin? Nara melirik Rajendra yang menahan senyum, haduh kenapa ekspresi Rajendra seperti itu. Akhirnya Nara berhenti meniup luka Rajendra.
"Gel nya dingin kan waktu diolesim ke luka? Iya kan Mas Rajen?" Tanya Nara.
Rajendra mengangguk. "Balut dengan kasa itu," kata Rajendra. Lagi-lagi Nara menurut.
Nara membalut luka Rajendra dengan hati-hati dan dibuat serapi mungkin. Saat sudah selesai merekatkan kasa dengan hypafix Nara tersenyum bangga pada dirinya sendiri karena balutannya tampak rapi.
"Tadaaa-" Nara mengangkat tangan Rajendra yang sudah diperbannya. "-Gimana? Berapa nilainya?"
Rajendra berpura berpikir lalu mengulas tatapan jahil tetapi dengan wajah datarnya, "5/10 nilainya."
Nara melotot lalu berdecih, "Serapi ini 5/10? Dasar perfeksionis." Nara menggerutu dengan berani. Entahlah, Nara rasa keberaniannya pada Rajendra akhir-akhir ini meningkat. Karena Nara rasa, sikap Rajendra juga berubah. Kearah yang positif.
"Memang mau berapa?" Tanya Rajendra menanggapi Nara.
"10/10 lah! Aku ngelakuin ini dengan sepenuh hati dan segenap jiwa raga loh Mas Rajen," protes Nara membuat Rajendra mengangguk pelan.
"Oke," jawab Rajendra singkat karena jujur saja dirinya bingung ingin melanjutkannya seperti apa. Rajendra kikuk, Rajendra hanya laki-laki yang buruk. Tidak tau membuat orang lain nyaman dengannya, tidak tau cara membangun hubungan. Tidak seperti Chandra yang mudah bergaul dengan banyak orang, dengan Nara utamanya. Rajendra tidak pernah memikirkan ini sebelumnya tapi kali ini Rajendra merasa tidak nyaman, Rajendra merasa iri.
"Kenapa?" Tanya Nara saat Rajendra diam saja setelah menjawab dengan sangat singkat itu. Kediaman Rajendra memang biasa, namun saat ini terasa berbeda.
"Kenapa Mas Rajen?" Entah kenapa Nara ingin menjadi orang yang peduli, melihat mereka semua bersenang-senang tadi sedangkan Rajendra hanya menjadi patung rasanya Nara kasihan.
Rajendra menggeleng lalu menghembuskan napasnya pelan dengan tidak kentara. "Pulang bareng saya, ya?"
Nara terkejut tidak menjawab tetapi memilih mengangguk saja. Terima saja dulu, tidak ada yang tau apa yang akan terjadi nanti kan?
We never know
***
We never know.
We never know.
Itulah yang Nara pahami sejak tadi, sejak tadi sebelum dirinya terduduk santai di mobil yang memang akhir-akhir ini sudah familiar di otaknya. Siapa lagi jika bukan mobil Rajendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall In Love
Fiksi UmumFall in love Love And become a lovers Pernahkah kalian mendengar kalimat ini? Love enters a man through his eyes, woman through her ears, kutipan oleh Polish Proverb. Lalu, pernahkah kalian jatuh cinta? Jika iya, apa yang pertama kali membuatmu jatu...